Terkadang, tempat terburuk yang bisa anda datangi adalah di kepalamu
Oleh: Rizal Tanjung
Kapitalisme religius menjadi wacana yang cukup menarik dalam diskursus ekonomi modern, terutama ketika diusung oleh tokoh-tokoh penting seperti Prof. Dr. Muhadjir Effendy. Gagasan ini seolah menawarkan jalan tengah bagi dilema antara sistem kapitalisme yang cenderung materialistis dan nilai-nilai religius yang menekankan aspek moral dan sosial. Namun, apakah konsep ini benar-benar menawarkan solusi yang efektif bagi problematika ekonomi umat? Ataukah sekadar jargon baru yang sulit diterapkan secara nyata? Esai ini akan membantah konsep kapitalisme religius dengan mempertimbangkan kontradiksi fundamental antara kapitalisme dan nilai-nilai religius.
Kapitalisme dan Religiusitas: Dua Kutub yang Berlawanan
Kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem ekonomi yang berlandaskan pada kebebasan pasar, kepemilikan pribadi, dan pencarian keuntungan maksimal. Sistem ini lahir dari semangat individualisme dan rasionalitas ekonomi yang menempatkan akumulasi modal sebagai tujuan utama. Sebaliknya, nilai-nilai religius, terutama dalam konteks agama Islam, menekankan prinsip keadilan sosial, pemerataan kesejahteraan, dan pembatasan eksploitasi terhadap sesama manusia.
Kontradiksi mendasar ini menjadi titik awal yang meragukan keberlangsungan kapitalisme religius. Bagaimana mungkin sebuah sistem yang menitikberatkan pada keuntungan pribadi dapat bersanding harmonis dengan ajaran agama yang menuntut pengorbanan demi kesejahteraan bersama? Kapitalisme religius, meskipun mencoba menawarkan keseimbangan, pada akhirnya tetap bergantung pada logika pasar yang bersifat kompetitif dan eksploitatif.
Ilusi Etika dalam Kapitalisme Religius
Pendukung kapitalisme religius sering berargumen bahwa sistem ini dapat dijalankan dengan etika dan nilai-nilai moral, seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial. Namun, asumsi ini tampak naïf karena kapitalisme pada dasarnya tidak memiliki mekanisme internal untuk memastikan praktik etis dalam aktivitas bisnis. Etika dalam kapitalisme cenderung menjadi aksesoris belaka yang hanya diterapkan selama tidak mengganggu pencapaian keuntungan.
Kasus eksploitasi tenaga kerja di berbagai perusahaan yang mengklaim berbasis syariah menunjukkan bahwa label religius tidak otomatis menjamin keberpihakan pada nilai-nilai moral. Kapitalisme religius berpotensi hanya menjadi strategi branding yang memanfaatkan sentimen keagamaan demi menarik konsumen tanpa ada perubahan signifikan dalam pola produksi dan distribusi kekayaan.
Kapitalisme Religius: Citra atau Realitas?
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia memang memiliki sejarah panjang dalam membangun ekosistem ekonomi berbasis nilai-nilai Islam. Namun, mengusung konsep kapitalisme religius justru berisiko menjerumuskan gerakan ini ke dalam perangkap kapitalisme konvensional yang dibungkus jargon religius.
Realitas kapitalisme global menunjukkan bahwa sistem ini cenderung memperbesar kesenjangan sosial dan memperkuat dominasi segelintir elit ekonomi. Kapitalisme religius, jika diterapkan tanpa mekanisme kontrol yang ketat, berpotensi melanggengkan pola yang sama dengan dalih nilai-nilai religius. Sebuah sistem yang mengklaim berbasis agama seharusnya justru menantang logika pasar yang eksploitatif, bukan sekadar menyesuaikan diri dengan sistem yang ada.
Kesenjangan Antara Konsep dan Implementasi
Kapitalisme religius juga menghadapi tantangan besar dalam hal implementasi. Sistem ini mengandaikan adanya pelaku bisnis yang memiliki komitmen moral tinggi dan bersedia mengorbankan sebagian keuntungan demi kesejahteraan sosial. Namun, dalam praktiknya, motif profit sering kali lebih dominan daripada nilai-nilai sosial, terutama dalam dunia bisnis yang kompetitif.
Muhammad Yunus dengan konsep bisnis sosial yang ia gagas melalui Grameen Bank mungkin bisa menjadi inspirasi, tetapi model ini lebih menekankan pada mekanisme redistribusi kekayaan daripada integrasi kapitalisme dengan nilai-nilai religius. Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa upaya menggabungkan kapitalisme dengan religiusitas justru lebih efektif dilakukan melalui model alternatif seperti bisnis sosial, bukan dengan melabeli kapitalisme yang sudah ada dengan embel-embel religius.
Alternatif: Ekonomi Solidaritas
Sebagai gantinya, pendekatan yang lebih relevan bagi ekonomi umat adalah ekonomi solidaritas atau ekonomi berbasis komunitas. Model ini menekankan pada kepemilikan kolektif, partisipasi masyarakat, dan redistribusi kekayaan sebagai prinsip utama. Alih-alih menyelaraskan kapitalisme dengan nilai-nilai religius, model ini justru menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar dari aktivitas ekonomi.
Ekonomi solidaritas juga lebih sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai mekanisme redistribusi kekayaan. Sistem ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga pada keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Kapitalisme religius, meskipun terdengar menarik secara konseptual, pada dasarnya adalah upaya kompromi yang sulit diwujudkan secara nyata. Kontradiksi mendasar antara logika kapitalisme dan nilai-nilai religius membuat konsep ini cenderung menjadi ilusi daripada solusi. Daripada mencoba mempercantik wajah kapitalisme dengan embel-embel religius, umat seharusnya memperjuangkan model ekonomi alternatif yang lebih sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan solidaritas.
Implementasi ekonomi umat yang berlandaskan nilai-nilai agama harus melampaui kapitalisme dan membangun sistem yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya sekadar keuntungan. Kapitalisme religius, pada akhirnya, hanya akan menjadi jargon kosong tanpa perubahan struktural yang signifikan dalam sistem ekonomi global.
2025.
Posting Komentar