Mereka Pernah Ceria


Share Feni Linda Wati - Emak Alin
Mereka Pernah Ceria

Beberapa tahun lalu, Alin pernah dirujuk untuk konsul ke dokter hematologi di Balikpapan. Sambil menunggu panggilan di ruang poli hematologi, Alin bermain dengan Kanaya. Kejar-kejaran, bercanda, sampai ketawa cekikikan. Ada seorang ibu muda yang duduk di hadapanku. Dengan mata berkaca-kaca ia memperhatikan semua tingkah polah Alin. Di sampingnya ada stroller ukuran besar yang berisi anak perempuan.

Aku berpindah duduk ke sebelah wanita itu. Aku menyapanya. Biasanya kalau ketemu yang seperti ini, aku menghindari bertanya tentang anaknya, kecuali dia yang bercerita lebih dulu. Aku mengajaknya berbincang, sekedar pertanyaan basa basi. Seperti berasal dari mana. Dia bertanya berapa usia Alin. Kujawab, lima tahun empat bulan. Ternyata usia Alin hanya selisih beberapa bulan dengan usia anaknya yang sedang berbaring di stroller.

Ibu muda itu lantas bercerita. Tiga bulan lalu anak saya juga seceria anak bunda, katanya dengan nada sedih. Dia bermain sepeda, berlari dan suka memanjat saat diajak bermain di arena permainan.

Tidak ada keluhan kesehatan samasekali. Tapi tiba-tiba satu malam, dia demam tinggi. Dan setelah melakukan berbagai pemeriksaan, hasilnya menunjukkan dia memiliki tumor ganas. Perkembangan tumornya sangat cepat. Hanya dalam waktu 2 bulan sudah membuat anak saya tidak bisa berdiri dan berjalan lagi. Hanya bisa berbaring. Matanya juga semakin menonjol keluar. Anak saya betul-betul kehilangan senyumannya. Dia jarang bicara. Dia akan marah dan menangis jika ada orang lain, selain saya dan ayahnya mendekatinya. 

Aku tahu betul seperti apa yang dirasakan ibunya. Sehingga kalimat menyuruhnya untuk bersabar, tidak bisa kuucapkan. Aku hanya bisa berkata, "Semoga anak Mba diberi Allah kesembuhan. Semoga Mba dan suami selalu diberi Allah kesehatan agar bisa mendampingi pengobatan anak kalian."

Lain lagi cerita si Aby. Anak laki-laki berusia 2 tahun. Berbadan putih bersih dan berisi. Sekilas dia sangat sehat, tidak terlihat sakit. Tapi dia didiagnosa terkena leukimia akut(kanker darah). Ibunya bercerita. 

Sebelum sakit, Aby adalah anak yang lincah. Seperti anak-anak seusianya, Aby termasuk yang aktif dan banyak gerak. Berlarian kesana kemari. Apalagi di depan rumah mereka ada lapangan tempat anak-anak bermain. Tapi satu hari Aby terjatuh saat sedang bermain. Dia kemudian tidak bisa berdiri dan berjalan. Orang tua Aby mengira kaki aby terkilir.

Mereka membawa Aby ke tukang urut. Tapi berulang kali diurut Aby tetap tidak bisa berjalan. Mereka kemudian membawa ke dokter anak. Dan setelah melakukan beberapa pemeriksaan darah, Aby dinyatakan terkena kanker darah (leukimia akut). Setelah itu kondisi Aby terus memburuk. Dia mengalami pendarahan parah, lewat gusi, hidung, BAK dan BABnya. Dan hanya beberapa bulan berjuang akhirnya Aby dipanggil Sang Khalik.

Kisah yang terbaru. Anak perempuan usia 4 tahun yang sekamar Alin. Anak yatim dari Bontang. Anak perempuan satu-satunya (karena 2 kakaknya laki-laki). Sama seperti dua kisah di atas. Sebelumnya Adiva juga anak yang ceria dan menggemaskan. 

Kata ibunya, Adiva senang menyanyi. Ia bahkan hafal banyak lagu anak-anak. Tapi kondisinya kemudian memburuk pasca mengalami kejang tanpa demam. Dia dilarikan ibunya ke RSUD Bontang. Karena kejadian kejangnya sering dan disertai muntah, maka rumah sakit Bontang merujuk Adiva ke RSUD AWS Samarinda. 

Setelah dilakukan berbagai pemeriksaan, termasuk CT Scan. Ditemukan ada cairan di otaknya. Itulah penyebab dia sering kejang dan muntah. Selanjutnya dilakukan operasi pemasangan selang (Vshunt) untuk mengalirkan cairan otaknya langsung ke lambung. Saat ini dia sudah tidak mengalami kejang lagi. Tapi dia kehilangan senyumannya. 

Dia tidak bisa tidur dengan tenang. Selalu gelisah. Saat tidur dia bisa tiba-tiba terbangun dan berteriak histeris seperti ketakutan. Ini terjadi berulang kali. Dia juga tidak terlalu merespon saat diajak bicara. Saat ini dia masih dalam perawatan di RSUD AWS. Ibu dan kakak laki-lakinya sangat sedih melihat kondisinya. Yang membuatku semakin sedih adalah ibunya hanya sendirian di rumah sakit. Anak laki-lakinya satu sedang mondok di Jawa. Yang satu di Bontang. Tidak bisa menemani ibunya karena sedang mempersiapkan ujian semester. 

Mereka tidak punya keluarga samasekali di Samarinda dan Bontang. Mereka hijrah ke Bontang mengikuti suaminya yang dipindah tugaskan. Tapi Qadarallah suaminya meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit jantung. 

Tidak bisa kubayangkan bagaimana rasanya menjadi ibu Adiva. Karena jujur aku sangat tergantung pada support sistem keluargaku. Aku bisa tenang di rumah sakit karena Naya kutitipkan di rumah adikku. Kalau mendadak butuh bantuan, aku tinggal telpon keluargaku. Mereka akan langsung datang membantuku. Makanya, walaupun Alin drop saat ayahnya kerja di lokasi. Bagiku bukan masalah.

Tiga kisah di atas hanya sebagian kecil dari kisah-kisah yang kutemui di rumah sakit. Banyak anak-anak yang mengalami sakit parah secara mendadak(istilah kedokteran akut). Bahkan sebelumnya tidak menunjukkan gejala samasekali. Sehingga membuat keluarganya shock.

Ini adalah bukti bahwa tidak ada yang bisa memprediksi takdir seseorang. Bahkan orang terdekat sekalipun. Karena itu sayangi anak kita. Sering-seringlah memeluk mereka. Peluk mereka dengan lenganmu. Peluk mereka dengan doamu.

Untuk anak-anak yang saat ini berada pada fase ini. Semoga Allah berikan banyak kebahagiaan sebagai ganti rasa sakit yang mereka rasakan. Dan Allah kembalikan senyuman mereka yang sempat hilang. 

Semoga kita semua selalu sehat dalam lindungan Allah.

Samarinda, 12 Mei 2023
Emak ZiraNayaAlin ♥️


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama