Kartini Versus Malahayati

 




Berbagai sumber- Penyaji Pipiet Senja 

Di Indonesia bulan April identik dengan bulan Kartini. Tetapi selain RA Kartini Indonesia juga mempunyai banyak pahlawan wanita yang juga menginspirasi. Salah satunya adalah Malahayati.

Malahayati dan Kartini menurut penulis adalah dua pahlawan wanita yang sangat menarik. Mengapa demikian? Karena dua tokoh tersebut membuktikan bahwa wanita Indonesia bisa berjuang dan berkontribusi untuk bangsa dan negara melalui dua jalan yang sama sekali berbeda, yaitu lewat pena dan pedang.

Malahayati dan Kartini adalah dua pahlawan nasional Indonesia yang sangat berbeda baik dari segi jalan perjuangan maupun latar waktu serta tempat perjuangannya. Jika Malahayati berjuang lewat jalur militer, Kartini berjuang lewat tulisan-tulisannya.

Malahayati adalah seorang Laksamana Wanita Kesultanan Aceh yang berjuang pada awal-awal kedatangan Belanda dan Portugis di Indonesia. Ia hidup pada masa Kesultanan Aceh sekitar abad 15 atau 16. 

Prestasi yang dikenang dari seorang Malahayati adalah keberhasilannya dalam mengalahkan dan membunuh Cornelis de Houtman ketika berkonfrontasi dengan Kesultanan Aceh. Cornelis de Houtman adalah penjelajah dari Belanda yang mendarat pertama kali di nusantara pada tahun 1596.

Dalam Buku Malahayati Sri Kandi dari Aceh, Solichin Salam menyebut bahwa Malahayati adalah Laksamana dan Panglima Armada Wanita Pertama di dunia modern. Sedang penulis Belanda, Marievan Zuchtelen, menyebut tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang menjadi Panglima Armada seperti Laksamana Malahayati.

Jika Malahayati berjuang saat awal-awal Belanda memasuki nusantara, Raden Ajeng Kartini sebaliknya. Ia berjuang pada masa-masa penghujung di mana kekuasaan penjajah Belanda mendekati akhir di Indonesia.

RA Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Karena ia seorang anak wedana maka mempunyai kesempatan untuk belajar di sekolah bagus yakni Europese Lagere School (ELS). RA Kartini menempuh ELS sampai usia 12 tahun dan setelahnya harus dipingit sesuai dengan budaya Jawa pada waktu itu.

Keadaan Kartini yang dalam pingitan tidak menghalanginya untuk terus belajar. Berbekal bahasa Belanda yang diperolehnya di ELS, selama dalam pingitan ia pun berkorespondensi dengan teman-temannya dari Belanda. Tulisan-tulisan Kartini pun sempat pula dimuat pada majalah Belanda De Hollandsche Lilie.

Interaksi Kartini dengan buku, surat kabar, majalah dan wanita-wanita Eropa menginspirasinya untuk menyuarakan emansipasi wanita yang pada saat itu masih perlu diperjuangkan. Kartini menginginkan kesetaraan wanita dalam kehidupan dan hukum.  

Sayang, RA Kartini harus meninggal dalam usia muda. Ia meninggal setelah melahirkan anak pertama pada tahun 1904 di usia 25 tahun. Meskipun meninggal tetapi karya-karyanya tetap menjadi inspirasi yang terus menyala. Salah satu yang terkenal adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Itulah dua pahlawan nasional wanita Indonesia yang berjuang dengan caranya sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keadaan yang dihadapi. 

Dua wanita yang membuktikan bahwa pada zaman sebelum kemerdekaan mereka tidak hanya berdiam diri, tetapi juga mampu berjuang sesuai dengan keadaan zaman yang membutuhkan kehadiran mereka. Semoga menginspirasi...I]

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama