Anakku Punya Anak
Pipiet Senja
Setiap bulan Agustus kenanganku akan kembara ke masa silam. Saat hidup berdua anakku di rimba Jakarta. Itulah masa-masa tersulit dalam hidupku. Bahkan jika dibandingkan dengan masa kritis sakit yang pernah aku lewati, rasanya masih jauh lebih sulit dan menyakitkan, maha luka!
Sejak anakku berumur setahun, praktis kami tinggal di rumah orang tua di Cimahi. Ya, bahtera rumah tangga yang baru dikayuh gonjang-ganjing dan harus mengalami masa reses. Tidak perlu diungkapkan penyebabnya. Itu hanya akan membuka luka lama dan mungkin bisa membuka luka baru, ketersinggungan beberapa pihak. Sudahlah.
Maka aku harus berjuang lebih sengit lagi. Selain mencari biaya pengobatan diri sendiri, aku juga harus menafakahi seorang anak yang masih kecil. Kami berdua ditempatkan di kamar di loteng, di atas pavilyun yang pernah aku bangun sebelum menikah.
Sementara di bawah masih ada lima orang adik yang sedang berjuang meraih cita-cita. Seorang adik perempuan ikut dengan keluarga adik kedua En di Cibubur, Jakarta.
Ma dan Bapak sekali sepekan menengok ke Cimahi. Kehidupan terasa amat lamban dan sarat dengan kepedihan di hati.
Pada bulan-bulan pertama tanpa suami, kami sangat menggantungkan hidup dari belas kasih orang tua dan adikku En. Aku sakit, lemah dan syok berat.
Bayangkan saja, orang yang sangat kuharapkan menjadi pelindungku malah berkhianat. Bukan hanya itu, dia yang sangat sedemikian kerasnya ingin mengajariku perihal agama, kejujuran, kepercayaan, berulang kali-tak terhitung lagi, menyuruhku bersumpah agar setia dengan di bawah kesaksian kitabullah…. Ya Allah!
Justru dialah yang terjerumus dosa!
Aku kecewa sangat, luka nan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, semseta kata skealipun. Ujung-ujungnya jiwaku hancur dan menyeret kerapuhan badan yang memang sudah ringkih sejak kecil, penyakit bawaan yang harus kutanggung. Luluh-lantak sudah!
Aku hampir tak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan keluarga besar SM. Arief. Sampai suatu saat aku terbangun dari tidur panjang yang menyakitkan!
“Semuanya harus dibeli, Teteh. Gak ada yang gratis di dunia ini! Kalau gakdibeli dengan tenaga, ya, dengan pikiran dan perasaan…. Apa Teteh pikir, kehidupanku seperti sekarang ini gak dibeli dengan pengorbanan? Aku berjuang keras untuk mewujudkan semuanya ini, yakinlah!”
Kira-kira demikian yang aku rekam dari nasihat adikku En pada suatu kesempatan berdua. Aku mendadak tersadar. Bahwa aku sudah terlalu lama menjadi beban lagi bagi orang tua dan saudara-saudara. Ini tak boleh dibiarkan. Bangkitlah dan berjuanglah kembali, Pipiet Senja!
Sejak itulah aku kembali menggeluti mesin ketik. Bermalam-malam begadang sambil mengemong si kecil. Apabila tulisan-tulisan sudah menumpuk, aku pun berkemas untuk mengantar langsung ke Jakarta.
Aku lakukan itu mengingat kebutuhan honorariumnya yang mendesak. Aku sudah memiliki hubungan baik dengan sejumlah rekan redaksi, dan mau memahami kebututuhanku. Merekalah yang selama itu bisa aku andalkan.
Acapkali dinihari aku berangkat dari Cimahi menuju Jakarta. Sambil menggendong si kecil, aku menjinjing bundelan naskah di tas besar.
Ya, ke mana pun aku melangkah si kecil akan aku bawa. Karena tak ada yang bisa mengurusnya di rumah. Jangankan menyewa pengasuh bayi, lha wong buat makan saja pontang-panting.
Saat orang-orang masih terlelap di balik selimut tebal, aku dan si kecil menunggu bis di pinggir jalan raya Tagog. Kadang adikku mengantar sampai depan. Tak jarang aku berangkat berdua saja dengan anak dalam gendongan.
Aku akan mencatat hari-hari yang panjang, di bawah terik mentari Ibukota, menyusuri trotoar menempuh segala macam resiko lalu-lintas. Apabila sudah tiba di kantor redaksi, rekan-rekan perempuan biasanya akan mengelu-elukan kami. Menyambut kami dengan ramah dan mengulurkan tangan secara tulus. Urusan biasanya akan dimudahkan.
Mungkin mereka iba melihat perjuangan kami berdua. Mungkin juga akulah satu-satunya penulis perempuan yang bergaya seperti itu. Ngotot urusan honorarium, begitulah, berbekal muka badak seniman. Hehe!
Namun, bukan berarti selamanya bisa mulus begitu saja.
Suatu hari kami mengalami kejadian tak terlupakan. Ketika itu si kecil sudah terasa demam sejak berangkat dari Cimahi. Aku tetap membawanya, karena sangat butuh buat biaya transfusi dan keperluan sehari-hari. Aku membuntal si kecil dengan selimut tebal. Kala itu umurnya belum dua tahun, bicaranya masih cadel.
“Teman Mama ternyata lagi sibuk jadi juri FFI, Nak. Jadi kita belum dapat honorariumnya di redaksi sini. Kita terpaksa harus ke redaksi Anu di Teluk Gong. Di sana masih ada honorarium cerber Mama,” kataku kepada si kecil.
Sudah jadi kebiasaan aku suka mengajaknya berdialog tak ubahnya kepada rekanan kerja saja. Kulakukan hal seperti itu, bahkan sejak dia dalam kandungan sekalipun, sudah kulibatkan dalam kisah-kisahku, lakon kehidupanku atau hanya sekadar mendengar outline novel yang hendak kutulis.
”Bagaimana, apa kamu masih kuat jalan, Sayang?” Aku memandangi wajahnya yang kata orang mirip bapaknya itu.
Sepasang matanya tampak sayu dan wajahnya mulai pias. Aku memeluknya, terasa dingin sekali. Kami berada di sebuah metromini yang jalannya ngebut bukan main. Miring ke kiri miring ke kanan, penumpangnya berjubelan.
Tiba-tiba… bruuuuak, jegheeer!
“Aduuuuh!”
“Ngebut melulu sih si Abang ini!”
“Lihaat, motor yang ditrabraknya sampe mecleng begitu!”
“Turuuuun! Ayo, turuuun, buaahayaaa!”
Aku ikut loncat bersama para penumpang yang bertemperasan. Aku tidak ingat lagi dengan tas berisi bundelan naskah yang berceceran. Yang aku utamakan adalah si kecil. Meskipun perut sakit karena limpa lagi kambuh dalam beberapa hari terakhir, aku menggendong anak sambil berlari menjauhi metromini itu.
Dari jauh aku bisa menyaksikan bagaimana metromini itu rame-rame dijungkir-balikkan, sopirnya dihajar massa. Seketika serasa tubuhku menggigil hebat.
“Mama, Etan ntah, Etan au ntaaah…”
Aku memandangi si kecil dalam gendongan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya mengkerut dan… Huuuaak!
Si kecil muntah hebat. Tak ada yang tersisa lagi. Susu sebotol dan biskuit yang susah payah aku suapi ke mulutnya, dikeluarkan habis.
Kami njemprak saja di trotoar.Aku bingung, sedih dan panik sekali melihat si kecil sengsara begitu. Seorang ibu menghampiri dan ikut menenangkan si kecil. Membaluri perutnya dengan minyak kayu putih. Memberinya minuman hangat yang diminta dari warteg.
“Mama,Etan au mimi obo…” Dia menyebut dirinya Etan.
Mau minum susu sambil bobo, katanya. Aku merunduk, mencari tas dan baru menyadari botol susunya entah tercecer di mana. Persis dengan nasib bundelan naskah, tumpuan harapan kami sejak ditenteng-tenteng dari Cimahi. Tiba-tiba mata terasa sangat perih. Perihnya parat ke ulu hati.
Ada sebersit tanda tanya menyeruak dalam hati. Adakah kami harus selamanya sengsara begini? Sampai kapan, Ya Allah?
Bersambung
Posting Komentar