Bapak, Aku Rindu



Bapak Mengajariku Disiplin Militer

Pipiet Senja 

Hari ini, jika ayahku masih hidup, tentu umurnya 93 tahun. Tepatnya, Bapak dilahirkan di Cimahi, 23 Januari 1930. Berikut kuposting kenanganku dengan ayah yang belum sempat kubahagiakan secara materi, karena saat dia masih ada, ekonomiku sungguh sangat serba kekurangan.

Bapak, rinduku selalu teredam dalam dada ini. Semoga satu hari nanti, kita akan berjumpa kembali, ya Pak. Tenanglah bersama Emak, cinta sejatimu di alam barzah.

@@@

Hubunganku dengan Bapak di masa kanak-kanak tak begitu dekat. Bapak terlalu sering meninggalkan keluarga demi panggilan tugasnya. Aku bisa mengingatnya, saat Bapak kembali dari tugasnya di Malangbong, Garut. Dia membawa jeruk garut yang disimpan dalam ransel tentaranya. Juga beberapa pohon anggrek bulan.

“Jeruknya buat anak-anak. Anggrek bulannya buat kamu, Alit,” ujarnya kepada Mak.

Bapak memang suka memanggil Mak dengan sebutan Alit. Kalau Aki dan Eni suka memanggil Mak dengan sebutan Nok Alit.

“Itu Bapak pulang. Ayo, salami Bapak,” Mak mendorong-dorong aku untuk mendekatinya.

“He, kenapa bengong saja? Lupa barangkali sama Bapak, ya?”

Aku menghampirinya dengan takut-takut. Lihatlah! Penampilannya sepulang dari hutan Malangbong itu, aduuuh… menakutkan anak-anak!

Pakaian hijau kumal, sepatu kotor. Rambut gondrong dan dagunya menyemak dengan jenggot. Macam penampilan seorang perompak, bajak laut saja!

“Jangan takut. Aku ini Bapak, ayah kandungmu, Nak,” katanya berusaha hendak menggendong.

Kontan saja aku berlari ketakutan. Menjerit-jerit dan menangis, heee-boooh!

Beberapa hari Bapak bisa berkumpul dengan keluarga. Setelah berpenampilan apik dan bersih barulah aku mau mendekatinya, malah minta digendong. Biasanya Bapak akan memangku aku di atas bahu-bahunya yang kekar.

Sepasang tangannya yang kukuh sering digunakannya untuk mengayun-ayun kami. Aku, En, Vi, dan El. Bapak menyayangi kami tanpa pilih kasih.

Sambung

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama