Mengejar Pelangi Tri Handayani: Kisah Keajaiban Penyintas Kanker Nasofar


 



November, 2014
Bertemu dengan Aminah Mustari setelah lama tak bersua. Ia cerita tentang seorang daiyah Tri Handayani. Ia pun menyodorkan beberapa lembar print-out agar segera bisa kubaca.
“Subhanallah! Pejuang kanker yang luar biasa tangguh,” komentarku saat membaca sekilas catatan medisnya.

“Maukah Teteh menuliskannya sebagai buku?” tanyanya tiba-tiba.
“Seperti apa?” balik aku bertanya.
“Seperti buku-buku karya Teteh yang berdasarkan kisah nyata.”
“Iya, ini maunya berupa apa? Memoar atau novel inspirasi?”

Aminah Mustari tertawa dan menatapku.”Ada saja si Teteh ini istilahnya. Coba jelaskan apa bedanya memoar dan novel inspirasi?”

Aku pun mesem dengan istilah yang kubuat ini. Lagipula, jika dinalar, aku ini apalah selain tukang menulis? Muslimah lembut dengan senyum manis yang sedang santap siang di depanku, selain editor handalan penerbit Nasional, penulis buku anak peraih Islamic Book Fair Award pun sarjana bahasa alumni Universitas Indonesia.

“Jangan begitulah, Teteh, kan sudah ratusan karyamu. Jadi maunya dibikin seperti apa berdasarkan catatannya ini?” burunya penasaran.
“Ya, pertama karena mbak Tri ini pasien sepertiku, itu Teteh tertarik,” ujarku mulai merasa senasib, seorang perempuan yang berjuang mempertahankan nyawa demi anak-anak.

Tri Handayani, demikian nama lengkapmya, awalnya seorang atlit karateka volly serta renang. Masa remaja yang tangguh, ceria, dan sangat didukung oleh keluarga. Terutama ayahnya yang disebutnya semacam Obor Kehidupan. Tak bisa dibayangkan, bagaimana hancur hatinya tatkala dokter memvonisnya; kanker Nasofaring. Sedang ayahnya belum lama dipanggil Sang Pencipta.

Aku ingin melakukan pendekatan secara pribadi, agar bisa menangkap ruhnya dari naskah yang akan kami garap ini. Namun, disebabkan jadwal kami, aku dan Tri agak susah dicari temu, akhirnya hanya sekali bisa temu muka langsung. Selanjutnya kami memanfaatkan Whats’App untuk berkomunikasi secara rutin.

Dari Cibubur menuju rumahnya di kawasan Kranji, Bekasi, lumayan jauh dan sempat nyasar, dua kali melewati jalan Banteng. Akhirnya kami minta dijemput di lahan proyek perumahan.

Sosok itu, ustadah yang memegang 14 majelis taklim ibu-ibu, dibonceng motor oleh keponakannya. Jilbabnya yang lebar berkibar-kibar manis, senyumnya mengembang ramah. Sekilas ia tak terkesan sebagai pasien yang pernah dinyatakan in-coma, menjalani operasi tujuh kali, ratusan kali penyinaran dan kemoterapi.

Sosok mantan atlit, pemegang sabuk hitam karate itu tersenyum ramah begitu mengenali keberadaanku. Kami berpelukan layaknya sahabat yang telah lama tidak jumpa.

Wawancara pun dilakukan di kediamannya di gang sempit di antara rumah yang berdempetan. Beberapa langkah dari rumahnya ada setelempap lahan, diakuinya sudut ini akan penuh dengan motor para karyawan, ibu-ibu yang mengaji rutin di bawah bimbingannya.

Suami yang baik hati, setia serta senantiasa menyemangati sedang tidak berada di rumah. Ia alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Yogyakarta. “Aku memiliki suami yang mencintaiku tulus dan selalu mendukung dakwahku. Ke mana pun aku mengajar dia antar dengan motor. Menungguiku meski harus berjam-jam. Dia selalu memberi motivasi kepadaku, memberi masukan bagi setiap permasalahan dakwah yang aku hadapi,” papar Tri Handayani.

Mendengar langsung sebagian peristiwa yang telah dilakoninya, setelah membaca seluruh catatannya, ada sensasi berbeda yang kutangkap. Aku bisa merasakan bagaimana hari-hari yang penuh rasa sakit; penyinaran, kemoterapi, injeksi, opname berbulan-bulan, sampai operasi berkali-kali.

Aku pernah berada di posisi serupa, divonis dokter tak ada harapan hidup. Kemudian keajaiban itu datang; bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Bedanya aku mengalaminya sejak kecil, pasien seumur hidup. Tidak bisa sekolah tinggi, secara formal sampai kelas dua SMA, ijazah yang kumiliki pun hanya setingkat SMP.

Lain halnya Tri Handayani, mulai sakit setelah kuliah hingga saat ini, meski tampak sehat terkadang kumat, sakit kepala hebat, mimisan dan muntah darah. Di tengah serbuan penyakit kanker itulah, Tri Handayani tetap sekolah hingga berhasil meraih ijazah S2.

Sungguh, inilah perempuan super tangguh!
Satu hal lagi yang mengikat kami berdua adalah visi dan misi; mencerdaskan ummat dengan syiar dakwah. Tri Handayani dengan syiar dakwah secara lisan. Aku sendiri dengan dakwah bil qolam.

Alhasil, klop!

“Apakah kisahku ini menarik untuk dibukukan, Teteh?” itulah pertanyaan yang memungkas percakapan kami.

Kujawab lugas.”Tentu saja, kisahmu sangat menginspirasi, Dek. Bukan saja untuk kaum kita perempuan, melainkan juga untuk ummat. Terutama bagi mereka yang sedang mengalami penyakit mematikan, bisa membuat terpuruk ke dalam keputusasaan. Membaca kisahmu akan menginspirasi, menyemangati dan mencerahkan mereka.”

“Pernah aku menyampaikan keinginan menulis buku kepada seorang dokter. Dia bilang, lantas apa bagusnya?”

“Aduh, itu kan menurut kacamata seorang dokter. Lah Wong setiap saat ada saja pasien parah dan mati di tangannya,” tukasku mendadak sewot dengan tanggapan si dokter. 

Bukannya didukung, seperti dokterku di masa remaja dulu, ini malah mematahkan semangat pasien. Aneh!

“Begitu, ya Teteh,” ujarnya kembali bersemangat.
“Percayalah, Dek, banyak manfaatnya jika kita rekam jejak. Lantas menyebarkannya kepada sesama pasien,” pungkasku menyemangatinya. Ia menganguk dan wajahnya semakin berseri dengan sepasang mata berbinar indah.

“Bisa berapa lama Teteh menggarapnya?” Aminah Mustari menanyaiku, saat kami pulang.
“Beri waktu sekitar enam pekan, ya Dek, insya Allah akan teteh tuntaskan.”

Hari demi hari aku menuliskannya, adakalanya aku harus tertegun lama dan merasakan kesedihan luar biasa. Perjuangan Tri Handayani dalam melawan kanker, menjalani oeprasi demi operasi dalam keterbatasan dana, subhanallah!

Sosok bapak yang menyemangati serta ibu yang senantiasa ada saat dibutuhkan, sungguh mengingatkanku kepada orang tuaku yang telah tiada.

Satu kali, dinihari setelah sholat tahajud, kembali aku duduk di depan laptop. Mendadak aku ingin sekali menangis, bab terakhir yang kugarap adalah bagian Tri bersama ibunya desak-desakan di kosan di antara para pasien kanker yang berguguran satu demi satu: Menyerah!

Aku pun pernah mengalami hal serupa, hanya tidak di kosan melainkan di sebuah rumah singgah di kawasan kumuh belakang RSCM. Tidak ada lagi emakku, tetapi didampingi seorang anak perempuan. Jadi kebalikan dari Tri, aku bisa mengandalkan anakku di kala keadaan darurat. Butet sampai tidak lulus satu mata kuliah demi menemaniku di rumah sakit, menjelang operasi pengangkatan kandung empedu dan limpa.

Aku menangis, tentu saja, mengingat dua kali menjelang melahirkan tim dokter mengajukan pilihan; aborsi atau kehilangan nyawa. Ya Allah, terima kasih, Engkau masih memberiku kekuatan untuk berjuang mempertahankan janinku. Sehingga memiliki dua anak yang bisa diandalkan dan dibanggakan.

Maka, aku pun menuliskannya terus sambil melanglang Negeri Jiran, memenuhi undangan anak-anak BMI Malaysia. Maklum, aku digelari sebagai emaknya kaum BMI. Mereka membutuhkan keberadaanku untuk meneror agar menjadi penulis, mengikuti jejakku, memperkuat barisan penulis Indonesia.

Akhirnya, inilah jadinya buku yang berdasar kisah nyata seorang ustazah, guru mengaji dari Kranji, Bekasi. Aku memilih bentuk sebuah novel inspirasi, karena jika memoar sebaiknya ditulis oleh penulisnya pribadi.

Tri Handayani memberikan catatan, aku mengembangkannya dengan dialog-dialog, beberapa tokoh fiktif dan penglataran agar terasa hidup. Namun, aku tidak mengubah esensi makna keseluruhan kisahnya. Semoga buku Mengejar Pelangi ini bermanfaat dan mencerahkan untuk ummat.

Salam Perjuangan

Pipiet Senja

2 Komentar

  1. ini kesimpulan dari novel mengejar pelangi / proses pembuatan novel mengejar pelangi ?

    #TERIMAKASIH

    BalasHapus
  2. novelnya bagus, sangat menyentuh!! :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama