Bintang Pun Tersenyum



Istiqomahlah Senantiasa, Anakku


Anno, Pebruari 1990
Betapa bahagia hatiku ketika di-USG, dokter memberi tahu bahwa janinku adalah bayi perempuan. Bagaikan anak TK yang dapat selusin balon indah, aku berkeliling menyalami ibu-ibu di ruang tunggu klinik kandungan siang yang terik itu.

“Kata dokter barusan, yah, ibu-ibu… Bayiku ini perempuan, aduuuh, meuni seneeeeng sayah teh, seneeeeng,” demikian ceracauanku, niscaya membuat ibu-ibu hamil itu bete, bisa jadi mereka menyebutku; norak banget sih!

Aku tak menghiraukan wajah-wajah yang menatapku dengan sorot mata aneh. Sejak saat itu aku sungguh menjaga kondisi badanku agar selalu fit. Takaran darahku harus di atas 10 % gram. Maka, tiap pekan aku dengan senang hati menjalani kewajiban ditransfusi.

Ya, saat ini aku telah berdamai dengan penyakit abadiku. Mau bagaimana lagi? Toh meskipun berontak, selalu menangis, meratap dan mendaulat-Nya, tetap saja aku punya bakat kelainan darah, seperti drakula.
Yo wis, mendingan berdamai dan bertahan sajalah!

“Sekarang Ekal boleh dong dipanggil Abang, ya Ma?” sambut putraku, ketika aku pulang sore hari.
“Iya Nak, eh, Abang… Mau Abang Jampang apa Abang Becak nih?” candaku sambil mengusap keringatnya yang berleleran di dahinya.

Pulang sekolah ia selalu berjalan kaki, karena uang sakunya suka ditabung untuk beli buku di akhir pekan. Saat itu ia sudah suka mengisi buku hariannya. Belum lama tulisannya dimuat di majalah Bobo, kalau tak salah rubrik Taman Kecil.

“Iiih… Abang, ya Abang aja!” dia merengut, tapi sebentar kemudian tertawa riang saat kusodori oleh-oleh bakeri kesukaannya.

Tiba-tiba ibu mertua muncul dari kamarnya. Sebelumnya, pertama-tama yang kulakukan begitu masuk rumah, segera menyediakan penganan bawaanku di atas meja ruang tamu, tempatnya suka berkeluh-kesah, atau mengajak tetangga untuk ngerumpi-ria. Intinya sih, membicarakan menantu perempuannya ini yang sering dikata-katainya; “Orang Sunda itu… sundaaal!” Entah paham atau tidak dia dengan istilah sundal itu.

Dia langsung melontarkan protesnya, merepet tak tahan, seperti biasanya. Sehingga kupingku sudah kebal, hatiku pun kebas dibuatnya.
“Bah! Baru pulang kau, Pipiet? Kelaparan aku ini, tak ada makanan di meja itu, baaah! Macam mana kau ini mau mengurus aku yang sudah tua-tua ini? Apa kau tak senang aku tinggal di sini? Kalau tak senang bilang sajalah itu… Orang Sunda itu memang suka munafik, ya!”

“Ompung tuh suka gitu, ya,” Haekal bergumam. “Makanan yang Mama masak tadi pagi dihabisin sendiri… Ekal gak kebagian apa-apa, eee… masih bilang kelaperan lagi… Pake bawa-bawa orang Sunda segala…”
“Pssst… diamlah, Nak.”

Aku mengingatkan anak yang sudah kebal juga mendapat perlakuan kasar, baik dari ompungnya maupun ayah kandungnya.
“Bicara apa kau?” sergah ompungnya dalam nada meninggi, sepasang matanya melotot. Haekal tampak mengkeret dan bergeser ke belakangku.

Sosoknya yang tinggi di atas rata-rata perempuan tua Indonesia, tampak menjulang di hadapan kami berdua. Acapkali otakku buntu, tak habis mengerti, mengapa perempuan tua ini sangat membenciku dan anakku? Baiklah, kalau dia membenciku, karena bukan menantu pilihannya. Tapi terhadap anakku, bukankah Haekal cucunya, darah dagingnya juga?
"Gak apa-apa, Bou7, sebentar ya… Saya akan masak lagi buat Bou,” buru-buru kugaet tangan anakku, agar mengikutiku ke dapur.

“Bah! Kalian itu, ibu dan anak memang tak suka aku tinggal di sini, ya? Biar nanti kubilang sama anakku!” cerocosnya dalam nada yang sarat iri-dengki dan intrik… Hiiih, persis di sinetron-sinetron sekarang!

Benar saja, dia memang mengadu dan tentu dibumbui dengan laporan macam-macam, sehingga berbentuk; sebuah testimoni tentang menantu yang selalu berbuat keji, menganiaya ibu mertuanya…. Halaah!

“Kau ini kan seorang ibu, mana pantas berbuat begitu kepada ibuku yang sudah lansia, dan sakit-sakitan,” gugat suami tak tertahankan lagi meletupkan penyesalan dan kekesalan hatinya. “Sekarang kau bisa bertingkah dan menyakiti orang tuaku yang sudah tua itu. Apa kau tak takut kelak diperlakukan begitu oleh anak-anak atau menantu kau?”

Aku tak bisa membela diri, tak pernah bisa. Bahkan ketika suami memutuskan untuk pisah kamar, aku hanya bisa pasrah.

Saat itu aku sedang ghirah-ghirahnya belajar mengaji kepada Ustazah Saanah dan guru kami berdua, Kyai Harun. Aku telah memutuskan untuk berbusana muslimah dan berjilbab apik. Aku berusaha untuk larut dan teguh lagi bermunajat. Sering kulakukan semacam berdialog dengan Sang Pencipta, memohon kemudahan dan Kemahakasihan-Nya dalam melakoni hari-hari.

Jika aku ke rumah sakit selalu timbul keributan, terutama protes dan tumpahan kemarahan ibu mertua. Semuanya akan berujung dan dieksekusi mutlak di tangan suami. Aku tak ingin melukiskan bagaimana warna muram, nuansa kekerasan dalam rumah tanggaku saat itu. Biarlah semua yang melukai itu kusimpan rapat di memori otakku sendiri.

Dalam situasi demikianlah, aku berjuang keras demi kelangsungan hidup janin dalam kandunganku. Aku lebih sering pergi seorang diri ke RSCM. Adakalanya Haekal memaksa ingin mengawalku, meskipun untuk itu harus bolos sekolah. Dan berujung dipukuli ayahnya jika dia mengetahuinya.

Memasuki pekan ke-28 saat dokter menyatakan jantungku bermasalah, membengkak, asma bronchiale plus penyakit abadiku tentunya. Mau tak mau aku harus patuh untuk dirawat.
“Mohon diizinkan pulang dulu, dokter,” pintaku. “Orang rumah gak ada yang tahu… Hari ini kan niatnya juga hanya berobat rutin.”

“Tidak bisa, Bu, kami tak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa. Tenang saja, nanti kita suruh orang untuk mengabari keluarga Ibu,” tegas dokter Andri, sungguh tak bisa diganggu gugat lagi.

Dengan berat hati kupasrahkan juga nasibku, terutama demi bayi dalam kandunganku, ke tangan tim gabungan yang selama itu merawatku. Sejak diantar oleh petugas ke ruang perawatan, IRNA B di lantai enam, perasaan sedih karena seorang diri itu, segera kutepiskan jauh-jauh; jaaauuuh!

Aku tidak pernah seorang diri, bisikku melabuh senyap dalam hati dengan semangat optimisme dan kemurahan Sang Pengasih. Ya, tentu saja ada Dia Sang Penggenggam yang menemani senantiasa, senantiasa…

“Saya sudah menyampaikan pesan Ibu,” lapor petugas rumah sakit yang diminta bantuan untuk mengabari suami, keesokan paginya.
“Ya… bagaimana?” aku menatapnya heran.

Kalau sudah diberi tahu, mengapa dia tidak segera datang menengokku? Tapi aku menelan kembali pertanyaan konyol itu. Tentu saja konyol, petugas itu bukan siapa-siapaku. Hanya karena sama warga Depok, dia mau membantu, mendatangi rumah kami di sudut kampung Cikumpa.

“Bapak itu… suami Ibu, ya?”
“Yang di rumah itu, iyalah… memangnya kenapa?”
“Waktu saya sampaikan pesan Ibu, kelihatannya beliau marah sekali.”
“Marah bagaimana?” aku jadi penasaran.
“Yah, dia menanyai saya macam-macam… Apa hubungan saya dengan Ibu… begitulah…”

Ya Tuhan, penyakit ajaibnya itu, paranoid parah!
Dengan keyakinan bahwa aku telah mengkhianatinya, dia pun memutuskan untuk menghukum diriku. Demikianlah yang terjadi. Sehari, dua hari, tiga hari… waktu terus berlalu. Life must go on!

Uang yang ada di tanganku sudah habis, bahkan aku tak mampu beli sabun mandi. Acapkali dengan malu-malu, kuminta dari pasien sebelah. Tapi kalau mulai kulihat permintaanku itu mengganggunya, aku pun akan mandi tanpa sabun. Kalau tidak, kupunguti sisa-sisa sabun colek bekas mereka mencuci, dan dengan itulah aku membersihkan badanku.

Karena tak ada baju untuk salin, aku pun menyiasatinya dengan mencuci baju satu-satunya milikku yang melekat di tubuhku itu malam hari. Sepanjang malam aku akan menyembunyikan seluruh tubuhku di balik selimut. Hingga subuh tiba, aku akan buru-buru mengambil baju gamis yang telah kering, dan kujemur di teras balkon.

Seminggu sudah dan tak ada seorang pun yang mengunjungiku di ruang perawatan. Aku tak ingin membebani orang tua yang sudah sepuh di Cimahi. Sedapat mungkin aku harus menanggulangi kesulitan hidupku, dengan atau tanpa pasangan hidupku sekalipun.

Maka, hari ketujuh itu, kuputuskan untuk bertindak. Aku sudah ditransfusi dan asmaku mulai membaik, entahlah dengan kondisi jantung yang konon membengkak. Toh, selama ini pun aku tak pernah mau memikirkan segala penyakit yang menggerogoti tubuh ringkihku ini. Aku sehat, sama seperti lainnya, sehat dan kuat. Demikianlah yang selalu kutanamkan dalam hati dan pikiranku.

Hari itu kebetulan aku dikonsultasikan ke bagian perinatologi. Siswa perawat yang mengantarku dengan kursi roda berpamitan, karena dia akan mengambil pasien lain. Begitu selesai diperiksa dokter, sesungguhnya di-USG untuk kesekian kalinya… Inilah saatnya!

“Tolong, ya Bu, mohon Ibu mau pinjami aku uang seribu saja. Jaminannya KTP ini, ya Bu. Aku akan ke kantor… ambil uang,” kataku sekuat daya kutenggelamkan perasaan sedih dan malu tak teperi.
Ibu itu, seorang perempuan paro baya, menatapku dengan sorot iba. Ia menanyaiku tinggal di mana, kujawab bahwa aku pasien yang akan mengambil uang di kantor untuk nebus obat. Dia memberiku selembar lima ribu, tanpa mau menerima KTP yang ingin kujaminkan.

Dengan mikrolet aku pun meluncur ke kantor redaksi majalah Amanah. Di sini, kuyakinkan itu dalam hatiku, ada rekan-rekanku sesama penulis yang telah lama kukenal.

Benar saja, ada Ahmad Tohari, Emha Ainun Majid yang tengah dikerumuni rekan-rekan wartawan di ruang tamu. Aku hanya melintasi mereka, tidak sempat sekadar say hello. Toh yang kubutuhkan adalah uang, tidak perlu banyak, melimpah ruah. Cukuplah seharga satu cerpen!

Ada teman di redaksi yang mengenalku dengan baik. Karena belum lama juga cerita bersambungku dimuat. Saat kukatakan kesulitanku, intinya, aku membutuhkan sejumlah uang. Sebagai pinjaman atau apalah istilahnya, yang bisa kubayar nanti dengan naskah, dia pun segera mengusahakannya.

“Ini Mbak Pipiet, silakan ditanda tangani di sini,” selang beberapa menit, seorang wanita muda menyodorkan secarik kuitansi.
Kulihat sekilas angka 30 ribu itu dengan dada berdebar. Sempat terlintas di benakku, apakah aku ini penulis abnormal yang tak tahu malu? Naskah belum ada, kok berani-beraninya minta honornya? Tukang nulis pengijon!

Ah, masa bodohlah, jeritku mengawang langit. Setelah berbasa-basi sebentar dengan sang sekretaris redaksi yang ramah itu, aku pun pamitan. Ketika melintasi kembali di ruang tamu, tinggal Cak Nun yang masih berbincang heboh dengan dua orang wartawan. Dia sempat melihat ke arahku, sekejap, entahlah!

Seketika aku berdoa dalam hati, semoga dia tak pernah mengenaliku!
Dengan uang itulah aku bisa membeli perlengkapan mandi, susu ibu hamil, vitamin, kue-kue kering bahkan dua potong daster murahan di kakilima. Sesampai di ruang perawatan kembali, agaknya sempat terjadi kehebohan; seorang pasien diduga telah melarikan diri!

Ketika sore harinya, akhirnya, kepala keluarga itu, khalifah yang selalu merasa suci, bijak bestari itu datang juga. Pertama-tama yang diucapkannya adalah; “Enak kau tinggal di sini, ya! Banyak dokter ganteng yang bisa memegang-megang tubuh kau!”

Air mata itu akhirnya tumpah jua, bukan di hadapannya, melainkan manakala sendirian berdiri di teras balkon.
Malam yang hening, pukul sepuluh, langit biru bening, bertabur selaksa bintang nun di atas kepalaku sana. Bintang-bintang itu, di mataku sedang sangat ramah, mengajakku tersenyum, tersenyum, tersenyum…

Persis seperti sering kubisikkan kepada putraku, Haekal, apabila kami baru mengalami kekerasan. Biasanya kuajak dia menatap bintang-bintang di langit dari jendela kamar kami.
“Lihatlah, Nak, Cinta… Bagaimanapun pedihnya hati kita, bintang-bintang itu tampak selalu indah dan tersenyum…”
“Artinya apa, Ma?”

“Kalau bintang-bintang itu masih tersenyum, pertanda masih ada banyak harapan. Yakinlah. Jangan jadi anak yang cengeng, ya Nak, Cinta, Buah Hati Mama… Raihlah harapan itu!”
Demikian pula yang kubisikkan saat itu kepada bayi dalam kandunganku, seorang anak perempuan.

“Jangan pernah menjadi anak perempuan cengeng, Cintaku, Buah Hatiku…”
Biar bagaimana pun pedihnya kehidupan, ndilalah… Bintang di hatiku mulai tersenyum melalui sepasang belahan jiwaku; Muhammad Karibun Haekal Siregar dan Azimattinur Karibun Nuraini Siregar.
Maka lihatlah di dalam dadaku ini, Saudaraku!

Bintang pun tersenyum, ini kupinjam dari judul salah satu cerpen karya Butet yang dimuat pada antologi kumcer cantik; persembahan penulis lintas generasi, terbitan Gema Insani Press, 2006.
@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama