Melukis Luka Bersama Buah Hati




Silakan dibeli via WA 08119948212

Pipiet Senja 

Tahun 1982-1985 merupakan masa-masa tersulit dalam hidup aku. Bahkan jika dibandingkan dengan masa-masa kritis sakit yang pernah aku lewati, rasanya masih jauh lebih sulit dan menyakitkan, luka!

Sejak anakku berumur setahun, praktis kami tinggal di rumah orang tua di Cimahi. Ya, bahtera rumah tangga yang baru dikayuh gonjang-ganjing dan terpaksa harus mengalami masa-masa reses. Tidak perlu diungkapkan penyebabnya. Itu hanya akan membuka luka lama dan mungkin bisa membuka luka baru, ketersinggungan beberapa pihak. Sudahlah.

Maka aku harus berjuang lebih sengit lagi. Selain mencari biaya pengobatan diri sendiri, aku juga harus menafakahi seorang anak yang masih kecil. Kami ditempatkan di kamar di loteng, di atas pavilyun yang pernah aku bangun sebelum menikah. 

Sementara di bawah masih ada lima orang adikyang sedang berjuang meraih cita-cita. Seorang adik perempuan ikut dengan keluarga adik kedua En di Cibubur, Jakarta. Ma dan Bapak sekali sepekan menengok ke Cimahi. Kehidupan terasa amat lamban dan sarat dengan kepedihan di hati.

Pada bulan-bulan pertama tanpa suami, kami sangat menggantungkan hidup dari belas kasih orang tua dan adikku En. Aku sakit, lemah dan syok berat. Bayangkan saja, orang yang sangat kuharapkan menjadi pelindungku malah berkhianat.

Bukan hanya itu, dia yang sangat sedemikian kerasnya ingin mengajariku perihal agama, kejujuran, kepercayaan, berulang kali-tak terhitung lagi, menyuruhku bersumpah agar setia dengan di bawah kesaksian kitabullah…. Ya Allah!
Justru dialah yang terjerumus dosa!

Aku kecewa sangat, luka nan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, semesta kata sekalipun. Ujung-ujungnya jiwaku hancur dan menyeret kerapuhan badan yang memang sudah ringkih sejak kecil, penyakit bawaan yang harus kutanggung. Luluh-lantak sudah!

Aku hampir tak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan keluarga besar SM. Arief. Sampai suatu saat aku terbangun dari tidur panjang yang menyakitkan!

“Semuanya harus dibeli, Teteh. Gak ada yang gratis di dunia ini! Kalau gakdibeli dengan tenaga, ya, dengan pikiran dan perasaan…. Apa Teteh pikir, kehidupanku seperti sekarang ini gak dibeli dengan pengorbanan? Aku berjuang keras untuk mewujudkan semuanya ini, yakinlah!”

Kira-kira demikian yang aku rekam dari nasihat adikku En pada suatu kesempatan berdua. 

Aku mendadak tersadar. Bahwa aku sudah terlalu lama menjadi beban lagi bagi orang tua dan saudara-saudara. Ini tak boleh dibiarkan. Bangkitlah dan berjuanglah kembali, Pipiet Senja!

Sejak itulah aku kembali menggeluti mesin ketik. Bermalam-malam begadang sambil mengemong si kecil. 

Apabila tulisan-tulisan sudah menumpuk, aku pun berkemas untuk mengantar langsung ke Jakarta. Aku lakukan itu mengingat kebutuhan honorariumnya yang mendesak. 

Aku sudah memiliki hubungan baik dengan sejumlah rekan redaksi, dan mau memahami kebututuhanku. Merekalah yang selama itu bisa aku andalkan.

Acapkali dinihari aku berangkat dari Cimahi menuju Jakarta.
Sambil menggendong si kecil, aku menjinjing bundelan naskah di tas besar. 

Ya, ke mana pun aku melangkah si kecil akan aku bawa. Karena tak ada yang bisa mengurusnya di rumah. Jangankan menyewa pengasuh bayi, lha wong buat makan saja pontang-panting.

Saat orang-orang masih terlelap di balik selimut tebal, aku dan si kecil menunggu bis di pinggir jalan raya Tagog. Kadang adik Erry dan Eddy mengantar sampai depan. Tapi tak jarang aku berangkat berdua saja dengan anak dalam gendongan.

Aku akan mencatat hari-hari yang panjang, di bawah terik mentari Ibukota, menyusuri trotoar menempuh segala macam resiko lalu-lintas. Apabila sudah tiba di kantor redaksi, rekan-rekan perempuan biasanya akan mengelu-elukan kami. Menyambut kami dengan ramah dan mengulurkan tangan secara tulus. 

Urusan biasanya akan dimudahkan. Mungkin mereka iba melihat perjuangan kami berdua. Mungkin juga akulah satu-satunya penulis perempuan yang bergaya seperti itu. Ngotot urusan honorarium, begitulah, berbekal muka badak seniman. Hehe!

Namun, bukan berarti selamanya bisa mulus begitu saja. Suatu hari kami mengalami kejadian tak terlupakan. Ketika itu si kecil sudah terasa demam sejak berangkat dari Cimahi. 

Aku tetap membawanya, karena sangat butuh buat biaya transfusi dan keperluan sehari-hari. Aku membuntal si kecil dengan selimut tebal. Kala itu umurnya belum dua tahun, bicaranya masih cadel.

“Teman Mama ternyata lagi sibuk jadi juri FFI, Nak. Jadi kita belum dapat honorariumnya di redaksi sini. Kita terpaksa harus ke redaksi Anu di Teluk Gong. Di sana masih ada honorarium cerber Mama,” kataku kepada si kecil.

Sudah jadi kebiasaan aku suka mengajaknya berdialog tak ubahnya kepada rekanan kerja saja. Kulakukan hal seperti itu, bahkan sejak dia dalam kandungan sekalipun, sudah kulibatkan dalam kisah-kisahku, lakon kehidupanku atau hanya sekadar mendengar outline novel yang hendak kutulis.

”Bagaimana, apa kamu masih kuat jalan, Sayang?” Aku memandangi wajahnya yang kata orang mirip bapaknya itu.

Sepasang matanya tampak sayu dan wajahnya mulai pias. Aku memeluknya, terasa dingin sekali. Kami berada di sebuah metromini yang jalannya ngebut bukan main. Miring ke kiri miring ke kanan, penumpangnya berjubelan.

Tiba-tiba… bruuuuak, jegheeer!
“Aduuuuh!”
“Ngebut melulu sih si Abang ini!”
“Lihaat, motor yang ditrabraknya sampe mecleng begitu!”
“Turuuuun! Ayo, turuuun, buaahayaaa!”

Aku ikut loncat bersama para penumpang yang bertemperasan. Aku tidak ingat lagi dengan tas berisi bundelan naskah yang berceceran. Yang aku utamakan adalah si kecil. Meskipun perut sakit karena limpa lagi kambuh dalam beberapa hari terakhir. Aku menggendong anak sambil berlari menjauhi metromini itu.

Dari jauh aku bisa menyaksikan bagaimana metromini itu rame-rame dijungkir-balikkan, sopirnya dihajar massa. Seketika serasa tubuhku menggigil hebat.

“Mama, Etan ntah, Etan auntaaah…”
Aku memandangi si kecil dalam gendongan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya mengkerut dan… Huuuaak!

Si kecil muntah hebat. Tak ada yang tersisa lagi. Susu sebotol dan biskuit yang susah payah aku suapi ke mulutnya, dikeluarkan habis.

Kami njemprak saja di trotoar.Aku bingung, sedih dan panik sekali melihat si kecil sengsara begitu. Seorang ibu menghampiri dan ikut menenangkan si kecil. Membaluri perutnya dengan minyak kayu putih. Memberinya minuman hangat yang diminta dari warteg.

“Mama, Etan au mimi obo…” Dia menyebut dirinya Etan.

Mau minum susu sambil bobo, katanya. Aku merunduk, mencari tas dan baru menyadari botol susunya entah tercecer di mana. Persis dengan nasib bundelan naskah, tumpuan harapan kami sejak ditenteng-tenteng dari Cimahi. 

Tiba-tiba mata terasa sangat perih. Perihnya parat ke ulu hati. 
Ada sebersit tanda tanya menyeruak dalam hati. Adakah kami harus selamanya sengsara begini? Sampai kapan, Ya Allah?

***

Saat-saat inilah aku memiliki beberapa orang sahabat pena yang baik hati. Salah satu di antaranya adalah seorang wanita karier bernama Susi Joenisuprapto. Aku biasa memanggilnya Mbak Susi. 

Pertama kali menyurati aku mengaku sebagai seorang fans Pipiet Senja. Surat demi suratnya selalu hadir tiap pekan. Menyusul bingkisan demi bingkisannya, mulai dari mainan buat si kecil sampai gaun batik buat aku. Bahkan kemudian Mbak Susi hampir saban bulan mengirimi kami sejumlah uang yang dikurirkan secara kilat.

Terima kasih, Mbak Susi sayang. Budi baikmu selalu aku kenang.
Ya, Allah tetaplah Maha Pemurah. Di antara ujian-ujian-Nya senantiasa disertakan kemudahan dan hikmah.

Sementara itu aku semakin giat beraktivitas dalam kepenulisan. Macam-macam yang aku tulis dan terlahir dari tangan ini. Mulai dari artikel tentang ke-PKK-an di sekitar rumah, liputan ceremonial para nyonya pamongpraja, cerpen, novelet, novel sampai mempromosikan sejumlah restoran di kota kembang.

Aku mulai menikmati keberduaan ini dengan santai dan tawakal lilahitaala. Aku pun mulai bisa menyusut habis setiap tetes air mata yang akan menitik. Tak ingin larut dalam kegagalan perkawinan. 

Bahkan pada beberapa kesempatan, aku kerap diminta ceramah untuk para remaja dan ibu-ibu muda. Bukan hanya yang berkaitan dengan profesiku sebagai seorang penulis wanita. Lucunya, kadang dimintai nasihat tentang perkawinan yang berbahagia. Hehe, aneh kan?

Setiap usai salat subuh, aku akan mengajak si kecil jogging. Kami akan menyusuri gang demi gang sekitar Margaluyu. Kadang kami turun ke kawasan pesawahan. Bagiku ini bagai mengulang nostalgia saat-saat remaja dulu. Bedanya kali ini berdua dengan jagoan cilikku.

Suatu hari, saat si kecil berumur dua tahun setengah. Ketika kami melewati kandang kambing, memasuki kawasan pesawahan, tiba-tiba tanganku ditarik-tarik.

“Lihat kambing dulu, ayoo… lihat kambing dulu, Ma,” kata si kecil.
“Ayolah,” aku mengikuti langkahnya yang gesit.

“Yang kecil itu apanya, Ma?” tanyanya sambil menuding anak kambing.
“Hmm, itu anak kambing…”
“Yang gemuk itu apanya, Ma?”
“Yah, itu ibu kambing…”

“Satu lagi tuh yang gede apanya, Ma?”
“Nah, kalo yang itu mah bapak kambing…”
“Hmm, hmm, begitu ya…?”

Aku terheran-heran melihat kelakuannya. Sok tua, pake nepuk-nepuk dahi segala. Apa sih mau anak ini?

Tiba-tiba dia menohokku dengan satu tanya,”Kambing ada bapaknya, ya Ma?”

“Eh, iya, kan tadi sudah Mama bilang…”
“Trus, kalo Ekal mana bapaknya, Ma?” tukasnya.

Deegh!
Jantung serasa ada yang menggodam. Telak sekali!

Untuk beberapa saat aku cuma terperangah. Tiba-tiba ada yang buncah dalam dada. Terus menyeruak ke atas, ke bagian mata dan… Pedih nian!

“Ma… Mama kenapa? Kayak nangis?”

“Eeeh, gak apa-apa kok… Mungkin kelilipan nih. Eh, sudah, ya? Kita jadi ke sawah, lihat burung pipit?”

“Iya, ya, kita lihat burung pipit… Hihi, namanya kok mirip nama Mama sih? Lucu!” katanya sambil terkekeh geli.

Dia kemudian meninggalkan kandang kambing. Berlari-lari kecil mendahului ibunya seperti biasa.

Ah, mujurlah dia segera melupakan pertanyaannya!

Namun, aku tahu sejak saat itu satu tanyanya akan selalu menguntit hati. Bahkan kadang terasa sangat mendera. Lantas menyadarkan diri bahwa bagaimanapun, seorang anak tetaplah akan membutuhkan kehadiran ayahnya.

Bsrsambung


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama