Hari Itu 37 Tahun Silam: Engkau Kulahirkan, Anakku


Hari Itu 37 Tahun Silam







Nukilan dari buku Bagaimana Aku Bertahan

Memasuki usia kehamilan 30 minggu.
Untuk kesekian kalinya aku diharuskan menjalani rawat inap, ditransfusi dan perawatan intensif. Sejak minggu sebelumnya suami sudah kuberi tahu tentang hal ini, dan dia menanggapinya dingin, acuh tak acuh. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya sendirian.
Dimulai mencari dananya, karena tak semuanya bisa ditanggung oleh Askes, janji dengan dokter, antri darah di PMI sampai mengupayakan mendapat tempat untuk diopname. Aku lebih banyak melakukannya seorang diri.
Begitu aku telah berhasil mendapatkan semuanya itu, tahu-tahu dia berang sekali bahkan menudingku telah berselingkuh!
“Ya Tuhan, astaghfirullah…” erangku pedih sekali.
“Tak mungkinlah kamu bisa melakukan semuanya itu sendirian, tak mungkin itu! Mengaku sajalah kamu sudah dibantu seseorang. Pasti ayah anak kamu itu, ya kan!” ceracaunya dengan mata memerah dan wajah perseginya sarat dengan aura kebencian tak teperi.
“Demi Allah demi Rasulullah, biarlah aku celaka kalau melakukan perbuatan senista itu,” pekikku tertahan
Dadaku serasa bergolak dan mendidih, perpaduan antara kemarahan terpendam dengan ketakberdayaan. Entah mana yang sanggup kuraih, dan sudut mana yang masih berkenan menerima ikhlas, dan semangat yang masih tersisa dalam dadaku.
Petang itu, aku tetap melanjutkan jadwal transfusi, meskipun dia telah berusaha keras menahanku. Bahkan mengancamku dengan mengataiku; perempuan murahan, ibu tak bermoral dan sebagainya.
“Tidak, ini demi kelanjutan hidup bayiku!” pekikku mencoba mempertahankan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
Antri beberapa jam di PMI Pusat, akhirnya kuperoleh pula lima kantong darah cuci. Menenteng kantong plastik berisi darah, perut keroncongan dengan uang pas-pasan yang tersisa di dompet, kuayun langkah menuju RSCM.
Begitu menaiki penyeberangan, seketika langkahku terhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Lama aku tertegun-tegun, sepasang mataku nanar memandangi mobil-mobil berseliweran di bawah kakiku. Tiba-tiba aku merasai seluruh perlakuan tak adil mencuat, membebat sekujur jiwa dan ragaku!
Dari suami, orang tua, saudara, teman-teman, oooh, betapa dunia serasa menjadi kejam!
“Matilah kau, matilah kau!”
“Tak patut kau hidup di dunia ini!”
“Sudah penyakitan, jelek, murahan… matilah kaaaau!”
Demikian seketika terdengar suara-suara menghakimi muncul entah dari dimensi mana. Inilah saat-saat mengerikan dalam hidupku, bahkan aku tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Apakah aku pun sudah menjadi seorang psikosomatik, seorang skizoprenia? Tiada jawaban!
“Baik, baiklah, kelihatannya aku harus menyerah,” desisku hampa dan putus asa.
Tubuhku terasa sudah ringan, bagaikan melayang-layang, tinggal menyelinap ke lubang di bawah kakiku dan… pluuuung!
Duhai… bila itu kulakukan akan usaikah semuanya?
“Tidak! Bunuh diri takkan menyelesaikan masalahmu, malah akan menambah masalah baru untuk keluargamu!”
Seketika wajah-wajah yang pernah menyayangi diriku pun berkelebatan di tampuk mataku. Wajah ibuku yang lugu hingga banyak rentenir yang memanfaatkannya, wajah bapakku yang tegas dan terkadang terkesan angkuh dengan disiplin militernya, wajah adik-adikku yang tak berdaya… kemiskinan yang masih melilit mereka!
“Kamu masih memiliki harapan, ada sepotong nyawa lain di dalam kandunganmu!”
“Bangkitlah, jangan terpancing jebakan setan dari dasar neraka!”
“Betapa tak tahu berterima kasihnya kamu kalau mengakhiri hidup… bukan hanya satu nyawamu melainkan dua, ingatlah itu!”
“Jangan pernah menjadi pembunuh… anakmu sendiri!”
Wajah bayi mungil, meskipun belum tampak rupanya, tapi sudah kudengar denyut nadinya berulang kali, kulihat perkembangan bentuknya melalui foto ultrasonografi. Dia anakku, belahan jiwaku, kepada siapa kelak aku bisa berbagi dukalara… Deegh!
“Ya Tuhan, aku akan menjadi seorang ibu! Tidak berapa lama, tinggal beberapa pekan lagi!” jeritku dalam hati.          
Seorang ibu sebaya bundaku, seketika berhenti dan menyentuh tanganku, ia menanyai keadaanku; “Neng, kurang sehat ya Neng? Pucat amat, Neng, apa yang bisa Ibu bantu?”
Ada nada cemas di sana, mengingatkan diriku bahwa masih kumiliki pula seorang ibu nun di Cimahi sana.
Tergagap aku menyahut, “Eee, iya, agak pusing… Mau ke rumah sakit, Ibu, bisa tolong aku, ya?”
Aku ingin menangis, tapi masih mampu kutahan. Hanya di dalam hati, tangisku tentu telah melaut, menyamudera, tumpah-ruah dan membasahi relung-relung kalbuku. Entah bagaimana selanjutnya, kurasa memoriku mendadak tertutup rapat di sana. Yang kutahu adalah ibu itu telah lenyap, sementara diriku telah terbaring di ruang rawat inap, dan darah mulai menetes satu demi satu melalui pergelangan tanganku, selang infus mengalirkan darah orang.
Belakangan kutahu dari para perawat, bagaimana ibu itu mengantarku ke ruang perawat sesaat mendengar ceracuanku yang sulit dipahami. Betapa mulia, tanpa pamrih membantu sesama, terima kasih Ibu, siapapun dirimu… Engkau wakil emakku, malaikat penyelamatku!
Petang beranjak malam, baru satu kantong darah yang memasuki tubuhku saat sosok tinggi besar itu muncul, pulang kuliah tak menemukanku di rumah. Dengan dalih bahwa aku telah meninggalkan rumah tanpa izinnya, dia merasa berhak untuk memarahi, memaki-maki dan berakhir dengan diharuskannya sumpah setia dengan saksi Al Quran!
“Nah, sejak sekarang ke mana pun kamu pergi harus atas izinku!” dengusnya seraya meninggalkanku sendirian.
Saat itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai saatnya melahirkan. Aku merasa telah kehilangan segala kepercayaan diriku, takut suatu saat kembali menyerah dan melakukan perbuatan nista; mengakhiri hidupku. Hanya karena tak tahan lagi dengan segala caci-maki, kemarahan dan kebenciannya yang harus kutanggung.
Beberapa jam sebelum melahirkan, kembali peristiwa sumpah setia itu harus kulakoni. Tengah malam, ketika aku mulai merasai keanehan dalam perutku, dia mendatangiku khusus untuk melakukan ritual yang seakan telah menjadi lagu wajib pernikahan kami itu.
“Ini atas nama anak kamu dalam perut itu!” nadanya penuh ancaman. “Bersumpahlah       pula demi dia! Kalau kamu melakukan sumpah palsu, dipastikan kamu dan anak kamu itu takkan selamat dunia akhirat. Bahkan kamu pun pasti takkan bisa melahirkan dengan selamat!”
Kucermati isi ancaman sumpahnya kali ini. Benar saja, dia menuliskan dengan jelas karena memakai spidol; jika aku bersalah niscaya dosanya akan ditanggung oleh diriku dan anakku. Yap, demikianlah istilahnya; anakmu bukan anak kita apalagi anakku!
Kalau ada yang memperhatikan perilaku kami berdua, niscaya akan terheran-heran. Bayangkan saja, tangannya meletakkan kitab suci di atas kepalaku, sementara aku membacakan poin-poin yang telah ditulisinya di atas karton. Air mataku mulai mengering, kupikir, tiada setetes pun air bening yang menitik, membasahi pipi-pipiku malam itu.
“Aku pergi dulu, tak ada yang bisa kulakukan di sini,” ujarnya seraya membawa kembali karton berisikan sumpah mati, sumpah pocong, sebab kepalaku dibebat mukena dan dia menyebutnya demikian.
Aku ingin memintanya tidak pergi, agar mendampingiku karena mulai kurasai pertanda akan melahirkan. Perut mengembung, tak bisa buang air besar, dan sesekali keluar cairan bening dari rahimku.
Namun, tidak, kupikir tak mungkin menahan dirinya berlama-lama lagi di sampingku. Selain sikap dingin, ketakpedulian, dan terutama pancaran kebencian di matanya yang menakutkan itu, sesungguhnya jujur saja; aku mulai merasa nyaman apabila kami berjauhan.
Pukul dua dinihari, aku bangkit dari ranjang dan mendirikan sholat lail. Beberapa saat lamanya kubiarkan seluruh diriku lebur di dalam doa panjang dan zikir tanpa henti. Saat inilah aku menangis berkepanjangan, lama sekali, semuanya kuadukan kepada Sang Khalik. Begitu nikmat kurasai pengaduanku dinihari itu, dalam keyakinan bahwa semua pengaduanku akan sampai ke kuping-Nya. Semua doa yang kuminta akan dimakbulkan-Nya.
“Ya Tuhan, kuserahkan segalanya ke tangan-Mu… Berilah yang terbaik bagi kami, ya Tuhanku yang Maha Menggenggam,” bisikku berulang kali, mengakhiri doa sekali itu.
Usai berkeluh-kesah, curah hati kepada Sang Khalik, aku turun dari ranjang. Entah mengapa, aku merasa tergerak untuk berjalan-jalan dari satu koridor ke koridor lainnya di rumah sakit itu.
Sepotong dinihari yang hening dengan langit bening, sama sekali tiada mendung apalagi kabut. Kuhirup hawa segar kawasan RSCM, kuhirup sepenuhnya agar merasuki dada, jiwa, melindap di sendi-sendi tulangku… Fheeeww!
Tahu-tahu aku sudah berjalan jauh, entah di mana… Ops, kulihat ada tulisan; Ruang Jenazah!
Seketika bau busuk bangkai (manusia) menyergap hidungku. Bergegas kubalikkan langkahku, kakiku nyaris tersandung.
“Ibu kenapa di sini… mau ke mana?” seorang perawat perempuan menyapaku.
“Eeeh, iya nih… nyasar… Ruang rawat inap di mana ya?” balik aku bertanya, linglung.
“IRNA B apa IRNA A?”
“Itu dia… IRNA B lantai enam!”
“Mari kuantar,” ajaknya dengan ramah.
“Eee, gak usah, sudah tahu kok, biar sendirian saja. Terima kasih, terima kasih,” kataku cepat-cepat berlalu, meninggalkannya terbengong.
Diantar.. aarrgghh… yang bener aja!
Bisa-bisa gempar nanti, disangka pasien mau minggat.
Aku kembali ke ruangan perawatanku, sekali ini dadaku sungguh dipenuhi dengan zikrullah, tak henti-hentinya, takkan pernah berhenti, takkan pernah!
Hingga akhir hayatku tiba, hingga ajal menjemput, dengusku.
Pukul enam pagi, ketika dokter dinas malam melakukan pemeriksaan, kontraksi pertama kualami dengan keterkejutan luar biasa.
“Dokter, maaf nih, aku merasa sebentar lagi akan melahirkan,” keluhku sambil menahan rasa sakit, kontraksi perdana bagi calon ibu mana pun, niscaya mengagetkan.
Dokter jaga itu segera melakukan pemeriksaan dalam, kemudian memerintahkan perawat untuk membawaku ke ruang persalinan IRNA A. Sepanjang jalan di atas ranjang itu, kutenangkan diriku semampuku.
“Jangan pernah menyerah, ya Nak, jangan pernah!” pekikku berulang kali sambil mengelus permukaan perutku. “Inilah saatnya kita sama berjibaku, sepakat?”
Mendadak aku teringat akan segala pengorbanan yang pernah dilakukan ibuku untuk diriku. Kubayangkan bagaimana deritanya saat melahirkanku.
“Ya, demikianlah pasti rasanya, sakitnya,” desisku.
Air mataku pun mulai terbit dan berlinangan, bukan karena kesakitan. Lebih disebabkan perasaan bersalah atas segala kesulitan yang kutimbulkan, dan itu harus ditanggung oleh ibuku tercinta.
Sekejap kemudian aku merasa sungguh bisa menikmatinya dan mulai kumaknai keindahan, keberkahan untuk menjadi seorang ibu. Ya, bahkan sebelum peristiwa persalinan itupun, aku telah menikmati anugerah-Nya… Tuhan, terima kasih!
Aku merunduk memandangi kaki-kaki yang membengkak. Kenanganku seketika berbalik kembali ke pekan-pekan sebelumnya. Aku diberi tahu dokter bahwa posisi bayi masih melintang. Sejak mengetahui itu aku segera mempergiat shalat malam dan senam hamil. Menurut Bu Bidan, berlama-lama sujud bisa membalikkan posisi bayi ke posisi normal. Sebulan sudah berlangsung, tetapi posisi bayi masih melintang juga. Mungkin itulah yang membuat limpaku sakit. Karena setiap kali bayinya menendang …. Masya Allah, sakitnya luar biasa!
Sering aku hanya bisa mencucurkan air mata. Menjeritkan asma-Nya, memohon kekuatan dari Sang Pencipta agar diberi kekuatan dan keajaiban demi mempertahankan bayiku.
“Oh, belahan hati belahan jiwa Mama. Marilah kita kerja sama, Anakku,” demikian selalu kupompakan semangat berjuang untuk bayi dalam kandunganku. Aku merasa yakin, dia bisa mendengarku!
Untuk beberapa saat lamanya aku mengajak anakku bercakap-cakap, meskipun dia masih dalam kandungan. Macam-macam yang aku omongkan. Mulai dari membacakan kalimatullah dan tilawah ayat-ayat suci Al-Quran. Kemudian cerita pengalaman  sehari-hari, harapan dan impianku terhadapnya. Mendongenginya, membacakan cerpen atau sinopsis novel yang hendak aku garap. Hingga menanyakan keadaannya di dalam sana.
“Apa kamu harus desak-desakan dengan limpa Mama, ya Nak?”    
“Tolong, Nak …. Jangan tendang sana-sini!”
“Hei, hei! Itu limpa Mama lho, Nak, bukan bola ….”
“Adududuh, nakalnya kamu …. Mau jadi apa sih, kalo gede nanti?”
Untuk mengalihkan rasa sakit, biasanya aku juga akan mengenang kembali saat-saat di-USG. Saat mendengar denyut jantungnya yang pertama kali.  Deg, deg, deg, deeeg… Subhanallah, terdengar indah nian!
“Mana suaminya? Sudah ditandatangani belum formulir persetujuan operasinya?” Dokter Bambang membuyarkan petualangan anganku.
Aku mengulurkan formulir yang dimaksud dokter.
“Ya, sudah ini cukup,” katanya sesaat memperhatikan tanda tangan suamiku.
“Kalau boleh, aku mau menunggu kedatangan orangtua dari Bandung. Jadi, kalaupun mau dioperasi mohon ditunda sampai mereka datang,” pintaku.
Dokter Bambang tidak keberatan. Maka, selama penantian itu aku tetap dirawat gabung. Ternyata orangtuaku baru bisa datang setelah dua minggu kemudian. Anehnya, aku masih dinyatakan bisa bertahan. Caesarnya pun ditunda lagi.
Alasan Mak dan Bapak macam-macam, tetapi aku bisa merasakan keengganan di mata keduanya.
“Enggan kalau ke rumahmu itu. Apalagi sekarang ada mertua perempuanmu yang jelas-jelas tak pernah menyukai kami,” kilah Mak suatu kali saat kudesak. Dalam situasi serba menekan dan menyakitkan itulah aku mempertahankan bayi kami.
Tekanan dari pihak keluarga, kejaran deadline tulisan, dan keuangan yang morat-marit ….
Kalau tidak sering bertahajud, bersabar, dan bertawakal, serta berserah diri kepada-Nya, ampuuun!
Niscaya siapa pun akan ambruk saat itu juga.
Alhamdulillah, aku diberi hidayah agar senantiasa dekat kepada-Nya. Merengkuh kemurahan-Nya dan menggapai ke- Maha Kasihan Ilahi.
“Kita akan caesar minggu depan saja, ya Bu?” kata dokter Bambang setelah selama tiga minggu aku diopname.
“Posisi bayinya sudah berubah ke posisi normal. Sementara ibu juga nggak terlalu merasa kesakitan lagi sekarang,” ujar dokter spesialis kandungan, dokter Laila.
“Beruntung jantung dan paru-paru Ibu tidak mengalami gangguan. Biasanya kami menemukan gangguan jantung untuk kasus seperti Ibu ini,” jelas dokter Kristianto.
Alhamdulillah, aku pun kembali bersujud syukur. Untuk semenatra aku merasa tenang. Menyusuri koridor-koridor rumah sakit setelah shalat subuh, menghirup udara pertamanan di sekitar RSCM.
Pembangunan sedang dilaksanakan besar-besaran di sini. Kobong-kobong tempat tinggal sementara para kuli, pagar-pagar seng yang tinggi-tinggi, dan bakul nasi yang dirubung-rubung para buruh bangunan. Itulah pemandangan yang setiap hari aku lewati.
Terkadang aku berpikir, “Buruh-buruh bangunan yang berdatangan dari pesisir utara itu kebanyakan masih belasan tahun. Seharusnya mereka masih sekoalh di SMP atau SMU. Tetapi tuntutan hidup menerbangkan cita-cita mereka ke tempat ini…”
“Ah, bukankah mereka masih beruntung? Memiliki kebugaran fisik dan kesehatan sempurna?” gumamku pula.
Aku bisa gila kalau tidak mencurahkan gejolak rasa, gelombang nalar yang berseliweran di kalbu dan otak ini. Tetapi, dokter sudah memutuskan dengan tegas tak ada lagi mesin tik. Apalagi minggat-minggat dan mengejar-ngejar honorarium. Jadi, aku mengisi buku harian berlembar-lembar tiap harinya. Sebelumnya, jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan sejumlah naskah yang telah dikirimkan ke pelbagai media.
Sudah saatnya panen raya nih, pikirku.
“Biar Mak saja yang menagih honorariumnya kepada mereka,” usul Bapak suatu kali ketika mampir membesukku.
Terkadang suami mau juga melakukannya. Tetapi, dia sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Jadi, akhirnya aku terpaksa membebani Mak dengan pekerjaan ini. Kondisi Mak sedang prima. Dengan senang hati Mak melaksanakan tugasnya.
“Itung-itung jadi manager pemasaran, ya?” katanya sambil tertawa.
Kegemarannya jalan-jalan agaknya terlampiaskan. Sejak saat itu, Mak menjadi wakilku untuk mengejar-ngejar, eeh, menagih honorarium ke redaksi-redaksi yang memuat karyaku.
Saat itulah aku mengenal istilah menodong dan mengijon di dunia kepenulisan. Menodong redaksi, artinya meminta honorariumnya dahulu sebelum naskahnya diterbitkan. Sedangkan mengijon naskah adalah menjanjikan akan menyerahkan naskah dengan tempo tertentu, tetapi honorariumnya diminta lebih dahulu. Itu dua hal yang berbeda. Apa pun itu, tetap saja tujuannya sama, UUD; Ujung-Ujungnya Duit!
Untuk beberapa waktu lamanya Mak menjadi tukang tagih Pipiet Senja. Mungkin karena Mak sangat lugu, memiliki wajah memelas, dan mata lembut sayu. Biasanya segala urusan menjadi lebih gampang. Mak acapkali berhasil menagih honorariumku yang sudah berbulan-bulan sulit diminta.
“Mak sampai menunggu berjam-jam di kantor Anu…”
“Waaah,  untung saja Mbak Susi ada. Jadi ditalangin dulu nih sama Mbak Susi dari koceknya pribadi…”
“Ini dikasih bonus dari Mbak Anu. Katanya buat bingkisan anakmu yang bakal lahir nanti …”
Keberhasilan Mak ditanggapi lain oleh pihak ketiga. Suamiku dikompori, digerecokin. Ujung-ujungnya Mak tersinggung. Minta berhenti jadi debt-colector sulungnya ini. Mak ngambek, pulang ke Cimahi.
Ya Tuhaaaan…. Rasa sakit luar biasa menghajar perutku.
“Aduuuh… Ya Allah, aku tak tahan lagiiii!” seruku, meninggalkan seluruh lautan khayal yang pernah kuarungi.
“Ini kontraksi namanya, Bu. Kenapa baru bilang sekarang? Kan ibu direncanakan untuk dicaesar, bla, bla…”
Aku sudah tak mendengar lagi apa saja yang dikatakannya. Kesibukan segera terjadi di ruangan itu. Infus segera dipasang, selang oksigen pun tersambung ke lubang hidungku. Asmaku dikhawatirkan kambuh mendadak.
Tak berapa lama para perawat dan dokter Bambang membawaku menuju ruang persalinan. Sepanjang perjalanan yang menggunakan lift itu, otakku masih bekerja normal. Aku sempat teringat film seri Dokter Kildare. Sekarang aku mengalaminya sendiri, pikirku. Bukan dalam film dan bukan dalam cerita novel, seperti yang sering aku reka-reka selama ini. Tetapi ini kehidupan dan kenyataan!
“Mana keluarganya?”
“Tidak ada, dok… Pasien sudah lama diopname di IRNA B.”
          “Dengan apa?”
          “Kehamilan pertama, talasemia, spenomegali, asma bronchiale...”
          “Busyet! Sampai seabregan begitu …?”
          “Siapa yang menanganinya?”
          “Dokter Bambang … nah, itu dia!”
          “Ya, ini pasienku … teruskan saja bawa ke kamar satu!”
          Di kamar satu mereka segera memeriksaku. Sudah ada pembukaan. Masih lama. Siapkan darah untuk transfusi!
          “Tapi nggak ada keluarganya nih, Dok?”
          “Ya, usahaka sama kamu dooong …”
          Ketika kontraksinya tak muncul kembali, untuk beberapa saat aku ditinggal sendirian. Ruangan itu memanjang, dibatasi dengan gorden warna hujau daun.
Tiba-tiba hatiku digerayangi rasa takut. Ugh! Bagaimana saat ini kalau Malaikat Maut datang menjemput? Kasihan sekali si Ucok kalau ibunya pergi duluan, ya? Siapa yang bakal mengurusnya? Menyusuinya nanti? Menggendongnya? Membimbingnya saat dia pertama kali bisa melangkah?
          Ya Allah, tolong jangan jemput aku sekarang, jeritku membatin.
          “Astaghfirullahal adziiim…”
        Cepat-cepat aku mengenyahkan pikiran macam-macam dan rasa takut yang kian menyergap itu. Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang papa ini berlindung. Begitu banyak kelalaian dan dosa yang pernah hamba perbuat. Tetapi, begitu banyak nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada hamba. Ya Allah berilah kesempatan kepada hamba untuk menjadi seorang ibu.
Laailahaila anta subhanaka inni quntumminaldzolimin.
          Air mata bercucuran membasahi pipi. Saat kontraksi kembali, aku teringat lagi Mak tercinta. Oh, beginilah agaknya dahulu Mak saat hendak melahirkan aku. Mak, ampuni dan maafkan segala dosa anakmu ini!
          Lagi-lagi kontraksi. Sepuluh menit sekali, lima menit sekali, tiga menit ….
          “Sekarang saatnya!”
          Para dokter telah merubungiku.
          “Pecahkan saja ketubannya!”
       Inilah jihad seorang ibu. Seluruh semangat juang, energi, pikiran, dan perasaan disatukan sebuah kelahiran. Ketika rasa sakit tak teperi semakin menyergap, mengoyak-ngoyak sekujur tubuh…
Allahu Akbar, Allahu Akbar, pekikku membatin.
Aku sudah pasrah lilahita’ala.
          Ya Allah, Ya Allah!
          Sekonyong-konyong ruangan menjadi hening sesaat. Hingga kemudian… blaaar!
Petir seakan menyambar dan menyeruak di atas kepalaku.
          “Owaaa…. Owaaaa!”
Suara tangis bayi memekakkan telinga memecah keheningan.
          “Bayi laki-laki. Catat waktunya, Suster!”
          “Baik, pukul delapan empat lima, hari Selasa 17 November 1981, dokter!”
          “Lihat nih, Bu, anaknya laki-laki!”
Dokter Laila memperlihatkan makhluk kecil yang telah bersemayam selama 34 minggu itu ke dekat wajahku.
          Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.
Aku masih sempat melihat seraut wajah mungil dan sebuah tanda hitam di pelipis kirinya. Namun, sesaat kemudian aku tak sadarkan diri . Tatkala aku kembali siuman, ada rombongan dokter sedang ronda. Ada Prof. Iskandar Wassid, dokter Laila, dokter Bambang beserta dokter kardiologi dan perinatologi. Mereka menyatakan ikut berbahagia. Konon, aku adalah pasien pertama talasemia yang bisa melahirkan secara normal dan memiliki bayi yang sehat, saat itu.
          Kami sudah menyiapkan sebuah nama sejak tahu yang bakal lahir adalah bayi laki-laki. Muhammad Karibun Haekal Siregar, itulah namanya. Selama mengandungnya aku sedang gandrung kisah Nabi Muhammad Saw, ditulis oleh pengarang Mesir bernama Muhammad Haekal.
          Tak dapat aku lukiskan bagaimana bangga dan bahagianya hati ini. Tiada henti-hentinya aku mengucap rasa syukur kepada Ilahi Rabbi.
          Mak adalah orang pertama yang datang menjenguk dan mengazankan putraku. Perasaan seorang ibu tak bisa dipungkiri. Subuh itu Mak berangkat dari Cimahi, langsung menuju rumah sakit. Saat diberi  tahu bahwa aku sudah melahirkan bayi laki-laki, Mak mengaku hampir tak mempercayainya.
          “Deueu… Teteh! Kepingin Mak kasih tahu semua orang waktu menuju ke sini itu. Mak sudah punya cucu laki-laki, dan kali ini dari kamu,” celoteh Mak dengan wajah sumringah.
          Mak  jugalah yang kemudian direpotkan untuk mengurus surat-surat kepindahanku dari ruang persalinan ke ruang Irna A. Kalau tak ada Mak, tak bisa dibayangkan entah bagaimana jadinya aku. Mungkin dibiarkan kedinginan dan menggigil di gang. Tanpa makanan dan selimut yang layak, tak ubahnya seorang gembel tanpa keluarga, tanpa sanak saudara…
          Alasannya, terlalu banyak pasien yang akan melahirkan. Jadi pasien yang sudah selamat melahirkan segera dikeluarkan dari ruangan. Dibiarkan menunggu keluarganya untuk mencarikan kamar rawat.
Ah, Mak, selalu hadir saat anak-anakmu membutuhkan!
Ayah bayiku, lelaki Batak itu baru muncul setelah larut malam. Alasannya, banyak pekerjaan dan sibuk mengurus orangtua di rumah. Saat inilah satu kesadaran utuh muncul, kesadaran tentang posisiku. Baginya, aku mungkin hanya nomer kesekian.
Bapaknya menambahkan nama ayahnya dan marga di antara nama itu. Maka jadilah; Muhammad Karibun Haekal Siregar, sebuah nama yang akan mewarnai setiap doaku di kemudian hari. Sebagaimana nama adiknya dan nama kedua orang tuaku di sepanjang doa-doaku, sepanjang hayat masih dikandung badan.









1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama