Cerpen Pipiet Senja (Republika, 28
November 2010)
SETELAH tiga hari tiga
malam berada di Makkah, rombongan haji pun disiapkan untuk menuju Arafah. Sejak
saat ini, catatanku agak eror. Kadang kuisi, tapi lebih banyak blank-nya.
Sebab, aku lebih fokus kepada kesehatan dan pelaksanaan rukun-rukun hajinya.
Hampir tak ada kesempatan untuk menulis berbagai peristiwa yang kulakoni. Jadi,
aku berusaha keras untuk mencatatnya di memori otakku saja.
“Inilah prosesi haji yang sesungguhnya.
Alhamdulillah, musim haji ini adalah Haji Akbar, pahalanya ratusan kali lipat
dari haji biasa.”
“Sesungguhnya, rukun haji itu terdiri dari ihram, wukuf, thawaf
ifadah, sai, tahalul atau bercukur, dan
tertib.”
“Inilah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan.
Bila salah satu tidak terlaksana, ibadah hajinya tidak sah.”
Saat itu tepat 8 Dzulhijjah. Kendaraan mulai
bergerak meninggalkan Makkah menuju Mina, lalu dilanjutkan ke Arafah, tempat
jamaah melakukan wukuf. Arafah terletak di luar Kota Makkah, sekitar dua mil.
Jamaah pria kembali mengenakan baju ihram. Ibu-ibu berbusana serba putih.
Larangan berihram pun dikenakan dan berkali-kali diingatkan oleh para muthowif.
Jamaah haji yang diangkut oleh bis dua—kami menyebutnya rombongan Sofitel—agaknya lebih dahulu tiba di tenda Mina. Mereka bisa leluasa mencari tempat atau sudut yang diinginkan, bahkan dapat mengangkat koper kecilnya masing-masing.
Rombongan Intercontinental harus rela mendapatkan
sudut-sudut yang tersisa. Aku bahkan tak mendapatkan sudut yang bisa bergerak
leluasa, selain sebidang lajur sekadar untuk bisa meringkuk, tanpa alas yang
empuk selain hamparan selimut di antara deretan kasur. Nah loh,
bisa dibayangkan tidak, Saudara? Intinya, ini sisi yang sesungguhnya tidak
nyaman sama sekali.
Tak mengapa, tidak hanya diriku sendiri, ada
dindaku Sari dan Euis Muharom menemani. Lagi pula, banyak juga jamaah yang
tetap memelihara rasa kepeduliannya untuk berbagi dalam hal apa pun. Mungkin
ini yang terbaik dan inilah rezekiku.
Demikian Allah SWT menjamu diriku. Segera kuperbanyak zikir dan berdoa, kubergegas ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan kudirikan shalat sunah taubat. Sungguh, aku merasa takut sekali akan azab-Nya.
Demikian Allah SWT menjamu diriku. Segera kuperbanyak zikir dan berdoa, kubergegas ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan kudirikan shalat sunah taubat. Sungguh, aku merasa takut sekali akan azab-Nya.
Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu yang lemah ini
dari azab dan siksa-Mu. Sembunyikanlah segala aib dan dosaku. Demikian
kutasbihkan dalam hati. Sekitar pukul sembilan malam, kurasa semua jamaah
Cordova telah memasuki tenda. Di sini mulailah aku menyaksikan sifat aslinya,
sejatinya karakter manusia, dan topeng-topeng pun berlepasan sudah.
“Pssst, ingatlah jangan bergunjing, Saudariku.
Kita sedang berihram.”
“Alah, Teteh ini ngapain sih
paspes-paspes mulu dari tadi. Dikasih tahu sekali juga gue paham!”
“Ini punya siapa sih gede
banget tasnya? Dikata kemping sebulan!”
“Woooi, mana tisu basahnya?”
“Sini ada, men! Jangan malu-malu deh, entar malah
jadi malu-maluin!”
Kulihat dindaku Ennike terperangah hebat,
menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam perlahan, “Ya Allah, Teteh, kenapa
pake cay-coy,man-men segala tuh bahasa?”
“Iya Dinda, prokem aming,” tak
terasa mulutku pun terkuak tiba-tiba. Begitu menyadari, buru-buru aku mengucap
istighfar.
Aku tak berhak mencela, sebab seperti itu pulalah bahasaku jika
sedang bergaul ria dengan putriku. Mungkin saja, mereka melakukan hal itu
sebagai penghilang stres. Prosesi haji ini memang sungguh menguras pikiran,
lahir batin, jiwa, dan raga. Jika mental kita labil, niscaya bisa dipastikan
bakal stres.
“Selama menjadi dokter haji, banyak sekali
kutemukan jamaah yang mendadak gila,” kata dokter Erry, dokter rombongan yang
jelita dan sangat modis itu.
“Hah?
Mendadak gila bagaimana, Bu Dokter?”
“Yah, stres hebat, gila dalam tanda kutip!”
‘Kepala Suku’ memberi tahu bahwa rombongan akan
bergerak kembali pada pukul dua belas malam. Mendengar hal ini, suara-suara
mendadak berhenti total, kemudian semuanya berusaha untuk merehatkan badan.
Dendang batuk pun mulai terdengar secara
serempak bagaikan paduan suara ajaib tengah malam di Maktab 110, pertendaan
Mina.
“Gimana nggak bikin batuk. Lha
wong tendanya selama setahun ditutup. Musim haji baru dibuka kembali,
mungkin gak sempat dibersihin,” seseorang menjelaskan tanpa diminta.
Kucermati
memang ada banyak kotoran berupa debu dan seperti kapas-kapas kecil beterbangan
dari arah kipas angin. Jangankan bagi ibu-ibu sepuh, semuanya tak terkecuali
terserang batuk dan beberapa sesak napas. Kurasa, asmaku pun bisa kumat.
Ustaz
Satori sering bergurau tentang batuk ini, “Semuanya dipastikan terserang batuk,
kecuali unta.” Selama berhaji, bukan hal yang aneh dan patut dicemaskan secara
berlebihan apabila jamaah terserang batuk. Di sinilah kembali muncul jurig
songong itu.
“Alhamdulillah, sampai saat ini aku sehat-sehat
saja, bahkan batuk pun cuma sedikit,” sahutku ketika beberapa pengurus
meluangkan waktu mendatangiku dan mereka menanyakan kondisi kesehatanku.
Pada tengah malam, rasanya hanya sekejap bisa
rehat. Ternyata kami disiapkan untuk berangkat lagi. Suasananya sungguh terasa
heboh, kisruh, dan luar biasa crowded.
“Kalau tidak lebih awal jalan, khawatir lalu
lintasnya terlalu padat dan kita terhambat sampai di Arafah. Targetnya kita
bisa shalat Subuh di tenda Arafah,” terang seorang muthawif menyikapi
suara-suara protes.
Di tengah cuaca yang sangat dingin serasa
menyengat pori-pori kulit, kami bergegas kembali menuju kendaraan. Meskipun
bajuku sudah dirangkap sampai tiga-empat, tetap saja masih terasa dingin.
Tambahan anginnya lumayan kencang, meskipun bukan puting beliung.
Cuaca di kawasan Mina tidak bisa diprediksi, awalnya cerah dan panas mendadak banjir bandang datang. Air bah pun tanpa ampun melumat seluruh kawasan tenda, bekas mabit sebagian jamaah Indonesia.
Cuaca di kawasan Mina tidak bisa diprediksi, awalnya cerah dan panas mendadak banjir bandang datang. Air bah pun tanpa ampun melumat seluruh kawasan tenda, bekas mabit sebagian jamaah Indonesia.
Beruntung tidak harus menanti lama, kedua bis
pun muncul. Serta merta kami bergegas menaikinya. Kusadari batukku dan rasa
gatal di tenggorokan semakin meningkat dan mulai serasa menyiksa pula.
Kepala berdenyaran, telinga berdenging tak keruan, ditambah agak demam, air mata bercucuran nyaris tanpa henti. Entah air mata apa pula ini. Walaupun telah menelan obat batuk pemberian dokter Erry sepanjang perjalanan menuju Arafah, batukku kian gencar saja.
Kepala berdenyaran, telinga berdenging tak keruan, ditambah agak demam, air mata bercucuran nyaris tanpa henti. Entah air mata apa pula ini. Walaupun telah menelan obat batuk pemberian dokter Erry sepanjang perjalanan menuju Arafah, batukku kian gencar saja.
Suasana lalu lintas tengah malam itu ternyata
sungguh padat. Kendaraan berbagai jenis campur-baur dengan orang-orang yang
berjalan kaki. Manusia entah kaya atau miskin, semuanya saja sudah tak peduli
bagaimana pun caranya mereka lebih suka bermalam di kawasan antara Mina dan
Arafah.
“Bagaimana kita mengambil batu-batuannya,
Ustaz?” tanyaku kepadamuthawif Fauzi saat teringat tentang
Muzdalifah.
“Tenang sajalah, Bu Pipiet. Kita sudah
menyiapkannya,” sahutnya meyakinkan.
Aku belum mengerti, lalu kutanya kembali,
“Maksudmu, kalian akan mengambilkannya untuk jamaah. Begitukah Ustaz?” Fauzi
hanya mengangguk sambil tersenyum.
Dini hari kami tiba di kawasan Arafah.
Tenda-tenda telah didirikan dengan berbagai panji dan bendera travel dari
Indonesia. Rombongan kami memiliki tenda yang dikhususkan untuk wukuf dan
sebuah mushola yang nyaman dengan penyejuk ruangannya.
Akhirnya, banyak juga jamaah dari travel lain
yang ikut bergabung mengikuti program wukufnya rombongan kami, di bawah
pimpinan Ustaz Satori.
“Subhanallah, tendanya indah sekali, yang paling
depan itu, ya,” komentarku saat melihat tenda sebuah travel Indonesia
yang tarifnya termahal.
Kutahu hal ini ketika bertemu dengan salah
seorang jamaahnya, seorang ibu muda di Masjidil Haram. Ia mengaku berhaji
bersama suami dan dua orang anaknya. “Berapa?” tanyaku ingin tahu.
Jamaah travel yang terkenal
sering membawa para artis, seleb, dan elite politik itu menjawab dengan
ringannya, “Hanya 110 juta saja kok, Bu.”
“Apa? Berempat totalnya jadi 440 juta, ya?”
seruku tertahan. Ia mengangguk mantap.
Dengan naifnya aku malah bilang lagi,
“Maaf yah, Bu. Kira-kira sebanyak apa tuh uang hampir setengah
milyar begitu?” Pastinya, aku tampak bloon banget.
“Kalau ditambah lain-lainnya buat persiapanwalimatus safar dan oleh-oleh, semua lebih dari 900 juta, Bu,” tukasnya.
“Kalau ditambah lain-lainnya buat persiapanwalimatus safar dan oleh-oleh, semua lebih dari 900 juta, Bu,” tukasnya.
Mataku niscaya melotot hebat. Mulutku membentuk,
“Oooo!” Panjang sekali. Kemudian kulanjutkan, “Begitu yah, hampir satu
M! Bisa buat sekolah anak miskin segitu mah, Bu.”
“Ah, Ibu ini ada-ada saja!” sahutnya sambil
tertawa renyah. “Masing-masing kan sudah ditetapkan rezekinya oleh
Sang Khalik.”
Nah, siapa bilang bangsa kita miskin? Itu sungguh tidak benar.
Setidaknya, bagi para jamaah ONH Plus, kecuali diriku ini yang diberangkatkan
gratis, tentunya.
Tenda untuk jamaah kami pun bagus dan nyaman di
areal Arafah ini. Beberapa saat kami bisa rehat, melempangkan punggung. Tapi, banyak
juga yang langsung bergelimpangan tidur di kasur busanya masing-masing. Baru
saja kurebahkan tubuhku, tiba-tiba kusadari bahwa aku tak mampu bersuara lagi.
Beberapa kali aku berusaha keras memperdengarkan suaraku, tapi tidak bisa!
Bahkan, aku sampai sengaja berteriak-teriak hingga keringat membasahi sekujur
tubuhku.
Lenyap, benar-benar suaraku menghilang, ya Rabb?
Beberapa jenak aku pun hanya bisa bengong, tak
tahu apa yang harus kulakukan. Dengan tatapan hampa kulayangkan mata ke deretan
para jamaah. Mereka sedang tertidur lelap. Aku merasa sangat sedih sendirian di
Arafah dan tanpa suara.
Seketika berbagai gambaran menakutkan
bermunculan di benakku. Dalam sepuluh tahun terakhir, selain menjadi penulis
lepas aku pun sering diundang untuk workshop dan seminar
kepenulisan. Tanpa suara aku takkan pernah bisa menjadi pembicara lagi,
menularkan virus menulis ke seantero negeri. Waduh, ini sungguh gawat!
Aku lalu bangkit dengan rasa pedih tak teperi,
terhuyung-huyung kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Ya, aku harus segera
mengadukan ikhwalku ini langsung kepada Sang Pemilik Suara.
Suasana di kamar
mandi masih sepi, tak ada orang selainku yang akan mengambil air wudhu dengan
sangat khidmat. Meleleh air mata penyesalan dan rasa bersalah atas dosa di masa
silam. Segala khilaf melembayang di tampuk mataku.
Aku kembali ke tenda, mendirikan shalat taubat,
dilanjutkan dengan tahajud, dan berzikir secara terus-menerus. Sehingga, kurasa
ada semacam aliran hangat ke dalam dadaku menyemburat terus ke leher. Aku terus
tertunduk dalam bisu yang suwung.
Ketika seorang jamaah di sebelah menanyakan jam, seketika mulutku terbuka untuk menyahut. Suaraku muncul, meskipun sangat parau dan niscaya terdengar buruk sekali. Tak mengapa, yang penting suaraku telah kembali.
Ketika seorang jamaah di sebelah menanyakan jam, seketika mulutku terbuka untuk menyahut. Suaraku muncul, meskipun sangat parau dan niscaya terdengar buruk sekali. Tak mengapa, yang penting suaraku telah kembali.
Alhamdulillah, ya Rabb, sungguh
Engkau Maha Pengasih! Aku berlari kembali ke kamar mandi. Kali ini untuk buang
air kecil. Tak disangka, begitu keluar dari areal kamar mandi, ndilalah,
(lagi) aku nyasar. Beberapa saat aku hanya mondar-mandir, bolak-balik mencari
tenda Cordova. Otakku kembali nge-blank, tak tahu peta dan arah, ampyuuun!
“Teteh, kulihat dari tadi bolak-balik saja di
situ, lagi ngapain sendirian?” Mas Ton, suami dinda Ennike, tiba-tiba
menghampiriku.
“Iya nih, Mas Ton. Pssst, jangan
bilang-bilang, aku ini sebetulnya lagi tersasar,” jawabku dengan suara yang
masih timbul tenggelam, perpaduan antara sakit tenggorokan dan kecemasan tak
bisa kembali ke rombongan.
“Ya Allah, Teteh aya-aya wae atuh!
Ayo kutunjukkan jalannya!” Mas Ton menahan tawanya. Ternyata jalan itu pula
yang sejak tadi ada dua-tiga kalinya kutempuh, bolak-balik tak keruan. Kulihat
panji-panji dan terutama bangunan mushalanya yang indah itu.
“Jangan bilang-bilang, yah. Malu ah!” pesanku
kepada bapak dua orang anak itu dengan nada berseloroh. Pada kenyataannya,
mulutku sendirilah yang menggelontorkan soal sasar-menyasar ini kepada beberapa
sahabat jamaah. (*)
Saya ingin menyampaikan kepada seluruh TKI yang bekerja di negeri orang saya ibu hermawati seorang TKI DI MALAYSIA pengen pulang ke indo tapi gak ada ongkos sempat saya putus asah apalagi dengan keadaan susah gaji suami itupun buat makan sedangkan hutang banyak kebetulan suami saya buka-buka internet mendapatkan nomor KI KANJENG DEMANG katanya bisa bantu orang melunasi hutang melalui jalan TOGEL dengan keadaan susah jadi saya coba hubungi KI KANJENG DEMANG dan minta angka bocoran MALAYSIA angka yang di berikan 4D TOTO ternyata betul-betul tembus 100% bagi saudarah-saudara di indo mau di luar negeri apabila punya masalah hutang sudah lama belum lunas jangan putus asah beliau bisa membantu meringankan masalah anda hubungi KI KANJENG DEMANG di nomor (-081_234_666_039-) ini asli bukan rekayasa atau silahkan buktikan sendiri,ATAU KLIK DISINI
BalasHapusPosting Komentar