Kalau Tak Dimuat: Awas Aku Gentayangin!




Pipiet Senja 

Sepotong Hati di Sudut Kamar 

Anno, 1975

Saat-saat merajut asa dan merenda mimpi pun dimulai.

Ada kegemaran baru yang aku gandrungi. Selain korespondensi dan mengunjungi perpustakaan, aku suka sekali menyimak dunia remaja di radio. Aku suka mengisi acara-acara remaja, seperti lagu dan puisi, drama radio, artikel sastra, pelangi budaya dan sebagainya.

Mulanya memakai nama Tauresita, sesuai bintangku Taurus. Sampai aku menemukan sebuah nama yang kurasa sangat pas untuk bertualang di dunia kepenulisan; Pipiet Senja.

Tak jauh dari rumah kami ada pesawahan dan sungai Cimahi. Jalan sedikit ke atas tampaklah bukit kecil yang dimanfaatkan sebagai pemakaman umum.

Kebiasaanku setiap habis shalat subuh, aku akan menyusuri gang demi gang menuju pesawahan. Jalan kaki melewati pematang sawah, aku nikmati hawa dingin bumi Parahyangan.

Terkadang aku lama termenung memandangi bukit pemakaman.

“Suatu ketika nanti, di sanalah tempatku istirahat panjang,” pikirku.

Lantas, burung-burung pipit ramai gemericit. Makhluk-makhluk mungil yang lucu itu gesit sekali menyisir butiran padi bernas. Grompyaaang, grompyaaang!

Kaleng-kaleng saling berhubungan itu digemerentangkan. Beeer, pipit-pipit pun bertebangan. Aku tahu, mereka akan kembali menyisir butiran padi bernas. Tak jemu-jemunya dengan gesit dan lincahnya.

“Sungguh, aku suka sekali dengan hewan kecil itu. Yap, kecil, ringkih, tapi sesungguhnya kuat, perkasa,” gumamku sendirian.

Bila senja tiba, aku pun kembali menyusuri pematang sawah. Saat-saat ini pun aku akan lama tercenung. Memandangi bulatan mentari keperakan. Cahayanya semburat indah. Suasana senja selalu indah dan mengesankan, desahku.

Tahun 1975 itulah nama Pipiet Senja marak, mengudara di radio-radio swasta kota kembang. Ketika aku diopname untuk pertama kalinya di RS Dustira Cimahi, aku tergerak untuk mengirimkan puisi-puisiku ke media cetak.           

Aku masih ingat, saat itu ada sebuah majalah kawula muda bernama Aktuil terbitan Bandung. Majalah ini mengupas habis tentang musik, film, seni dan budaya. 

Sepertinya hampir semua kawula muda Indonesia menyukai majalah ini. Tirasnya cukup tinggi ke seluruh pelosok Tanah Air, bahkan menyebar ke mancanegara. Korespondennya saja ada di berbagai kota dunia.

Tak heran banyak seniman senior yang ikut nampang di majalah ini. Suatu hari aku pun menyobek kertas dari buku harian. Menuliskan beberapa puisi disertai sepucuk surat pengantar. Nah, pengantarnya kira-kira begini.

Salam Budaya, Bung Daktur;

Aku mojang Sunda, remaja tujuh belas. Sebut saja namaku Pipiet Senja. Saat ini aku lagi dirawat di RS Dustira, Cimahi. Diagnosa dokter sih, aku mengidap penyakit kelainan darah yang sangat parah. 

Selama ini aku selalu bergantung pada transfusi darah. Sebulan atau dua bulan sekali harus ditransfusi. Macam Miss. Drakuli saja, ya? Barangkali sebentar lagi juga aku game over, nih?!

Ini aku kirimkan beberapa puisi. Tolong dimuat di rubrik yang Bung kelola, ya? Kalau gak, wuiiih, awas saja! Sebab kalau memang aku jadi mati, aku gentayangi lho! Hehe.

Trims, ya.

Salam Merdeka, Bung!

Pipiet Senja

Entah karena terkesan dengan pengantarnya yang rada-rada miring bin nyeleneh. Atau memang puisi-puisiku bisa digolongkan dalam rubrik puisi mbeling. 

Apa pun itu, yang pasti tiga puisi mini karyaku dimuat di majalah Aktuil berikutnya. Tiga puisi dengan honorarium perdanaku: empat ribu lima ratus rupiah. Girangnya, alamak, tak dapat dikatakan lagi!

Agaknya per puisi dihargai 1500 rupiah, tapi buat ukuran seorang remaja kala itu sungguh banyak.

Aku bisa mentraktir bakso semua adik-adikku, termasuk sepupuku El dan nenekku. Oya, harga emas per gram saat itu, kalau tak salah sekitar 1200 rupiah.

Mendadak saja aku dihujani surat dari pelosok Tanah Airku, Indonesia. Ada yang mengaku pelaut dari Madagaskar segala. Macam-macam komentarnya. 

Ada yang simpati, iba, dan kasihan. Bahkan ada juga yang menuding aku pembual, bodoh, ah, pokoknya, kocaklah kurasa!

Saban hari rata-rata lima belas pucuk surat, pernah juga sampai lima puluh surat yang datang ke Jalan Margaluyu 75 Cimahi. Semampunya aku balas, tetapi lama kelamaan, halaaah!

Aku tak bisa membalasnya kalau tidak disertai perangko balasan. Bersamaan dengan itu, aku merasa mendapat suntikan tonikum penambah semangat. 

Pulang dari rumah sakit, aku semakin rajin dan serius lagi berkarya. Konsentrasinya ke puisi. Cita-cita menjadi seorang penyair.

Sebal ‘kali ditongkrongin si Pipiet Senja melulu saban hari, ya?

Sejak perpustakaan umum ditutup, aku melirik toko-toko buku di alun-alun Cimahi. Di sini juga aku lantas banyak musuh. Dipelototin terus oleh para pelayan toko.

Begitu lihat dari kejauhan aku kucluk-kucluk mau masuk toko, mereka segera bersiap; ngumpetin majalah dan buku-buku barunya.

Aku mulai menghitung-hitung; dari sajak-sajak atau puisi sedikit duitnya, ya? 

Padahal, aku mulai bertekad untuk serius berkiprah sebagai seorang penulis. Lagi pula, puisi-puisi aku selalu dikritik habis oleh Wilson Nadeak. Dikasih nilai nol besar atau tanda tanya gede!

Tahun berikutnya aku mulai bikin cerita pendek. Hampir tak ada hambatan. Langsung dimuat di harian lokal, seperti Gala, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Mandala. Honorarium cerpen di koran daerah kala itu berkisar antara 7.500 – 12.500 rupiah.

Setiap minggu bisa dipastikan aku akan mengantongi honorarium minimal satu cerpen.Lumayan gede tuh. Ingat, harga emas satu gramnya masa ini sekitar 3.500 rupiah.

Saking produktifnya untuk ukuran remaja kala itu, tebal pula kantong daku, si Drakuli ini. Aku mulai bisa membiayai sebagian pengobatan dan trasfusi dari penghasilan sebagai seorang penulis.

Maksudku, kalau untuk biaya dokter dan rawat inapnya dengan Askes ayahku. Untuk vitamin, suplemen, susu dan makanan bergizi bisa kututup sendiri.

Oh, iya, hampir saja aku lupa!

Sampai tahun 1977, aku belum memiliki mesin ketik sendiri. Terkadang aku menumpang di kantor Erwe. Lebih sering lagi di Bale Desa. Ada seorang pegawai yang masih kerabat Bapak, berbaik hati menyelundupkan aku ke kantornya. Hanya baru bisa dilakukan kalau para karyawan sudah pulang.

Biasanya aku ambil waktu bada asar sampai terdengar beduk magrib. Tulisannya aku tik langsung. Tidak perlu konsep-konsep atau coretan dulu. Kalau lagi mood, sehari bisa bikin satu cerpen.

Demikian sampai beberapa saat lamanya. Hingga keberadaanku secara ilegal begitu diketahui pegawai lainnya.

Mereka pun mulai menggunjingkan aku.

“Cewek apaan suka ngeluyur sendirian ke dalam kantor saat kosong!”

Wuuuih! Terpaksa aku tebalkan muka dan rapatkan kuping. Akhirnya kelakuanku ini sampai juga ke telinga Bapak.

“Sudah, diam saja di rumah. Tulis saja karanganmu itu di kertas. Nanti Bapak akan mengetikkannya. Soal mesin ketik, nanti kalau sudah ada duitnya dibelikan,” ujar Bapak.

Wuiiih, sengsara rasanya jadi pengarang pemula, tapi tak punya mesin ketik. Biar bagaimanapun kan gak lucu, ya? Kalau mau menulis minta diketikkan orang lain hasilnya; acakadut alias amburadul tak karuan!

Mei 1977, ketika aku dirawat di RS Dustira untuk ke sekian kalinya. Petang itu, adikku En membawakan mesin ketik. Dia baru baru datang dari Jakarta.

Adikku En memang paling sering mondar-mandir ke Jakarta, entah untuk jumpa orang tua atau bergaul dengan teman-temannya.

“Ini anggap saja kado ultah kamu, ya,” katanya sambil membuka penutup mesin tik portable itu.

“Tahu gak, aku susah payah membelinya di loak di Pasar Rumput. Harganya tujuh belas ribu, tapi Bapak ngasihnya dua puluh ribu. Nanti, bilangnya segitu saja, ya. Kan sisanya buat ongkosku pulang….”

“Gimana katamu sajalah,” sahutku polos.

Tanpa menunggu izin pulang aku langsung memanfaatkannya, sembunyi-sembunyi dari dokter dan perawat. Sering aku mengetik di samping kamar perawatan, di taman, di pinggir kolam paviliun, lebih sering lagi di kamar mandi.

Tak heran kalau aku sering lagi tak ditemukan oleh dokter saat mau diperiksa. Mereka akan mencari si pasien yang hilang dulu sebelum diinjeksi atau ditransfusi.

“Kamu ini bagaimana sih? Tahu penyakitmu apa coba?” omel dokter Jo suatu hari.

“Yaaa, dok, ngapain penyakit pake dipikirin segala?” sahutku acuh tak acuh.

“Hei, serius ya! Tahu kan, kamu ini kena hepatitis, harus banyak istirahat dan ditransfusi pula. Keadaanmu ini parah dan sulit diobati! Tolong, kamu harus disiplin. Jangan seenak udelmu saja!”

 Aku malah meledeknya.“Euleuh-euleuh… ceritanya dokter marah nih, ya? Kalau sudah bosan lihat tampangku, makanya cepat izinkan aku pulang. Coba, gimana nanti kalau Anda malah stres? Tensinya naik? Gara-gara sebal sama aku, iya kan dokter?”

Tampangnya yang Chinnese itu tampak memerah padam. Dia garuk-garuk kepala sambil ngeloyor pergi. Hihi, pusing-pusing situ!

Kalau aku kemudian diperbolehkan pulang, tentu bukan lantaran sembuh total. Penyakitku tidak bakalan sembuh total, penyakit abadi. Yah, lantaran para medisnya sudah sengak lihat tampang aku ‘kali, ya?

Sejak memiliki mesin tik sendiri, tingkat produktivitas menulisku semakin tinggi. Aku merambah ke harian-harian dan majalah terbitan Ibukota, Surabaya, Ujung Pandang, Medan dan Padang. 

Sampai ada surat pembaca di majalah Panji Masyarakat. Mengaku orang Medan. Dia mengata-ngatai aku sebagai berikut; “Pipiet Senja itu takut tak top dia! Di mana-mana karyanya nampang. Kemaruk pula rupanya dia, bah!”

Takut tak top kemaruk pula? Tak mengapa. Dia toh tak tahu siapa aku, bagaimana kebutuhan, dan ketergantunganku akan transfusi darah. Itu semua membutuhkan banyak biaya, Bung!

Di salah satu harian Ibukota pun muncul kritikan pedas dari seorang yang mengaku pengamat sastra dan budaya. Dikatakannya bahwa karya-karyaku itu kacangan, sembarangan dan sebagainya. 

Aku sempat syok berat. Untuk beberapa waktu malas menulis, tapi aku segera mendiskusikannya dengan ayahku.

Komentar Bapak ringkas saja; “Biasakan dirimu dengan kritikan-kritikan begitu. Jangan dibikin sakit hati. Sebaliknya kamu harus senang. Karena itu berarti karyamu dilirik orang, percayalah, kritikan itu akan membuatmu semakin selektif untuk menulis yang lebih baik…”

Pada saat-saat senggang dan sehat, aku selalu berusaha keras meningkatkan pengetahuan, wawasan tentang dunia sastra dan budaya. 

Semampuku tentunya, wong namanya juga otodidak. Saat-saat inilah aku butuh sosialisasi, bergaul dengan komunitas sesama penulis.

Aku bergabung dengan sebuah forum penyair muda Bandung. Bergaul dengan sesama penyair muda, penulis pemula menerbangkan aku hinggap di suatu tempat bernama YPK. Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan Bandung.

Ya, di sinilah, aku sering menemukan para seniman dan kebudayaan kota kembang kongkow-kongkow.

Untuk beberapa saat lamanya aku hampir menganggap YPK sebagai kampus atau kawah candradimuka, tempat di mana aku bisa mendiskusikan karya-karyaku, ikut membedah karya rekan penulis lainnya.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama