Pipiet Senja
Dinihari baru mengorak
Gerimis berubah bak tercurah bersama badai
Membingkai kumparan langit
Ada tarung yang sengit
Semburat sumpah serapah
Dari balik pintu mewah
Sengaja ditutup tak ramah
Sepasang kekasih
Berpeluk guncang gairah
Tak peduli teriakan lapar
Orang-orang telantar
Yang penting mereka nyaman
Menyuruk di lautan nista
Tiada teringat dosa
Lihatlah!
Dua anak kecil merintih
Perut kempis berhari-hari
Emak memulung remah
Ayah lama tak pulang
Bergelung di pelukan perempuan jalang
Lihatlah!
Gumpalan kelam
Memintal dusta tanpa sembala
Para preman bayaran
Tak tahu malu
Menyebar fitnah semesta
Lihatlah!
Ada gumam dalam diam
Bisik-bisik tiada rasa
Hingga curah air kian
Melimpah ruah
Banjir kanal pun tanpa dicegah
Jakarta, wahai, Jakarta nan perkasa
Bukan Jakarta jika hujan
Tak lekang banjir bandang
Gorong-gorong meluap
Sungai penuh sampah
Semua resah pasah
Jakarta, wahai, Jakarta nan perkasa
Bukan Jakarta jika hujan
Tak lekang banjir bandang
Ciliwung menguar gelisah
Semua menyumpah serapah
Siapapun pemimpin ibukota
Hujan dan banjir akan menista
Menjadi gelombang fitnah
Menggoyang singgasana
Tanpa ampun
Hujan membawa petaka bagi penguasa
Di halte orang kecil berteduh
Penjaja kopi sibuk
Menjajakan kehangatan
Aroma kopi liong
Menguar di antara asap rokok
Mengepul nikotin
Seorang Lansia mendadak
Batuk parah
Tahukah engkau, wahai Jakarta?
Gerangan siapakah yang terbatuk bungkuk?
Inilah diriku yang telah terdedah masa
Perlahan menyingkir
Tahu diri takkan mampu
Tertarung sendiri
Jakarta, 7 Maret 2023
Interpretasi Puisi "Hujan dan Jakarta" Karya Pipiet Senja: Potret Ironi Kehidupan Urban
Oleh: Rizal Tanjung
Puisi Hujan dan Jakarta karya Pipiet Senja merupakan refleksi mendalam tentang realitas sosial yang terjadi di ibu kota Indonesia. Melalui bahasa puitis yang kuat, penyair menggambarkan sisi gelap Jakarta yang tersembunyi di balik gemerlap modernitas. Puisi ini tidak sekadar menyajikan keindahan kata, melainkan juga menyuarakan kritik sosial terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan ironi kehidupan masyarakat urban. Setiap bait dalam puisi ini mengandung pesan tentang ketimpangan sosial yang masih menjadi permasalahan kronis di Jakarta.
Gambaran Jakarta dalam Hujan
Pada bait pembuka:
"Dinihari baru mengorak
Gerimis berubah bak tercurah bersama badai
Membingkai kumparan langit"
Pipiet Senja membangun suasana kelam yang menggambarkan Jakarta di waktu dini hari. Hujan yang turun deras tidak hanya melukiskan kondisi alam, tetapi juga menjadi simbol kehidupan masyarakat kecil yang selalu dihadapkan pada ketidakpastian. Langit yang muram seolah merepresentasikan nasib kaum marginal yang terus berjuang di tengah kerasnya kota metropolitan.
Ironi di Balik Kemewahan Kota
Pada bait kedua, penyair menyoroti kesenjangan sosial:
"Ada tarung yang sengit
Semburat sumpah serapah
Dari balik pintu mewah
Sengaja ditutup tak ramah"
Kehidupan masyarakat miskin digambarkan sebagai "tarung yang sengit," di mana mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Di sisi lain, kaum elite berlindung di balik pintu-pintu mewah yang sengaja tertutup rapat, tidak peduli pada penderitaan yang terjadi di luar sana. Kontras ini memperlihatkan bagaimana ketidakpedulian sosial semakin memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Hedonisme dan Ketidakpedulian
Bait ketiga menampilkan kehidupan hedonistik sebagian masyarakat yang tidak peduli pada penderitaan sesama:
"Sepasang kekasih
Berpeluk guncang gairah
Tak peduli teriakan lapar
Orang-orang telantar"
Adegan ini memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat tenggelam dalam kenikmatan duniawi, sementara orang-orang kecil berjuang melawan kelaparan. Pipiet Senja menyindir perilaku egois yang memperlihatkan betapa timpangnya kehidupan sosial di Jakarta.
Potret Kemiskinan
Bait keempat menampilkan gambaran kehidupan kaum marginal:
"Lihatlah!
Dua anak kecil merintih
Perut kempis berhari-hari
Emak memulung remah
Ayah lama tak pulang"
Gambaran ini menunjukkan bagaimana kemiskinan menjadi warisan turun-temurun bagi masyarakat kecil. Pipiet Senja menggunakan kata seru "Lihatlah!" sebagai ajakan kepada pembaca untuk lebih peka terhadap penderitaan kaum marginal yang sering kali diabaikan.
Kebobrokan Moral dan Politik
Pada bait kelima, penyair mengkritik kondisi politik yang penuh dengan kebohongan:
"Gumpalan kelam
Memintal dusta tanpa sembala
Para preman bayaran
Tak tahu malu
Menyebar fitnah semesta"
Bait ini melukiskan praktik politik kotor yang dilakukan oleh para elite melalui preman bayaran. Fitnah dan kebohongan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, tanpa memperdulikan dampak buruk yang menimpa rakyat kecil.
Banjir sebagai Bencana Tahunan
Banjir yang selalu melanda Jakarta menjadi simbol kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan masalah klasik kota ini:
"Jakarta, wahai, Jakarta nan perkasa
Bukan Jakarta jika hujan
Tak lekang banjir bandang"
Pipiet Senja menyoroti bagaimana banjir seolah menjadi bagian dari identitas Jakarta. Ironi ini menunjukkan bahwa modernitas dan pembangunan kota tidak sebanding dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki infrastruktur dasar bagi masyarakat.
Hujan dan Penguasa yang Tertuding
Setiap kali banjir melanda, pemimpin kota selalu menjadi sasaran kemarahan rakyat:
"Siapapun pemimpin ibukota
Hujan dan banjir akan menista
Menjadi gelombang fitnah
Menggoyang singgasana"
Bait ini menyiratkan bahwa masalah banjir bukan hanya persoalan alam, melainkan juga hasil dari kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kritik ini memperlihatkan bagaimana rakyat kecil selalu menjadi korban kebijakan yang tidak efektif.
Potret Orang Kecil yang Bertahan
Meskipun hidup dalam keterbatasan, masyarakat kecil tetap berusaha bertahan:
"Di halte orang kecil berteduh
Penjaja kopi sibuk
Menjajakan kehangatan"
Gambaran ini memperlihatkan semangat bertahan hidup rakyat kecil yang tetap mencari nafkah di tengah bencana. Kehangatan kopi menjadi simbol harapan kecil di tengah dinginnya kehidupan kota.
Kerentaan dan Ketidakberdayaan
Bait terakhir menampilkan sosok lansia yang merasa terpinggirkan:
"Seorang lansia mendadak
Batuk parah
Inilah diriku yang telah terdedah masa"
Lansia ini menjadi simbol masyarakat kecil yang sudah tidak mampu melawan kerasnya kehidupan. Pipiet Senja seolah menyuarakan bagaimana kaum tua sering kali diabaikan oleh sistem sosial yang tidak berpihak pada mereka.
Puisi Hujan dan Jakarta karya Pipiet Senja merupakan potret pahit kehidupan masyarakat ibu kota yang penuh dengan ironi dan ketidakadilan. Melalui bahasa puitis yang kuat, penyair berhasil menggambarkan ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kebobrokan moral yang masih membelenggu Jakarta.
Pesan moral dari puisi ini sangat jelas: kemajuan kota tidak ada artinya jika ketimpangan sosial terus merajalela. Pipiet Senja seolah mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap penderitaan sesama dan berani melawan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Hujan yang seharusnya membawa kesejukan justru menjadi petaka bagi masyarakat kecil, menegaskan bahwa gemerlap modernitas tidak selalu berarti kesejahteraan bagi semua orang.
2025.
Posting Komentar