Piano - Linda Djalil



Piano 

Linda Djalil 

Piano adalah benda yang saya kasihi sejak saya kecil. Mulai dari ayah ibu tidak mampu membelikan piano bekas apalagi baru, sampai akhirnya saya dihadiahkan piano bekas yang sempat kebanjiran dan suaranya pun sudah distem berkali-kali, tetap tak normal lagi.

Alhamdulillah dalam perkembangannya orang tua saya  bisa pelan pelan tukar tambah dengan piano yang lebih lumayan. Begitulah setiap tahun. Sementara  itu saya pun  tetap rajin latihan di Kebayoran rumah adik ibu keluarga dokter dengan naik bis kota dari kawasan Menteng. Saya menunggu bis , setelah berdiri berlama lama di jalan Diponegoro Jakarta Pusat. Pada zaman sebelum 1970 an, bis saat itu masih jarang dan lama sekali menunggu bis datang.

Entah pertolongan Allah dari mana, saya bisa diterima di Yayasan Pendidikan Musik (YPM ) pimpinan Rudi Laban dan Iravati Sudiarso, setelah ditest tanpa pengetahuan berpiano sebelumnya. Masuk di kelas elementer, saya lalui dengan penuh semangat. Lulus ujian naik ke kelas 1, saya semakin bersemangat. Kadang masih memakai seragam sekolah, saya yang berusia 10 tahun saat itu, lari ke sekolah YPM di SD Trisula Pegangsaan. 

Pak Mis dan Pak Min pembersih sekolah sering heran. "Oalaaa Lindaaa.., ini kelas masih  berdebu, belum selesai kami sapu. Kamu kok sudah datang?" Jawabku, "Biarin deh Pak, yang penting saya bisa latihan dulu satu jam sebelum guru piano saya datang."

Pak Min dan Pak Mis hanya bisa geleng geleng kepala. Begitulah hampir setiap hari.

Yang mengejutkan, guru-guru di YPM memutuskan setelah ujian kelas 1, saya diloncatkan  ke kelas tiga. Alhamdulillah... Seorang murid yang punya piano butut di rumah, bisa lompat kelas.

Murid di sana dulu yang menjadi teman-teman saya di antaranya adalah  Pratiwi Sudarmono yang pada akhirnya astronot perempuan Indonesia pertama Indonesia.

Ada Halida Hatta  anak bungsu Bung Hatta , ada Diana Shanty yg sekarang jadi dokter, ada Ate Chaniago kini pebisnis batik, Dameria Hutabarat sekarang masih menjadi pianis dan keren sekali permainan jazznya, ada Nila Munzir yang kini memiliki kafe Victoria, ada Ariawan yang sempat menjadi dirut Bank Muamalat, ada Maroef Sjamsoedin yang pernah  menjadi Dirut Freeport, ada Oti Djamalus kini memiliki sekolah musik sendiri, dll dll.

Di tahun kelima saya berguru pada Iravati Sudiarso, pianis terkenal dan penuh disiplin tinggi. Setelah saya pindah ke West Berlin, guru piano saya nenek-nenek, seorang profesor musik di sebuah Universitas. Saya les privat di sana. Perjuangan menghadang winter minus 20 dengan berjalan kaki ke rumah sang profesor di ujung KrumeLanke benar-benar butuh ketabahan tersendiri. Kadang air mata saya mengalir sepanjang jalan. Ingin bolos tapi teringat ayah yg dengan sekuat tenaga menyisihkan uang gajinya untuk pendidikan saya di Jerman, membuat saya sadar tidak boleh bermalas-malasan di negeri orang.

Bertahun-tahun kemudian, saya sempat menjadi guru piano di seputar kediaman saya di Bintaro Jaya. Betul-betul saya berbahagia mendapatkan murid yang rajin les piano apalagi yang berbakat. Anak saya masih bayi ketika itu. Heran, dia tak pernah  terusik dengan  keberisikan suara piano. Tidurnya tetap lelap.

Teman-teman saya di YPM juga  ada yang meneruskan kiprah ibu Iravati Sudiarso menjadi guru di sekolah itu, bahkan sampai puluhan tahun lamanya. Contohnya, Linda Primana seorang psikolog lulusan UI yang satu guru piano dengan saya, menjadi guru di YPM yang dengan baik sekali caranya mengajar teknik  bermain secara rapi. 

Teman-teman dekat saya tahu saya 'gila piano' dan dianggap ahli memilihkan piano seken untuk dibeli. Ada direktur bank, ada beberapa dokter, ada tokoh politik seperti Fadli Zon semua piano sekennya di Jakarta maupun di Aie Angek Padang Panjang.

Termasuk piano berwarna coklat milik Prabowo di Hambalang. Memilihkan piano untuknya tidak  terlalu mudah, karena  maunya warna coklat disesuaikan dengan warna rumahnya yang serba kayu coklat.

Untuk saya, membeli piano bukan semata-mata karena body yang keren, tapi juga dimainkannya enak tidak. Kualitas suaranya harus  mendekati sempurna. Lalu piano harus 'ditelanjangi' dulu hingga snar-snarnya terlihat jelas. Apakah sudah ada yang tidak orisinal, pengetuknya sudah dimakan tikus atau masih utuh.

Ketika ada acara di Hambalang beberapa tahun silam, dari jarak yang agak jauh Prabowo berkata setengah berteriak, "Terima kasih ya Lin sudah belikan saya piano yg bagus..."

Orang-orang terpana termasuk saya? Belikan? Yang bener aje, duit gue banyak banget belikan piano untuk Prabowo. Lalu buru-buru saya ralat 

"Bukan belikan tapi pilihkan Mas. Kan gak pakai uang saya lhooo..." Dan ia pun tertawa.

Pada malam Tahun baru kemarin, begitu masuk rumah Prabowo di jalan Kertanegara. Katanya, "Ada piano sekarang di sini Lin. Nggak jauh-jauh lagi seperti di Hambalang. Kamu harus main."

Saya nyeletuk, "Bohong ya?" "Bener Liiin, tuh di bawah tangga...."

Kulihat piano itu. Tampaknya kali ini dia mendapatkan piano baru. Bukan seken. Jadi tentu tidak perlu bantuan saya untuk memilihkannya lagi.

Pagi ini saya akan melayat Iravati Sudiarso,  pianis kawakan yang wafat kemarin siang. Seorang guru piano, yang sangat cinta berpiano, pimpinan YPM puluhan tahun, yang menelurkan ribuan pemusik dari pemain piano, gitar, biola dll.

 Semoga amal ibadah almarhumah  diterima di sisi Nya, diberikan tempat yang indah seindah-indahnya.  Al Fatihah...

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama