Anugerah Ilahi: Dua Tiket ONH Plus




Pipiet Senja 

Haji Akbar, 2006

Kantor Cordova Abila Travel, dua pekan setelah pulang umroh.

Tiga kali aku mampir untuk membahas rencana penerbitan Buku Kenangan Smart Umroh. Biasanya Dewi dan Pak Muharom yang menerimaku. Awalnya belum jelas sekali, bagaimana kira-kira format buku itu. Hingga kemudian telah terpeta, menjadi gambaran di benakku, berkat diskusi dan masukan dari Pak Muharom dan Pak  Faisal. 

Sedianya aku ingin berdiskusi pula dengan Ustad Muslim Abdullah. Hanya kami belum punya kesempatan bertemu langsung sejak terakhir bertemu di Jeddah.

Sampailah pula kami pada keinginan untuk membuat Company Profile perusahaan. Ini harus dikreasi oleh pakarnya, pikirku. Langsung teringat kepada suami sohibku, Anneke Puteri yakni; Mas Aef, demikian kami biasa menyebutnya.

“Nah, ini perkenankan Mas Saiful G. Wathon, seorang sutradara muda yang sangat concern dengan film Islami,” ujarku kepada Pak Muharom.

Beberapa hari kemudian, kami pun dapat bertemu langsung dengan Pak Faisal di ruang kerjanya yang terasa unik, beraroma terapi dengan nuansa Timur Tengah.

Sebagaimana nuansa yang bisa kami rasakan di lantai bawah. Cordova Abila, sebuah kantor yang lain, berbeda sama sekali. Pendeknya unik dan khas!

Di tengah diskusi yang memikat, dihadiri oleh Pak Faisal, Mas Aef, Pak Muharom, Alfi dan daku, muncul Al Ustad Muslim Abdullah yang baru kembali dari kantor Imigrasi. Pluuuk, waaa… ada yang jatuh tuh!

“Ini kartu nikah, dibutuhkan juga buat bikin paspor baru,” suaranya terdengar berat dan dalam, khas suara seorang penceramah agama.

Kukenang penampilannya pada acara silaturahmi, didampingi Pak Muharom dan DR Achmad Satori Ismail, beliau menjelaskan berbagai hal tentang esensi haji bagi umat.

“Kartu nikah yang ke berapa tuh, Pak?” canda Mas Aef disambung tawa kami semua.

“Ada-ada saja… silakan dilanjutkan,” ujarnya sambil pamitan menuju ruang kerjanya.

Sosoknya mengingatkanku kepada mendiang guru agama ayahku, seorang Ajengan di ponpes Banten. Dari Kyai mumpuni itulah aku menimba ilmu di masa remaja.

Sementara Mas Aef masih diskusi panjang lebar dengan Pak Faisal, pikiranku sesungguhnya melayang ke suatu forum diskusi film dan sinetron Islami. Rencana mengangkat cerpen karya Helvy Tiana Rosa, “Ketika Mas Gagah Pergi” ke layar perak ambyar. 

Gara-gara tak ada investor, selain itu uang yang telah terkumpul pun malah raib dibawa minggat orang tak bertanggung jawab!

Padahal, bukankah ada banyak konglomerat Islam di negeri ini, pikirku. Mengapa mereka tak berani menginvestasikan uangnya untuk suatu karya Islami, demi menyikapi tayangan-tayangan amburadul lain yang telah memelintir ajaran Islam itu sendiri?

“Baik… kalau begitu kita deal, ya Kang!”

“Insya Allah… suatu kehormatan bagi saya nih…”

“Bukan sekadar company profile biasa… mungkin lebih bagus semacam film pendek, ada ruhiyah Islami yang kental di salamnya… Ada semangat bagi setiap muslim untuk melaksanakan ibadah haji…”

Diskusi terus saling sahut menyahut, entah berapa lama, yang jelas perut mulai berlagu keroncong. Namun, adalah suatu karunia Ilahi kembali menghampiri diriku.

Sayup-sayup kudengar suara itu, penghargaan dan ketulusan total itu, kira-kira demikianlah nadanya: “Insya Allah, Teteh akan kami berangkatkan haji…”

Niscaya aku masih mimpi dengan gelombang manusia yang mengelilingi Ka’bah, tawaf, dan berlari-lari kecil antara bukit Safa dengan Marwah. Niscaya aku masih belum terjaga dari nuansa Masjidil Haram, yang seringkali membungai mimpi-mimpiku dengan keajaiban, kemusykilan, serta keagungannya.

Rumah penampungan, demikian istilah kami, malam itu diwarnai dengan keharuan luar biasa. Betapa tidak, aku sedang dilimpahi Allah anugerah yang bagaikan mburuduuuul. Subhanallah!

“Mama sudah putuskan jatah tiket ONH Plus dari Ar-Rayyan itu akan dialihkan kepada besan,” cetusku dalam sekejap membuat anak-anak terpana.

 “Tapi Mama, memang itu gak bisa diuangkan?” tukas Haekal.

 “Yeee… belum juga ditanyakan sama orangnya, kok sudah ambil keputusan sepihak begitu?” Butet nyelonong dengan gaya ceplas-ceplosnya. Turunan dari emaknya ‘kali, ya?

“Mama yang telepon deh,” kataku dan sejurus kemudian sudah kujelaskan semuanya kepada besanku, kali ini besan yang menerima telepon.

“Oooh… bagaimana, yah… entah, ya… Nanti saja akan disampaikan dulu sama bapaknya anak-anak,” sahut besan perempuan.

Sehari, dua hari, tiga, akhirnya seminggu sudah berlalu. Pak Engkos, seorang dosen pada Fakultas Teknik Mesin Universitas Indonesia yang sedang S3 itu, menyampaikan rasa terima kasihnya yang dalam atas tawaran ONH Plus.

“Tapi kami memutuskan untuk mengembalikannya kepada Ibu Haekal saja. Karena kami berdua sudah berjanji, kalau pergi haji akan berdua…” Demikian kira-kira pesannya yang disampaikan oleh istrinya kepadaku.

Aku tercenung-cenung, seketika ada keterharuan membuncah dalam dadaku. Mereka telah berjanji, seia-sekata, dalam suka dan duka harus berdua. Itulah cinta sejati, pasangan yang harmonis, pikirku.

Note hingga 2024, ternyata mereka belum bisa berhaji. Pelajaran untuk kita, jangan pernah menolak tawaran ke Tanah Suci. Apalagi jika secara gratis. Undangan Allah Swt, jangan pernah ditolak!

“Jadi, mau kita apakan tiket ONH Plus dari Ar-Rayyan itu, anak-anak?” kembali aku mengajak anak-anak untuk mendiskusikannya.           

“Coba Ma minta ketemuan dengan bos Ar-Rayyan, bilang saja terus-terang apa adanya,” saran sulungku.

“Iya, Ma, siapa tahu bisa dicairkan uangnya,” dukung adiknya.

“Mungkin dari sinilah kita bisa punya rumah sendiri, ya Nak,” gumamku menerawang ke langit-langit rumah. 

Harus diakui, meskipun kami sudah kerasan tinggal di sini, tapi tetap saja bukan rumah sendiri. 

Suatu hari nanti kami harus pergi dari sini. Sebab ada rencana kompleks Yayasan Ibu Harapan ini akan dibangun untuk gedung Islamic Centre.

Membawa usulan anak-anak itulah aku kembali menemui Pak Haji Edi di rukan Karinda Plaza. Beberapa pekan sebelumnya Travel Umroh dan Haji Ar-Rayyan mengadakan silaturahmi. Aku mengajak emakku menikmati acara launching program Umroh dan Haji 2006, sebuah travel yang sudah mumpuni. Acaranya digelar di Ballroom Hotel Kartika Chandra.

Kutahu emakku tersayang terus berdecak-decak mengagumi segala kemewahan yang terhampar di depan mata kami.

“Oh, ya… gak masalah, insya Allah bisa,” itulah jawaban atas pemaparanku yang mungkin terasa bertele-tele, saking kuatir bisa menyinggung hati beliau.

Kami masih bercakap-cakap lagi tentang finishing isi dan format buku, rencana road-show dan lainnya. Sampai aku meminta ketegasan kapan kira-kira bisa kuterima pencairan dananya.

“Insya Allah, biasanya setelah bukunya terbit…”

“Awal Juni diperkirakan sudah terbit, Bu,” kata Iqbal yang banyak mendukung kiprahku mendatang di kepenulisan.

“Nah, kalo begini ceritanya memang luar biasa nih, Ma,” sambut Haekal. “Mama sudah diumrohkan, terus dihajikan gratis, dapat rumah lagi… Waaah, rezeki Mama beneran tajir deh, ah!”

“Pantesnya masuk sinetron Maha Kasih kayak begini mah, yah,” sambung adiknya.“Iya, Ma… jadi artis aja tuh, daftar sama Chaerul Umam atawa Hanung.” Butet ketawa-ketiwi mendukung abangnya.

Aku hanya tersenyum haru, menundukkan wajah ke lantai sambil mengawangkan segala puja-puji kepada Sang Maha Pengasih. 

Ya Allahu, Ya Robb, kalaulah ini hanya mimpi, biarkanlah diriku mimpi selamanya. Jangan biarkan daku terjaga, aku mohon, aku mohon…

Wujudkanlah ini menjadi suatu kenyataan, nikmat-Mu yang tak teperi. Biarkan aku menangis, biarkan aku kembali dapat mengalirkan dukaku, menumpahkan lukaku di depan Multazam. Duh, rasanya tak sabar lagi ingin segera tiba musim haji.

Dia memang Sang Pengasih, sangat menyayangiku, melalui adindaku sebelumnya diriku telah diumrohkan. Kini Allah pun menggerakkan suami adindaku tercinta itu, menawariku untuk berangkat haji tahun ini. Alhamdulillah, jazakillah khairun khatsira.

Semoga Allah SWT melapangkan semua urusannya, membalas segala budi baiknya yang takkan mungkin mampu kubalas dari jari-jemariku sendiri. Amin Allahumma amin.

Bersambung

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama