Darah Masih Menetes Satu-Satu
Pipiet Senja
Sejak Agustus 2023, saya pindah berobat dari dua rumah sakit: RS Bhayangkara Brimob dan RS Sukanto.
Transfusi ternyata bisa dilakukan di RSUI. Saran dokterku, semua konsul pindah saja di satu rumah sakit ke RSUI.
Seminggu yang lalu, saat ke loket pendaftaran RSUI, sempat terjadi debat kusir dengan petugas.
“Tidak bisa langsung transfusi. Harus skrining dulu….”
“Maksudnya skrining Thallasemia?”
“Iyalah, untuk memastikan….”
Dalam pikiran saya, skrining Thallasemia adalah cek antara lain: DNA dan BMP, ambil sumsum tulang di punggung. Nah, saya belum lama operasi lumbar. Baru membayangkannya saja, haiƬssssh, sakitnya dahsyaaat!
“Kan saya bawa dokumen kesehatan dari rumah sakit Sukanto. Lengkap ini.” Segera menyodorkan map berisi segala macam ceklab.
“Gak bisa begitu saja. Harus mengikuti prosedur BPJS.”
“Oke, jadi….”
“Jadwalnya sekitar 3 minggu, baru bisa. Nanti dikabarkan….”
Mendengar waktu yang terlalu lama dari jadwal seharusnya, seketika serasa ada yang naik ke ubun-ubun.
Membayangkan skrining: cek darah, DNA terutama BMP; diambil sumsum tulang dari punggung. Aduuuh, sakitnya dahsyaaat!
Sudah 4 kali saya di BMP, sejak 1969. Di RSPAD, RS Dustira, RSCM dan RS Sukanto.
Lagipula sudah bangkotan begini, bau tanah kubur, masih juga harus skrining? Mak dikipe lu, aaaargh!
“Pak, HB saya sekarang paling juga 7. Pasca operasi saraf kejepit. Kalau nunggu 3 minggu lagi, bisa keburu semaput…. Bahkan bisa jadi gameover. Kalau sampai mati, mau aku gentayangin ya?” Celotehku sambil menahan gigilan sekujur badan.
Kulihat petugas itu melotot kaget. Aku berlalu, baru ingat ada teman sesama Thaller di klinik Thallasemia.
Langsung kutelepon dia. Dengan ramah dia memintaku ke lantai 2. Karena dia sendiri sedang transfusi.
Begitu memasuki ruangan transfusi, kulihat ada beberapa deretan ranjang sudah penuh. Terisi oleh anak-anak Thaller.
“Siang, Suster. Saya pasien Thallasemia pindahan dari RS Sukanto….”
“Oh, iya, Bu Pipiet Senja?” kata suster.
“Nama KTP Etty Hadiwati,” tukasku.
“Ooooo! Itu nama pena ya!”
“Nah, ini senior,” cetus lelaki berseragam dokter.
Seminggu kemudian, barulah bisa ditransfusi. Lebih cepat dari prosedur.
Kupandangi darah O Leuckodepled yang tergantung di tiang infusan. Masih menetes satu-satu. Hingga detak jantung berhenti.
Terima kasih Nanda Nurdin, Suster Ishri dkk dan terutama dokter Rahmat Cahyanur. Keramahan dan ketulusan peduli kepada kami, pasien Thallasemia, sungguh sangat membantu, menyemangati. Ya, semangat itu kembali menguat dalam dada ini.
Terima kasih emak-emak Popti Hermina yang telah menengok Manini di kontrakan. Kita janji untuk membukukan kisah inspirasi tentang perjuangan anak dan orang tua Thaller.
Semoga Allah Swt memudahkan dan memberkahi kita. Semesta doa untuk para pejuang kehidupan.
RSUI, Agustus 2023
Posting Komentar