Nukilan Novel: Bulan Pecah di Langit Jakarta



Bermula di Kaki Kerinci


Anno, 70-an.
Lihatlah, gunung Kerinci menjulang langit!
Hawa dingin menggigit hingga terasa ke tulang sumsum. Bulatan mentari pagi menyembul dari balik pepohonan. Cahayanya yang keemasan menyemburat ke pelosok dusun di kaki gunung.
Puncak Kerinci disebut juga Indrapura adalah gunung tertinggi di Sumatra, gunung berapi tertinggi di Indonesia, puncak tertinggi di luar Papua.
Gunung Kerinci terletak di Provinsi Jambi yang berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat, di Pegunungan Bukit  Barisan, dekat pantai barat, sekitar 130 km sebelah selatan Padang.
Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat, merupakan habitat harimau dan badak Sumatra. Puncak Gunung Kerinci berada pada ketinggian 3805 mdpl.
Siapapun dapat melihat di kejauhan membentang pemandangan indah Kota Jambi, Padang dan Bengkulu. Bahkan Samudera Hindia yang luas dapat terlihat dengan jelas.
Gunung Kerinci memiliki kawah seluas 400 x 120 meter dan berisi air yang berwarna hijau. Di sebelah timur terdapat danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di Sumatera. Di belakangnya terdapat gunung tujuh dengan kawah yang sangat indah yang hampir tak tersentuh.
Pagi itu di tengah balutan hawa dingin yang menggigit, masyarakat kaki gunung Kerinci sudah bergerak.
Ada yang pergi ke ladang-ladang dan sawah-sawah. Ada pula yang merambah ke arah gunung, mengadu peruntungan, mencari kayu untuk dijual ke pasar satu pekan sekali.
Nun di sebuah rumah panggung khas masyarakat Kerinci. Tampaklah seorang lelaki 40-an sedang membenahi toko furniturenya. Ia mengerjakan semuanya sendirian.
Bisnis pembuatan perabotan rumah tangga sedang menurun, banyak barang yang belum dibayar. Terpaksa ia harus melepas para pegawainya. Hingga kini tinggal dirinya, dibantu oleh anak-anaknya yang sudah besar.
Dua anak laki-laki, adik-kakak, Gery dan Jefry, tiba-tiba melesat dari dalam rumah. Jefry tujuh tahun, adiknya Gery enam tahun. Keduanya sudah terbiasa melakukan kegiatan bersama pagi hari begini.
 “Gery, Jefry! Mau ke mana ?” seruan Mamak yang terkejut, nyaris saja tertabrak oleh anaknya yang keenam dan kelima ini.
“Sebentar, Mak, mau main!” sahut Jefry, memacu gerakannya yang serba ringkas.
Sosoknya yang tinggi kecil bagaikan anak kijang terus melesat memasuki kebun di belakang rumah.
“Naaak?” teriak Mamak, ingin tahu sekaligus agak cemas.
Perempuan bersahaja dengan kain kebaya dan kerudung, busana kebanyakan perempuan di desanya, mengejar mereka ke teras.
Seingatnya kedua anak laki-lakinya ini punya kegiatan aneh sejak beberapa pekan yang lalu.
Ya, sejak tahun ajaran baru dimulai.
“Mau lihat anak-anak sekolah, Mak!” sahut Gery, seraya terus berlari cepat, mengejar Jefry yang sudah mendahuluinya jauh sekali.
”Baaang tungguuuuu!” serunya lantang.
“Hati-hatilah, Nak!” teriakan ayahnya pun hanya melintas sekilas di kuping kedua anak laki-laki itu.
“Iyo, iyo, Yaaaah!” sahut Gery.
Dilihatnya Jefry yang umurnya setahun lebih tua itu, tampak sudah sampai di kelokan jalan kampung.
“Bang Jeeeeeef! Tungguuuu!” Gery mengulang, napasnya tersengal-sengal.
Meskipun demikian, ia pantang menyerah!
Kaki-kakinya yang mungil tanpa alas, dipaksa terus untuk berlari, melintasi kebun, lapangan, jalanan tak beraspal. Satu tujuannya, sama seperti Jefry, menuju bangunan taman kanak-kanak Pertiwi.
Lamat-lamat suara anak taman kanak-kanak Pertiwi terdengar oleh Gery.
Ini hari Senin!
Tentu saja anak-anak ada upacara Senin Pagi, menaikkan bendera Merah Putih di halaman sekolah.
Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun terdengar.
“Aduuuuh!” Gery akhirnya bisa menjejeri abangnya, napasnya serasa nyaris habis, tersengal-sengal hebat.
“Psssstttt! Jangan bising!” bisik Jefry.
“Iyyya, huuuffff!”
Sejenak kedua anak laki-laki itu berpandangan. Sementara lagu Indonesia Raya terus berkumandang.
“Ayo!” ajak Jefry, menyikut perut adiknya.
Gery membungkuk beberapa jenak, mengatur napasnya sendiri. Kemudian ia segera meluruskan badan untuk menghadap ke arah tiang bendera.
Sementara Jefry sudah berdiri tegak, mulutnya ikut komat-kamit menyanyikan lagu Kebangsaan.
Lagu Indonesia Raya telah di penghujung lirik.
Indonesia Raya Merdeka Merdeka….
Hiduplah Indonesia Raya….
“Siaaaaaap, graaaak!”
“Bubaaaar, jalan!”
Gery selalu kagum setiap kali melihat Domu, anak laki-laki yang didapuk menjadi komandan lapangan. Tubuh Domu yang lebih besar daripada anak-anak lainnya, terlihat menonjol. Ditambah suaranya yang lantang, khas anak Kerinci.
“Psssst, sini, Dek!” Jefry menarik tangannya, agar ikut merunduk di balik pintu gerbang sekolah.
Gery menurut patuh, menunduk sembunyi di sebelah abangnya.
Sementara dari kejauhan Pak Soritua, penjaga sekolah, berjalan ke arah mereka. Ia membawa kotak sampah yang diletakkannya di tong sampah besar dekat pintu gerbang.
Lelaki paro baya itu memeriksa sebentar suasana di sekitarnya. Saat dirasanya aman ia pun mengunci pintu gerbang. Kemudan kembali menuju kantor guru.
“Ayolah!” ajak Jefry.
“Iyo, siaaap!” sahut Gery semangat sekali.
Kedua anak laki-laki itu berdiri tegap menghadap pintu gerbang. Melalui lubang pagar kawat berduri, mereka masih bisa melihat kegiatan anak-anak di pekarangan dalam.
Ketika anak-anak melanjutkan dengan nyanyian lainnya, Jefry dan Gery ikut menyanyi.
Ketika anak-anak melakukan senam pagi, Jefry dan Gery pun ikut pula senam pagi.
Beberapa saat kemudian tidak terdengar suara anak-anak lagi. Artinya mereka sudah memasuki kelas.
Gery dan Jefry saling pandang. Kemudian mata mereka diarahkan ke dalam pekarangan.
“Kosong!” gumam keduanya kompak.
“Ayo, Dek!” ajak Jefry seraya menarik tangan adiknya.
“Iyo, Bang!”
Jefry mengajak adiknya memutar pekarangan dari arah belakang. Mereka menemukan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelundup.
Awalnya lumayan juga anak-anak kampung yang suka menyelundup. Kemudian bermain dengan berbagai permainan di pekarangan taman kanak-kanak Pertiwi.
Namun, sejak ada penjaga sekolah, Pak Soritua brewok yang galak itu, anak-anak bubar bertemperasan.
Kini tinggal mereka berdua saja yang masih nekad, kepingin menyelundup dan bermain di pekarangan.
          Jefry berhasil menyelusupkan tubuhnya ke balik pagar kawat berduri tanpa bantuan adiknya.
“Ayo, sini, cepat,” perintah Jefry dari balik pagar berduri.
Gery menatap wajah kakaknya agak bimbang.
“Cepat-cepatlah! Mumpung si Brewok lagi sibuk bersih-bersih.”
“Iyo, tapi Abang bantulah,” pinta Gery.
Jefry mengangkat pagar berduri di atas setelempap sudut, bekas  tubuhnya menyelusup masuk.
Gery memiliki tubuh kekar untuk ukuran umurnya. Jadi agak sulit untuk Gery saat ingin menyelusupkan tubuhnya ke sudut sekecil lubang kelinci begitu.
Setelah lumayan menguras tenaga kecil abangnya, Gery berhasil juga alih tempat dari luar ke pekarangan taman kanak-kanak Pertiwi.
“Kita sama-sama mainnya, ya, Bang,” pinta Gery.
“Masing-masing sajalah. Aku mau main ayunan!” Jefry membantah, langsung ngeloyor menuju ayunan terbuat dari bekas ban besar.
Gery mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Di pekarangan sekolah itu ada beberapa permainan untuk anak-anak. Dua ayunan terbuat dari ban bekas, perosotan, enjot-enjotan dan rumah-rumahan.
Gery memilih perosotan, beberapa kali tubuh kecilnya naik dan turun di tempat permanan ini. Sementara Jefry menggelantung di ban bekas.
Saking asyiknya bermain, tak urung keduanya mengeluarkan suara-suara keras. Bahkan kemudian teriakan kedua anak ini menggema ke pelosok sekolah.
Beberapa anak taman kanak-kanak melongok dari jendela kelas.
“Wooooi!” teriak seorang anak.
“Jangan main di situuuu!” sambung temannya.
“Kalian bukan anak Pertiwi!” tingkah teman lainnya.
Anak-anak dari kelas lain pun penasaran dengan keriuhan dari luar. Mereka sama melongokkan kepala dari jendela kelas masing-masing. Guru sampai kewalahan dibuatnya.
Pak Soritua akhirnya keluar dari kesibukannya di ruang guru. Demi dilihatnya ada dua anak asyik bermain di pekarangan sekolah, ia bergegas-gegas keluar.
“Heeeei! Pergi sana, anak-anak, pergiiii!” teriak Pak Soritua sambil mengacung-acungkan sapu lidi ke arah Gery dan Jefry.
Begitu melihat kemunculan sosok si Brewok, Jefry dan Gery serentak menghentikan kegiatan bermain. Tanpa babibu lagi keduanya berlari menuju tempat mereka masuk.
Begitu hebohnya anak-anak menyoraki kedua anak itu.
”Horeeee!”
“Kejar Pak Brewoook!”
“Iya, tangkaaap!”
Gery dan Jefry panik. Keduanya semakin kencang berlari. Begitu menemukan celah pagar berduri, keduanya berusaha keluar lebih dahulu.
Hingga satu saat Gery tanpa sadar berhenti, mengisyaratkan agar abangnya bisa leluasa menyelusup keluar dari pekarangan sekolah.
“Yaaaak, berhasiiil!” dengus Jefry begitu ia sukses menyelusup keluar pagar berduri.
Giliran Gery, terburu-buru dan tidak dibantu lagi oleh abangnya, sementara si Brewok semakin mendekatinya.
Dari kejauhan Jefry berteriak-teriak, maksudnya menyemangati adiknya. Tingkahnya itu malah membuat Gery semakin gugup saja.
Gery sudah bisa menyelusupkan badannya ke celah pagar berduri. Namun, tiba-tiba; breeettttt!
Ada yang terasa menyengat di bagian punggungnya.
Gery mengerang:”Aduuuuuh!”
Melihat adiknya seperti kesakitan, tak urung Jefry tersentak kaget. Hilang rasa takutnya kepada si Brewok. Jefry kembali berlari menghampiri sang adik.
Diulurkannya tangannya, seketika mengangkat pagar berduri sekuat-kuatnya. Sehingga Gery bisa meloloskan tubuhnya keluar pekarangan sekolah.
“Daraaah, waduh, itu daraaah Deeek!” Jefry mendesis saat melihat bagian punggung adiknya.
Gery sudah berada di luar pekarangan sekolah, menatap wajah abangnya. Telapak tangannya diusapkan ke bagian punggung yang terasa nyeri.
Terasa basah, begitu dicermati memang benar; darah!
“Apa ini, Bang?” tanyanya lugu, mengacungkan telapak tangannya yang berdarah.
”Bajumu robek, ada darahnya….” Jefry menyahut terbata-bata.
Gery bergeming, sama sekali tidak terpengaruh dengan perkataan abangnya. Sebaliknya Jefry mendadak panik dan ketakutan sekali.
“Cepat, ayo, cepat diobati, Dek!” sentak Jefry seraya menarik tangan Gery. Kemudian secepat kilat membawa adiknya meninggalkan tempat itu.
Pak Soritua sudah berada tak jauh dari kedua anak itu. Demi dilihatnya ada darah di punggung Gery, tak urung ia merasa iba.
“Sini, anak-anak, siniiii!” pintanya hendak memberi bantuan.
“Kabooooor! Maaaak!” teriak Gery dan Jefry salah paham, begitu dilihatnya si Brewok teriak-teriak, sambil mengacung-acungkan sapu lidi besar.
@@@@



1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama