Jumpa Sastrawan Sastra Reboan: Terkenang Masa Silam
Pipiet Senja
Diajak Fanny Jonathans hadir pada Ultah ke 15 komunitas Sastra Reboan.
Senang sekali rasanya jumpa kembali dengan para Sastrawan senior dan seangkatan.
Ada Bang Saut Poltak Tambunan, seniorku yang sering bantu urusan honor di majalah Kartini. Aku takkan melupakan kepeduliannya di era 78.
Jika aku muncul di kantor redaksi Kartini, dia segera menyapa dan langsung saja bilang:"Sudah aku urus honormu. Tinggal ambil saja di kasir, oke, Pipiet Senja!"
Ketika kemarin siang kulihat sosoknya muncul, aku pun masih mengenalnya. Dia sudah kuanggap sebagai abang sendiri. Saking sering membantuku urusan naskah di beberapa redaksi; Kartini, Sarinah dan Selecta Grup.
Jadi kuhampiri dia, mencolek tangannya.
"Bang Saut Poltak Tambunan, masih ingat aku gak ya?" sapaku.
Beberapa saat hanya memandangiku, detik berikutnya bertanya:"Siapa kamu?"
Oh, iya dulu penampilanku belum berhijab. Celana jins belel dengan rambut trondol. Hehe.
"Aku adikmulah Bang Saut, Pipiet Senja," sahutku.
Dia setengah berbisik, mungkin tak pernah mengira masih bisa jumpa Pipiet Senja kembali.
Maklum, di Google ada diberitakan bahwa Pipiet Senja sudah meninggal.
"Eeeeeh, kenapa makin kecil saja badan kau ini?"
"Iyalah, dan Abang makin gede saja. Awet mudalah ya, Bang!" Kalau tak salah sudah 74-an umurnya.
Kemudian kami duduk di deretan kursi paling depan bersama senior lainnya. Ada Maman S Mahayana, Kurnia Efendy, Rahmat Ali deelel.
"Pipiet, kau masih ingat di Kota. Depan kantor penerbit apalah itu namanya. Bosnya China kita panggil dia: Gun begitu...."
"Oiya, majalah punya Singapura ya? Melati apa Perkawinan, ya?"
"Majalah Melati!"
Dia tertawa, sukacita agaknya mengenang sepak terjang dan kiprah di jagat literasi masa lalu.
"Abang bantu aku menggoalkan naskah noveletku waktu itu. Aku lagi butuh duit banget buat berobat. Apa yang Abang bilang sama si Bos waktu itu, Bang?"
"Kubilang sama si Gun, harus dimuat novelet Pipiet Senja. Aku jamin pasti bagus. Kalau gak bagus, bilang aku saja!"
Honor novelet 300 ribu pada masa itu sungguh besar bagiku. Gaji bapakku perwira menengah; 60 ribuan.
Dengan uang itulah aku melanjutkan pengobatan. Sebagian disetor ke orang tua, untuk dibagikan keperluan kuliah adikku.
Sambung
Posting Komentar