Hard Power Or...?



Oleh Agus Wahid

Kabar bahkan ajakan sudah meluas: 18 – 19 Maret akan terjadi pengerahan massa besra-besaran. Titik konsentrasi DPR RI, Gedung KPU dan BAWASLU. Tuntutannya jelas: tolak pemilu curang, diskualifikasi pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran dan makzulkan Jokowi. Sebuah catatan reflektif, apakah gerakan unjuk rasa massif akan menggugah kesadaran nurani Ketua KPU, Ketua BAWASLU, bahkan Jokowi dan para begundalnya? 

Mengacu panorama unjuk rasa di sejumlah negara maju, gerakan massa besar berpotensi mengubah kondisi sesuai keinginan rakyat, meski dengan cara santun. Hanya arak-arakan besar dan panjang sembari membawa atau mengibarkan spanduk, baliho dan alat peraga lainnya. 

Responsi positif itu karena unjuk rasa besar sejatinya bukan hanya menginformasikan masalah rezim yang bersifat terbatas, di negaranya sendiri. Tapi, terpancarluaskan ke berbagai belahan dunia. Rasa malu dan atau merasa dipermalukan ke tengah masyarakat internasional menjadi salah satu pertimbangan. Rasa malu itu menumbuhkan introspeksi dan koreksi diri, lalu tahu diri dan akhirnya mundur dari jabatannya. 

Lalu, bagaimana dengan di tanah air ini? Catatan menunjukkan, panorama unjuk rasa bukan hanya dipandang sepi dan ditinggal pergi oleh aktor utama terdemo, tapi justru dihadapi secara mobokratif (tangan besi). Maka, tak heran kita saksikan di antara pengunjuk rasa justru menjadi korban keganasan aparat pertahanan dan keamanan. Mereka menjadi monster yang melibas siapapun yang menunjukkan aksi konfrontatifnya. Sangat represif. Pemilihan Presiden (pilpres) 2019 menjadi puing-puing sejarah yang masih cukup membekas. Tak mudah dilupakan, apalagi bagi korban. 

Korban berjatuhan, tidak hanya mereka yang berada di arena KPU dan BAWASLU, tapi di antara mereka yang menyelamatkan diri ke masjid di Petamburan pun dikejar. Ditangkap dan diseret entah ke mana. Yang jelas, tak sedikit di antara mereka hilang sampai detik ini. Uniknya, sikap heroik pro Prabowo saat itu tak pernah mendapat simpati dari sang aktor yang dibelanya, apalagi menjenguknya. Sungguh potret pemimpin yang gak tahu diri. Itulah sepenggal sejarah kelam pada pilpres 2019.

Lalu, bagaimana dengan pasca pilpres 2024 ini? Tampaknya, sadisme akan jauh lebih menyeramkan. Landasannya, ketika pilpres 2019 hanyalah bermofif mempertahankan kekuasaan satu periode berikutnya (2019-2024). Kini, merancang bagaimana kekuasaan jauh lebih lama, tak cukup satu periode ke depan. 

Inilah desain politik dinasti yang siap ditancapkan per 2024 ini. Baru kali ini terjadi dalam pangung politik nasional. Karenanya, bukan hanya all out langkahnya secara politik, tapi memaksa diri harus mengerahkan kekuatan pertahanan dan keamanan yang jauh lebih powerful dan sadis. Pemikiran politik dinasti sebenarnya menempatkan Prabowo diperalat. Tapi, tampaknya Prabowo kura-kura dalam perahu (pura-pura tak taku). Itulah prototipe manusia hipokret. Licik.

Kini, kita tahu resiko unjuk rasa itu. Di satu sisi, akan berhadapan dengan gerombolan manusia pro 02 sebagai pendemo tandingan. Di sisi lain, secara paralel, juga menghadapi kaum aparat “robotik”, yang tak akan memandang para pengunjuk rasa (penuntut kebenaran) sebagai warga negara Indonesia.  

Dengan pandangan seperti itu, lalu apakah tetap mengedepankan irama unjuk rasa santun seperti yang terbentang di sejumlah negara maju. Stupid. Setidaknya, tak mau belajar dari sejarah. 

Jika kita merefer tragedi Tiananmen (China) sekitar tiga dasawarsa lalu,  para pengujuk rasa anak bangsanya yang menuntut demokratisasi ala Barat, mereka – dalam jumlah kisaran 800-an ribu orang – dibantai dengan senjata modernnya. Merefer tragedi itu, Jokowi yang bernenek leluhur Tionghoa dan anak dari gembong PKI bukanlah tak mungkin menerapkan gaya ethnic cleansing. Dengan membaca karakter etnik gaya rezim leluhurnya dan sentimen pro komunisnya, tak akan beda tingkat sadismenya. Yang penting berhasil berkuasa, sehingga akan tetap selamat dari desakan tuntutan internasional.

Sekali lagi, apakah pengunjuk rasa nanti akan tetap mengedepankan sikap santun? Mengapa tidak membangkitkan kesadaran: tak boleh terjadi korban bergelimpangan? Jika hal ini menjadi opsinya, maka hard power dalam unjuk rasa memang harus menjadi opsi yang menguat. Sungguh aneh, jika saat berangkat hanya membawa sajadah, minuman dan makanan untuk berbuka puasa. Mengapa tidak mempersiapkan diri alat peraga sebagai perisai diri dan sejumlah alat perimbangan kekuatan lainnya? Terkesan mau “perang”. Memang, itulah yang sulit dihindari.

Satu lagi, pikirkan langkah strategis lainnya. Mengapa pelumpuhan ekonomi diabaikan dari satu opsi gerakan? Seperti yang tertulis pada artikel kemarin (People Power is The One Option), mengapa opsi ini tidak dijadikan strategi yang strategis? 

Caranya simple: blokade sejumlah jalur utama ekonomi, di wilayah Jakarta dan sejumlah provinsi lain. Tanpa melibatkan ratusan ribu pengunjuk rasa. Bisa dengan gaya gerilya, hit and run. Dan hal ini akan mencegah mayat-mayat bergelimpangan. 

Gerakan non politik ini akan mengakibatkan krisis ketersediaan stok pangan yang meluas. Rakyat di berbagai wilayah, termasuk mereka yang kemarin pilih paslon 02 akan tergerak ikut serta mengambil gerakan revolusioner. Karena panggilan perutnya. Di sana kita saksikan gerakan anarkis yang berkobar, dimulai dari daerah. Viralisasi aksi penjarahan akan menjadi pemicu revolusi sosial menasional. Kondisi ini mendorong masyarakat menyerbu bank. Untuk mengambil tabungannya. Akan terjadi rush. Makhluk inflasi pun langsung meroket. Akhirnya, perekonomian lumpuh. Jokowi, keluarga dan para kroninya, bahkan kaum etnis Tionghoa lainnya yang a politik akan segera terbang ke negeri jiran. Untuk menyelamatkan diri. Dan siapapun yang selama ini menjadi “pegundal” rezim tapi tidak ikut serta terbang, akan menjadi bidikan. Para pegundal itu – harus kita catat – sebagai penghancur tatanan bernegara dan kepentingan hidup bangsa selama ini.

So, we have to state openly that hard power is the must. Inilah artikulasi cara menyelamatkan negara dan bangsa ini. Jika tetap santun, akan kembali terulang sejarah kelam itu. Dan hal ini, akan menjadi pintu gerbang kebertahanan sejarah kelam negeri kita ke depan dalam masa panjang, akibat politik dinasti yang kian mencengkeram. Wallahu `alam bish-shawab.

Semarang, 17 Maret 2024

Penulis: analis politik

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama