Pipiet Senja
Anno, 1963
Tatkala kanak-kanak di Sumedang, kami acapkali memergoki suguhan atau sesajen di goah. Goah ini sebutan untuk bilik khusus tempat penyimpanan beras dan makanan kering. Biasanya suguhan itu diletakkan di goah setiap malam Selasa dan Jumat. Anak-anak suka menyebutnya sebagai tempat jurig alias hantu.
Ada suatu pengalaman lucu di sekitar tempat jurig ini yang masih kukenang. Petang itu hari Kamis, aku melihat Eni, demikian kamimenyebut nenek dari pihak ibu, sedang sibuk menyiapkan sesajinya.
Ada secangkir kopi pahit. Secangkir rujakan yang rasanya pastilah segar dan gahar alias asam segar. Ada pisang emas yang imut-imut, telur ayam kampung setengah matang.
Sekali ini aku lihat ada tambahannya; bubur merah-bubur putih… walaaah… ini makanan kesukaanku!
Kuingat lagi, ketika itu Aki telah dipanggil Sang Pencipta karena sakit TBC.
“Eni, sebetulnya buat siapa sesaji ini?” tanyaku sambil mencermati gerak-geriknya yang begitu serius menyiapkan sesajen.
“Tentu saja untuk Embah Jambrong,” sahut Eni sambil menaruh baki perak di atas meja kecil di sudut goah.
“Embah Jambrong suka rujakan dan kopi pahit, ya Eni?”
“Hmm…”
“Embah Jambrong juga suka pisang emas, Eni?”
“Iya, suka semuanya ini.”
“Suka semuanya? Baki peraknya juga nanti mau dimakan sama Embah Jambrong, ya Eni?”
Eni tertawa kecil mendengar komentarku, diusap-usapnya rambutku, terasa penuh kasih sayang.
“Ya, selesai sudah. Ayo… sudah maghrib, Neng…”
“Eeeh, Eni kenapa gak nyisain rujakannya buatku?” tanyaku baru teringat lagi.
“Sekarang tidak ada sisanya. Lain kali saja, ya?”
Aku kecewa. Iyalah, biasanya aku bisa menikmati sisa rujakannya. Hm… hmm… cliiink!
Tiba-tiba saja muncul ide konyol di otak kecilku. Saat tak tampak Eni lagi, aku berlari kembali ke goah. Rasa takut yang biasanya menghantui sirna seketika. Entah pembawa rasa kecewa atau marah.
Aku berpikir, “Huuuh enak saja! Embah Jambrong itu serakah amat, ya?”
Tanganku meraih cangkir perak berisi rujakan, sekejap saja telah lenyap ke mulutku.
“Hmm… Sedaaap!” mulutku berdecap-decap.
Sekarang giliran pisang emas, waaa… ada tujuh!
Aku menyikatnya semua, tanpa sisa!
Demikian pula dengan bubur merah bubur putih, kusikat sampai licin tandas. Puas menikmati isi sesaji kecuali kopi pahitnya, aku pun keluar mindik-mindik dari goah. Seperti tak terjadi apa-apa, aku melenggang, bergabung dengan adi-adik dan sepupu mengambil air wudhu di sumur.
Esok paginya rumah menjadi gempar!
Eni dan Emih dirubungi oleh para cucu. Sebagian penasaran ingin tahu apa yang terjadi, termasuk aku yang diam-diam bergabung. Sebagian lagi merasa kebat-kebit, nama Embah Jambrong dan karuhun dibawa-bawa.
“Sesajen kita rupanya sangat disukai,” ujar Eni.
“Iya, Ibu… syukurlah Embah berkenan,” timpah Emih dalam nada takzim.
“Ini pertanda kita bakal banyak rezeki…”
“Hiiiy… bagaimana kalau Embah Jambrong semalam datang ke kamar kita, ya?” bisik El sepupuku.
Kulihat anak-anak makin mengkeret. Setelah kutahu permasalahannya aku tertawa geli dalam hati.
“Teh kenapa cengiran?” tanya adikku En.
Aku merasa tak tahan lagi. Cepat-cepat menyingkir dengan bibir terus saja cengengesan.
Ops… kelakuanku yang aneh itu tak luput dari perhatian Bapak yang sedang cuti. Bapak menghampiriku yang berlagak sibuk main undur-undur di kolong rumah.
“Ada apa, ayoook?”
“Eeeh, gak ada apa-apa…” elakku.
“Tak mau mengaku, ya?”
“Iiiih… Ngaku apa, Pak?”
“Bapak yakin, kamulah yang menghabiskan suguhan di goah itu. Iya kan?” tanyanya langsung menohokku.
Tentu saja aku kaget setengah mati!
Wajahnya yang keras dengan sepotong alis yang tebal. Suaranya yang berkharisma dan berwibawa. Huuu, siapa berani menantang Bapak?
“Eeeh, kenapa Bapak tahu?” sahutku sambil menundukkan wajah, tak sanggup menantang matanya yang tajam bagai elang.
Tanpa dinyana Bapak bukannya marah, sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak!
Aku menengadah mencari wajahnya. Ya, ayahku sungguh tertawa nikmat. Air matanya berleleran dari sudut-sudut matanya. Aku kebingungan, beberapa jenak jadi terpancing ikut tertawa geli.
Untuk beberapa waktu pula kejadian itu menjadi rahasia kami berdua. Entah dengan pertimbangan apa, Bapak menyembunyikan hal itu dari Emih dan Eni. Ibu kandung dan ibu mertuanya yang hobi bikin sesajen itu.
“Ini baru putri Bapak. Putri seorang Prajurit!” kata Bapak dalam nada bangga. Ditepuk-tepuknya bahuku. Tepukan hangat dan sarat kasih sayang. Aku tahu itu.
@@@
Posting Komentar