Doa Mama: Jangan Pernah Berubah, Anakku!





Sabtu, 10 Pebruari 1990
Petang itu, aku sudah seminggu berada di ruang isolasi karena asmaku kambuh. Banyak anggota keluarga besarku, dari pihak ayahku datang membesuk.
Sesungguhnya hanya melihat dari balik kaca pembatas, pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke ruangan kami.

Kurasa di ruangan itu dirikulah satu-satunya pasien yang jarang dibesuk. Tiap jam besuk aku lebih banyak hanya sendirian, kulewatkan untuk membaca atau mencatat di buku harian.
Sejak ibu dan ayahku memutuskan menemani Haekal, bantu-bantu sang menantu yang sedang membangun rumah, ibu mertuaku tinggal di rumah ipar. Selalu terjadi pertengkaran dan keributan apabila semuanya menyatu di rumah.

Kurasa dengan keberadaan orang tuaku, rumah menjadi rapi dan terutama ada yang menyediakan makanan.
Suami semakin sibuk dengan urusannya, mengajar dan melanjutkan pembangunan rumah. Dia hampir tak punya waktu untuk membesukku. Jadi biasanya ibukulah yang mondar-mandir mengurus keperluanku di rumah sakit.

“Semoga cepat melahirkan, ya,” kata istri Mang Ipin, adik bungsu ayahku, yang datang bersama pamanku dan seorang adiknya. Dia membawakanku oleh-oleh lusinan bolu kukus buatannya sendiri.
“Terima kasih, Tante,” ujarku terharu, usianya sebaya denganku tapi dia belum dikaruniai keturunan, walaupun sebelas tahun sudah pernikahan mereka.

Semuanya mendoakanku sebelum pulang. Demikian pula ayahku, diulurkannya tangannya melalui celah jendela, kemudian ditempelkannya di perutku.
Dia merapalkan doanya dan meniupkan semangatnya melalui jari-jemari, serasa meresap ke dalam kandunganku.

Minggu ke 35, menurut perkiraan dokter empat pekan lagi. Namun, begitu aku kembali ke ranjang firasat itu telah mendering… Bintangku sebentar lagi akan muncul!

Ada flek-flek dan sedikit bercak darah menyertai buangan air di kloset. Kuambil air wudhu dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Aku disiapkan untuk caesar, mengingat limpa bengkak, asma dan jantungku yang tidak aman. Tapi aku kembali ke tempat tidur dengan tenang tanpa melapor ke dokter jaga.
Logika awamku, jika dulu pun aku bisa melaluinya tanpa caesar, mengapa kini tidak?

Setengah jam, satu jam berlalu; dan kontraksi awal terjadi!
“Sejak kapan, kenapa baru ngasih tahu sekarang, Bu?” sesal koas Mita terkejut saat kuberi tahu kemungkinan diriku akan melahirkan malam ini.
“Ini harus dilaporkan ke dokter Laila…”
“Dokter Laila lagi seminar di Makassar,” entah siapa yang menyahut.
“Ini pasiennya…”
“Ya, sudahlah… kan ada dokter Mita…”
“Pssst, serius dong!”

Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung dari kejauhan: “Malam minggu kelabu, bintang-bintang pun sendu…”
Tapi bintangku harus tersenyum, bantahku dalam hati. Sementara para koas mulai sibuk memasang peralatan medis ke tubuhku.

Sehingga dalam sekejap saja sekujur tubuhku sudah dikerubuti berbagai peralatan ajaib itu; infus dua macam yang putih dan kuning, selang oksigen di hidung, dan entah apalagi di perut dan dadaku.
Kulirik jam dinding di tembok yang setentangan dengan tempat tidurku.

Pukul tujuh, kontraksi awal disusul kontraksi demi kontraksi berikutnya, kadang berlangsung serasa lama, adakalanya hanya sebentar, tetapi semuanya memang menguras enerji.
Kupejamkan mata, semuanya telah kupasrahkan… La haola wala quwwatta…
“Baguuus… sedikit lagi, Bu, sedikit lagiii!”
“Sudah kelihatan kepalanya… ayoooo!”
“Aduuuh, kenapa meremas tangankuuu!”
“Maaf… hhh, hhh… Allahu Akbaaar!”
Woaaa… Alhamdulillah…
“Anak perempuan, Bu…”

Kubuka mata, mencari-cari sosok mungil yang kudamba. Dia melintasi kepalaku dengan cepat, digendong seorang bidan yang segera melarikannya ke ruangan rehabilitasi bayi pasca-lahir.
Beberapa jenak kubiarkan mereka mengurusiku, menjahit rahimku yang robek entah berapa belas jahitan.

Kuhirup aura kelahiran bintangku dalam hening yang mendenging di kuping-kupingku. Pandanganku buram, meredup, mengelam. Kurasa aku setengah pingsan, entahlah!
“Mintakan air teh manis panas sama keluarganya di luar sana!”

Aku menanti, menanti dan terus menanti semuanya menjadi normal kembali. Seorang koas menyodorkan air teh manis panas dalam plastik. Agaknya ibuku dan ayahku yang setia menanti, berlarian menuruni tangga, dan mencari pedagang minuman panas.

Air mataku bersimbah deras mengenang kasih sayang mereka. Kunikmati air teh manis dari Emak dan Bapak itu sebagai anugerah Ilahi yang tak teperi setelah melahirkan seorang bayi perempuan.

Terima kasih, Bapak, terima kasih, Emak, semoga Allah Swt memberkahi kalian senantiasa, selamat di dunia dan akhirat, doaku mengawang langit malam biru bening. Tiada warna kelabu, tiada rona sendu, dan waktu berlalu sebagaimana galibnya malam panjang.

Beberapa koas kemudian mengerumuniku, melakukan interviu seputar penyakit bawaan yang kusandang. Mereka sedang melakukan pemeriksaan ketat terhadap bayiku. Meskipun aku merengek ingin segera mendekapnya, menyusuinya dan memandangi wajahnya sepuasnya.

Aku harus menanti dan bersabar lagi agaknya.
“Ini anaknya, Bu, silakan, sudah boleh disusui,” dokter Mita sendiri akhirnya yang menyodorkan bayiku, tepat tengah malam.
“Alhamdulillah, terima kasih, dokter sayang,” ucapku gemetar menahan perasaan yang mengharu-biru.

Kuraih sosok merah dalam balutan kain hijau itu dengan dada dibalun buncahan rindu dan damba. Lama sekali kupandangi wajahnya, begitu mungil, begitu merah. Aduhai!
“Hidungmu kelewat mungil, ya Nak,” bisikku sambil menciumi ubun-ubunnya, kutiupkan asma Allah untuk pertama kalinya ke kupingnya.

Aroma harum kencur meruap dari rambutnya yang hitam lebat, bahkan di pipi-pipinya tampak rambut-rambut halus. Mungkin karena selama kehamilannya aku sangat menyukai minum air kelapa hijau.
“Kakeknya sudah mengazankannya tadi,” berkata dokter Mita.
Aku tercenung.

Dulu, Haekal diazankan oleh Ompung, kakek dari pihak suami. Kedua buah hati, sepasang bintangku mengalami nasib serupa.
Tidak diazankan oleh ayahnya. Tak mengapa, selamat datang bintangku.
Doa dan pengharapanku akan selalu menyertai setiap detak napasmu, setiap jejak yang engkau langkahkan; semangat!

Bayi perempuan inilah yang kini menjadi sosok tangguh, paling bisa kuandalkan jika diriku berada dalam kondisi krisis di UGD. Kini ia telah memiliki seorang putri, 2 tahun 9 bulan, single parent, alumni fakultas hukum Universitas Indonesia, sedang berjuang mengelola Pipiet Senja Publishing House dan menulis buku anak-anak dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia.

Dia kuberi nama: Azimattinur Siregar. Ayahnya menambahkan nama kakek, uwak, dan marganya, maka menjadi; Azimattinur Karibun Nuraini Siregar.


1 Komentar

  1. Kasihan sekali, Teh Pipiet, kedua putra - putrinya bercerai dalam waktu yang hampir bersamaan. Sayang sekali, pengalaman berumah tangga orang tua yang kurang sukses tidak dijadikan pembelajaran.. oleh kedua - duanya!

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama