Cinta Dalam Kulkas
Pipiet Senja
Setiap kali melewati toko elektronik di Pasar Antri, terutama yang memamerkan lemari pendingin atau kulkas, kaki-kakinya serentak berhenti. Beberapa saat ia akan berdiri di depan toko itu, sedang matanya mengawasi deretan kulkas yang bisa tersapu oleh pandangannya. Ia tahu persis rincian yang diinginkannya. Mulai dari merek-mereknya, daya listrik yang dibutuhkan hingga garansi dan harganya tentu saja.
Setiap kali melewati toko elektronik di Pasar Antri, terutama yang memamerkan lemari pendingin atau kulkas, kaki-kakinya serentak berhenti. Beberapa saat ia akan berdiri di depan toko itu, sedang matanya mengawasi deretan kulkas yang bisa tersapu oleh pandangannya. Ia tahu persis rincian yang diinginkannya. Mulai dari merek-mereknya, daya listrik yang dibutuhkan hingga garansi dan harganya tentu saja.
Seperti yang dilakukannya petang itu, sepulang kerja
dan harus belanja untuk makan malam keluarganya. Beberapa detik ia berdiri
terpaku depan etalase. Seorang gadis muda pelayan toko, menghampiri dan
menyapanya ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu Haji?”
Bu Haji, katanya. Di pasar ini para pedagang semakin
sering saja menyapa calon pembeli dengan sebutan begitu. Entah apa maksudnya.
Apa itu sekadar basa-basi, atau ada udang di balik batu. Tapi yang pasti ia
selalu merasa jengah setiap kali orang menyebutnya demikian.
“Eee…, saya belum Haji kok,” bantahnya tersipu malu.
“Hmmm…” Entah apa pula makna dengusnya itu.
Pelayan toko itu kemudian memandanginya lebih
perhatian. Dan ia segera merasa rikuh di bawah sorot selidik begitu. Sepertinya
diperhatikan mulai dari sandal jepit, gamis lusuh, jilbab kaos sampai tas kain
yang diselempangkan di bahunya.
Gadis ini tentu sudah tahu bagaimana isi kocekku,
bisiknya dalam hati. Namun, ia masih terpaku di tempatnya, pandangannya kembali
dialihkan ke sebuah kulkas yang baru kali ini dilihatnya. Lebih tinggi,
warnanya cemerlang hijau turkis, merek terkenal. Dua pintu, oh, tentu bisa
memuat banyak makanan dan minuman.
Sekejap terlintas di benaknya, bila barang mewah itu
memasuki rumahnya yang sederhana di sudut kampung. Di mana ia akan
meletakkannya? Di ruang tamu yang selalu dipenuhi buku-buku, literatur milik
suami dan sulungnya? Di ruang tengah, tempat si bungsu menaruh meja belajar
mungil sejak TK hingga SMU.
Di kamarnya yang juga selalu dihiasi macam-macam
buku bacaan, sebuah komputer tua dengan printer yang tak kalah tua, bila
dipasang akan berbunyi; grueeek, gruuueeek…. Macam bunyi orang bengek saja!
“Kulkas ini baru datang, Bu Haji,” jelas seorang
rekannya, lelaki muda dengan wajah lebih ramah. “Ibu nggak akan rugi kalau
pilih barang berkualitas begini….”
“Harganya dua juta!” rekannya cepat menyambung sambil
lalu, menghampiri calon pembeli lainnya.
Ia terdongak menatap punggung gadis berkaus ketat
pendek dengan celana jeans itu. Ada celah mengerikan di bagian pinggulnya yang
membuatnya cepat-cepat melengos, spontan mengucap istighfar. Mode busana anak muda
sekarang, kok malah melecehkan dirinya sendiri? Merendahkan harkat dan
kehormatannya sebagai perempuan. Mengundang para lelaki untuk menjahilinya.
Untuk sesaat hatinya riuh meracau. Dan ia segera
mensyukuri tak memiliki anak seberani itu dalam berbusana. Putrinya sejak kelas
lima SD sudah minta dijilbab apik. Meskipun dengan malu-malu waktu masuk SLTP
bilang, bahwa dirinya sudah akhwat. Lugu tapi sungguh mengharukan, sekaligus
membanggakan hati ibunya.
“Ya…, gimana Bu Haji?”
“Eeh, iya, nanti saja. Maaf….”
“Huuu….” Dengung itu menggebah dirinya seringkas
mungkin dari toko.
Sambil melanjutkan perjalanan, diam-diam ia
menyesali dirinya.
Aaah, masih juga tergoda, mengapa?
Itu kan soal gaya hidup modern! Jangan pernah kita
tergoda. Karena sekali tergoda, kita akan terus-menerus menjadi budak
modernisasi. Yang notabene hanya mengusung kesenangan duniawi yang semu belaka.
Bukankah begitu selalu diucapkan oleh suaminya, apabila anak-anak merengek
minta dibelikan kulkas?
Ini memang sudah menjadi penyakitku, gumamnya
semakin menyesali diri. Tepatnya adalah mulai marah atas ketakberdayaan
dirinya, tak mampu menghindari godaan untuk melihat-lihat barang mewah. Marah
pula untuk ketakberdayaannya menentang disiplin suami.
Ah, bahkan sebuah kulkas pun begitu sulitnya mereka
miliki!
Padahal, apa susahnya beli kulkas seharga dua juta?
Penghasilan suaminya lebih dari cukup. Ditambah penghasilannya sebagai penulis
lepas. Tahun-tahun terakhir ia sangat produktif. Sekali mendapatkan royalti,
bisa saja beli lima kulkas sekaligus!
“Apa sih keberatan Ayah kalau kita beli kulkas?”
bungsunya yang suka dipanggil Butet itu, suatu kali menggugat sang bapak.
Lelaki paro baya itu hanya mesem-mesem. Sedikit
mengangkat wajahnya dari buku tebal yang digenggam erat-erat di tangannya. Besok
akan berdiri di hadapan puluhan mahasiswa S2. Kuliah teknologi mutakhir, sebab
ia guru besar lulusan S3 universitas bergengsi di Jerman.
“Yaaah…, kita memang nggak begitu membutuhkannya. Ya
kan, Nda?” tanyanya malah balik mengerling Nur, yang sedang asyik menulis di
depan komputernya.
Sesungguhnya diam-diam kupingnya menyimak percakapan
mereka. Ruang keluarga berseberangan dengan kamar kerjanya yang tak berpintu.
Ia sangat menyukai sudutnya, di mana dirinya bisa berkarya sekaligus mengintip
kegiatan keluarganya.
“Hmmm, terserah kalianlah,” sahutnya asal.
Saat itu ia sungguh tak ingin ada konflik dengan
suami tercinta. Dia tengah sibuk menulis novel trilogi yang membutuhkan
konsentrasi penuh, riset dan terutama dukungan suami. Jangan cari masalahlah!
“Tapi, Nda, Yaaah…, di kampung ini mana ada lagi
rumah tanpa kulkas?” protes Butet, terdengar sarat ketakpuasan. “Bahkan warung
Bude itu sampai dua kulkasnya. Gede-gede laaagiii!”
“Warung memang membutuhkannya. Buat menyimpan
daging, ikan atau sayuran yang nggak laku,” ujar ayahnya seperti puas telah
menemukan celah untuk mematahkan segala hasrat memiliki lemari pendingin.
“Uuuh, Ayaaah!” Butet mengerucutkan bibirnya.
Nur mengintip dari balik komputernya. Lucu tapi
memang ironis, pikirnya.
Sang profesor diundang sana-sini untuk seminar
teknologi mutakhir. Sementara di rumahnya sendiri hampir tak ada teknologi
mutakhir yang membanggakan. Selain dua komputer butut keluaran 90-an, televisi
berwarna mungil dibeli di awal pernikahan.
Rumah mereka di perkampungan, sangat sederhana sama
sekali tak ada garasi. Bahkan tanpa pintu gerbang dan pagar besi. Menurut
suaminya, mereka harus hidup memasyarakat, menyatu dengan lingkungan
perkampungan. Pendeknya, puluhan tahun mereka berumah tangga, suaminya selalu
menekankan disiplin kesahajaan. Teman-temannya sampai menyebut mereka sebagai
keluarga sufi. Ejekan atau sarkastik tentunya.
“Apa coba alasan Ayah sekarang?” desak Butet semakin
gerah.
“Buat kita apa sih pentingnya kulkas? Hanya demi es
batu? Beli saja di warung, cuma lima ratus rupiah. Hemat, nggak pake listrik
sendiri.
“Kalau kita punya kulkas….”
Ucapannya mengambang, keburu dipintas sang ayah.
“Baik, kalau ada kulkas! Gimana coba kalau pas kita
nggak punya uang? Kulkasnya bakal kosong melompong. Bisa-bisa Bunda kalian
sakit hati setiap kali melihatnya. Penyakit baru pula itu!” cetusnya dengan
aksen Bataknya yang khas.
Untuk beberapa detik sang profesor heboh sendiri,
memaparkan argumen penolakan keberadaan kulkas di rumahnya. Nampak Butet manyun
dan gelisah ditelan ketakberdayaannya.
“Itu bukan jawaban yang dimaui si Butet, Yah,”
sulungnya yang lagi sibuk menyusun skripsi, akhirnya nimbrung. “Soalnya kalau
cuma demi kepentingan, itu tuh…. Mang Dedet, rumahnya saja masih ngontrak. Dia
kok punya kulkas juga. Lagian, kalau soal penyakit hati, Bunda nggak punya
kulkas juga suka sakit hati kok. Tanya saja sama Bunda, hehe….”
Nur senyum kecil mendengar ucapan sulungnya. Tumben,
anak itu biasanya kan pendukung Ayah. Maklum, sama-sama predator buku.
Sama-sama ilmuwan. Kompak pula hidup sahaja nian. Adiknya sudah mulai ribut
soal ponsel. Mahasiswa teknik nuklir itu kalem-kalem saja.
“Ngapain juga pake punya ponsel kalo masih bisa
telepon di wartel,” dalihnya ringkas, malah bikin bibir adiknya kian
mengerucut.
Padahal, kalau soal pulsa pasti dia bisa
tanggulangi. Toh biar umurnya baru 21-an, sudah asisten dosen, termasuk
mahasiswa cemerlang, tawaran bea-siswa dari mana-mana….
Ups, tahu-tahu terdengar suara-suara keras!
Tahu-tahu terlihat bayangan Butet berlari kecil ke
kamarnya. Tahu-tahu pula terdengar isaknya sayup sampai. Posisi ketiga manusia
di ruang keluarga itu telah berubah total. Dan frontal!
Wah, waaah…?!
“Pokoknya, Butet kepingn beli kulkaaas!” teriak
Butet sebelum lenyap ditelan pintu kamarnya.
Whoooi, Nur melihat bayangan dirinya di sana!
Ia bangkit dari depan komputer, meninggalkan adegan
paling seru yang pernah ditulisnya dalam semua karyanya selama hampir 30 tahun.
Kelihatannya ada yang lebih seru di depan matanya, tapi ia telah melewatkannya
begitu saja.
“Apa yang terjadi, Bang?” tanyanya ke arah sulungnya
yang wajahnya juga merah padam. Anak muda itu melintas gegas di seberang meja
kerjanya.
“Tahulah, Nda…. Kok mendadak panas saja rumah ini!
Memang sudah saatnya dibutuhkan lemari pendingin, barangkali!” sahutnya sambil
ngeloyor ke kamarnya.
Dikerlingnya suaminya. Sang khalifah keluarga itu
hanya mengangkat bahunya. Dan buru-buru kembali menekuni referensi untuk
makalahnya.
Suatu hari, Butet pulang sekolah dengan wajah
sumringah.
“Kabar gembira, ya Cinta?” sapa Nur.
“Iyalah, Nda. Tebak dulu, ayo tebaaak!” remaja
berjilbab putih itu menggelendot manja di lengannya.
“Ya, apa dong, yaaa?” Nur berlagak menyerah.
“Intinya menang dan lomba, begitu Nda!”
“Lantas?” buru Nur.
“Yeah…, lihat saja sendiri!”
Nur menatap gadis yang konon wajahnya mirip
dengannya itu. Penasaran. Rasanya, begitu banyak lomba yang pernah diikuti
kedua anaknya. Hingga berderet tropi penghargaan di ruang tamu. Nur sering
terkagum-kagum bila berdiri di depan rak kuno, khusus dirancang oleh suaminya
itu.
Tiba-tiba Nur seolah tersadarkan, betapa rumah ini
sesungguhnya telah dipenuhi kebahagiaan. Kebanggaan, kemenangan dan berkah. Dan
tentu saja, di atas semuanya itu ada cinta kasih yang senantiasa tersimpan.
Bahkan mengkristal dari saat ke saat di hati para penghuninya.
Ya, bahkan meskipun tanpa perabotan mewah. Termasuk
kulkas.
Tapi tiba-tiba, ia dikejutkan oleh keputusan yang
telah diambil putrinya.
“Naaah…, tuh mereka datang, Nda!” serunya.
“Aaah…, apa itu, Butet?”
Dara berbusana muslimah itu hanya tersenyum-senyum
kecil. Dalam sekejap ia segera sibuk, meminta dua orang pendatang itu untuk
meletakkan barang pesanannya. Dibelinya sendiri, langsung sepulang menerima
hadiah lomba menulis karya ilmiah tingkat Nasional.
Sebuah kulkas berpintu dua, hijau turkis, cemerlang,
merek terkenal. Benda itulah yang pernah dilihat Nur tempohari di toko
elektronik Pasar Antri.
“Tapi…, bagaimana kalau Ayah nggak setuju?”
Nur terpaku di depan benda yang pernah sangat ingin
dimilikinya. Namun, kini tiba-iba berubah menjadi sumber kegamangan hatinya.
“Alaaah, masak iya sih segitunya…?”
Kemanjaan itu mengapung di udara rumah yang telah
bertambah isinya. Pandangan Nur masih terhunjam di atas penghuni baru itu.
Seketika dadanya merasakan sesuatu yang aneh. Berrrr…. Ada dingin di sini!
Sementara Butet telah berhasil meletakkan benda
mewah itu di sudut yang diinginkannya. Di ruang keluarga, menambah sesak meja
belajar dan tumpukan buku miliknya.
“Permisi, Buuu….” Dua pengantar barang pamitan
setelah diberi tips alakadarnya oleh Butet.
Nur semakin terpaku di depan kulkas baru itu.
“Cinta, begini ya.…”
“Nda ini aneh-aneh saja,” tukas Butet manakala Nur
mengapungkan lagi perasaan yang merayapi dadanya.
“Kenapa aneh?” Nur menatap gadisnya bingung dan kian
gamang.
“Tentu saja dingin, Nda sayang…. Namanya juga lemari
pendingin!”
Reaksi sang profesor dan putranya sungguh
mengejutkan.
Paling tidak bagi Nur. Sebab Butet acuh tak acuh
saja menanggapi reaksi orang serumah atas tindakannya itu. Lagipula, dia segera
disibukkan urusan SPMB1-nya. Tak ada waktu lagi untuk
memikirkan hal remeh-temeh. Dia ingin masuk Kedokteran PTN bergengsi di Tanah
Air. Kalau bisa, sukses pula meraih bea-siswa Monbusho dari pemerintah Jepang.
“Pssst, jangan mau makanan dan minuman dari kulkas,”
bisik suaminya yang segera dianggukkan oleh putra kesayangan.
“Memangnya kenapa begitu?” Nur mulai gerah.
Semenjak ada kulkas, suaminya dan sulungnya sulit
makan dan minum bikinannya. Bila pulang keduanya seperti kompak membawa minuman
aqua dan lauk sendiri.
“Sayur, ikan atau daging yang sudah disimpan di
kulkas banyak berkurang kandungan gizinya!” tegas sang profesor.
“Iya, Nda, nggak alami lagi!” sambung si sulung.
Sungguh, pendukung ayahanda sejati!
“Baiklah! Bunda hanya akan masak dengan sayur, ikan
atau daging segar seperti biasanya. Tanpa disimpan dulu di kulkas,” janji Nur
di depan suami dan kedua buah hatinya.
“Naaah, begitu dooong!” kompak lagi ayah-anak itu.
“Huuu…, kalian ini? Kenapa sih jadi hobi neror
Bunda!” jengek Butet, memelototi abangnya dengan gemas. Kepada sang ayah tentu
saja dia tak berani.
Untuk beberapa saat suasana rumah kembali normal.
Namun, sesungguhnya tetap ada ganjalan di hati Nur. Sekarang tiap kali ia
melintasi kulkas itu, dirinya serasa disergap hawa dingin yang kian menghebat.
Kesia-siaan. Persis seperti keberadaan benda itu di rumahnya. Hanya berisi
botol-botol minuman yang semakin jarang pula disentuh. Sebab ia sendiri tak
suka minuman dingin.
“Apa nikmatnya memiliki benda mewah ini?” tanyanya
berulang kali dalam hatinya.
Pertanyaan itu mengapung sesaat, kemudian lenyap bak
ditelan lemari pendingin yang berdiri angkuh di sudutnya.
Butet semakin larut dalam ghirah-nya, dan semangat juangnya untuk berkompetisi. Seperti telah
diperkirkan semua orang, anak itu sukses menjadi mahasiswi Kedokteran PTN
bergengsi.
“Saya pamit, mohon restu Bunda dan Ayah,” ucapnya
pula beberapa bulan kemudian.
Ia pun berhasil meraih bea-siswa Monbusho.
Subhanallah!
Lama Nur hanya memandangi wajah oval nan jelita,
rambut tertutup jilbab, kepalanya tentu saja berisi sebongkah otak cemerlang.
Rasanya baru kemarin ia tertawa sukacita, mengetahui bungsunya sudah bisa baca
di usia kurang tiga tahun. Mengantar-antarnya ke TK Al Quran, menontoninya
karnaval 17-an untuk pertama kalinya, dan pidato di panggung terbuka pinggir
jalan.
Betapa cepatnya waktu berlalu, kesahnya.
Dan kini, setahun sudah sejak Butet pamitan pergi ke
Negeri Sakura. Setahun pula sejak sulungnya menikah, kemudian boyongan ke
pedalaman Kalimantan. Ia pun kembali berdiri termangu-mangu di depan kulkas.
Masih dalam perasaan aneh. Dingin, hampa dan sunyi nian.
Akan diapakan benda yang baginya sama sekali tak
mewah lagi, bahkan tak berguna ini? Diberikan kepada orang lain? Atau
dibuangkah?
Ah, kasihan yang membelinya, ralatnya sendiri.
“Sudah, jangan dipakai sajalah. Biarkan tetap di
situ, dikunci barangkali. Sampai si Butet pulang kelak,” usul suaminya
tiba-tiba telah berdiri di sebelahnya. Dan memandanginya sepenuh cinta.
“Setelah itu?” tanyanya mengapung di udara yang
seketika mulai bias.
Telah berapa lamakah ia tak pernah mendengar suara
suaminya yang hangat, dan tatapan sepenuh cinta begini? Begitu padat jadwal
sang profesor bulan-bulan terakhir. Sehingga Nur nyaris saja berprasangka bahwa
dingin kulkas itu telah merembet pula kepada suaminya.
“Ya…, bagaimana nanti sajalah. Begitu saja kok
dipikirkan. Mending ikut Ayah, ayo, sini,” ajak suaminya sambil merengkuh
pinggangnya dengan mesra.
Cahaya petang mengintip malu-malu melalui ventilasi
ruangan. Sinarnya jatuh sebagian di wajah paro baya yang masihlah jantan dan
perkasa itu. Sedetik Nur merasa tersipu-sipu, sebab seketika dadanya dibaluri
nuansa bulan madu. Namun, detik-detik berikutnya adalah rangkaian wangi melati,
dan kembang setaman.
Sepenggal tarian cinta seperti dulu mereka lakoni di
awal-awal pernikahan. Semuanya lebur dalam greget kasih sang profesor, hingga
suatu saat ia mendadak menggeliat.
“Ada apa?”
“Oh, ngng…, kulkas itu kita hibahkan saja ke panti
asuhan dhuafa.”
Depok, Rajab
1424 Hijriyah
***
Posting Komentar