Popong Djundjunan: Potret Ketangguhan, Kemandirian dan Kesantunan Perempuan Sunda

Foto:detik.com
           
Mengiraku Masih Anak-Anak
Beberapa pekan lalu jumpa dengan Ceu Popong, demikian kami memanggilnya, pada pertemuan Patrem; paguyuban sastrawati Sunda yang diselenggarakan di Garut. Sebagai orang Sunda, tentu saja saya sudah mengenal namanya sejak lama. Bahkan sejak kecil, nama Ceu Popong ini tidak asing lagi, sebab sering diceritakan oleh mendiang Emak.

“Popong itu putrinya Pak Samya, Kepsek SMP dua Regol. Waktu Emak di SKP, regu volina Popong suka datang dan tandang di sekolah. Hebat, menang terus,” tutur Emak jika mengenang masa-masa sekolahnya.

Beberapa kali pula pernah jumpa Ceu Popong, sama di acara kesenian dan kebudayaan di Bandung. Hanya kami tak pernah ada kesempatan untuk berbincang, sekadar bersalaman, diperkenalkan oleh panitia.





Pada panglawungan kumpul ngariung dengan Patrem inilah, akhirnya saya punya kesempatan untuk mengenal lebih dekat. Ceu Popong turun dari kendaraan bersama para senior sastrawati Sunda, siang itu di pekarangan rumah cinta Mien Ardiwinata Kusdiman, Garut.

Saya menghampiri dan menyalaminya sambil nikukur, istilah Sunda untuk memperkenalkan diri.”Punten, Ibu, abdi Pipiet Senja.” Agak kurang enak jika menyebutnya Ceuceu, mengingat usianya seangkatan emak saya.

Sontak, dia menyambut dan memeluk saya, kemudian menepuk-nepuk bahu saya sambil berkomentar dengan logatnya yang khas nyunda pisan:”Oh, ieu nya Pipiet Senja teh. Ari panyana budak keneh….” Begitu akrab, hangat sambil terus berceloteh dengan riangnya, gepyak pisan. Sungguh, itulah sambutan terhangat, terakrab sekaligus menggelitik hati yang pernah saya terima dari tokoh gegeden, sosok elit politik kita.

Semua yang hadir adalah para sastrawati senior, hanya beberapa yang masih muda. Kulihat semua tertawa mendengar komentarnya tentang nama pena saya yang diulang-ulang; sugan tea budak keneh nya Pipiet Senja teh, ari sihoreng simanahoreng…. Kirain masih anak kecil ya Pipiet Senja itu, eh, ternyata-ternyata….

Tos tilu pun incu mah, Ceu Popong,” akhirnya saya menyamakan panggilan akrab yang sudah populer di kalangan budayawan ini.

Pada panglawungan itulah  saya perhatikan dengan takjub, bagaimana gerak-geriknya, gaya bicaranya yang khas Sunda sejati. Celetukan-celetukannya yang humoris, riang, membuat suasana semarak, akrab dan genah nian. Ceu Popong ditanggap untuk memberi sambutan tentang organisasi sastrawati Patrem. 

Maka meluncurlah perjuangan, sukaduka bahkan anekdot tentang sastrawati Patrem zaman baheula dan wacananya ke depan.

Sekilas ia pun berbagi pengetahuannya, pengalamannya sebagai anggota Dewan kepada kami. Bagaimana ia bersama rekan seperjuangan menggodok berbagai  UU, antara lain UU Pilkada yang menghebohkan itu.






Memenuhi Undangan Ceu Popong
Sepulang dari Garut, pikiran saya terus dipenuhi dengan sosok sepuh keibuan yang humoris ini. Kiprahnya, perjuangannya sebagai budayawan dan anggota Dewan patut direkam dalam wujud buku. Mulailah rajin menghubunginya melalui pesan singkat, SMS. Ternyata disambut positif, sampai beberapa hari kemudian saya diundang ke ruang kerjanya di Gedung Nusantara 2, Senayan.

Siang itu, Ceu Popong mengenakan kain kebaya pulas oranye, bersanggul dan selop.. Memang itulah agaknya busana yang dikenakan sehari-hari, khas busana angkatan ibu kita. Ditemui di ruang kerjanya, ia baru saja usai menghadiri sidang paripurna. Ini hari-hari terakhir masa jabatannya periode 2009-2014.

“Nanti kalau sudah pelantikan, harus pindah dari sini. Semua berkas yang menumpuk ini harus diangkut,” jelasnya menunjuk tumpukan berkas kerja di sudut ruangan. “Sepertinya kita memilih tetap di sini sajalah. Tidak harus mengeluarkan enerji, dana, dan lain sebagainya. Cape ongkoh,” lanjutnya pula sambil tegur sapa dengan dua orang stafnya, diseling menandatangani berkas yang disodorkan di meja kerjanya.

Makan Siang Sederhana
Ceu Popong mengajak saya ke kantin untuk makan siang. Ia terbiasa puasa Daud, hari ini sedang kurang enak badan jadi tidak shaum. Saya agak heran, mengapa ia harus membawa serta dompet mungilnya, dalam asumsiku untuk anggota Dewan jika ingin makan sudah tersedia begitu saja.

Ternyata Ceu Popong harus pergi ke kantin di lantai bawah, makan bersama tamu dengan menu sederhana. Ia memilih sop, tumisan aneka sayur dan lalap sambal tomat. Minumannya selain air putih, pesan es cincau mutiara, sempat ditawarkan kepadaku, tetapi  saya menolak mengingat kadar gula agak tinggi.

“Ceu Popong mah da alhamdulillah teu geringan iwal ti salesma. Tah, mun ceuk jelema mah, nya, ayeuna keur flu ieu teh,” celotehnya dalam nada riang gembira, mengingatkanku kepada Emak yang telah tiada. Meskipun Emak sedang sakit, biasanya tetap saja ingin tampak sehat wal afiat, nyaris tak pernah mengeluh.

Melihat penampilannya, wajahnya yang segar awet muda, Ceu Popong memang tersirat sehat wal afiat. Dalam usia 76, aktivitasnya luar biasa padat, selain sebagai anggota Dewan, ia pun memegang jabatan sebagai ketua, penasehat, pembina dari berbagai organisasi sosial, pendidikan, kesehatan, kesenian, dan entah apa lagi.

Kisah-Kasih Istri Prajurit
Sambil makan, Ceu Popong berkenan menjawab pertanyaanku seputar kebersamaan dengan suaminya, Otje Djundjunan. Mendiang ayah saya sering cerita tentang komandannya, Otje Djundjunan, sesama prajurit Batalyon 11 April Siliwangi, Jawa Barat.

Pernah menjabat Walikota Bandung, Otje Djundjunan yang telah berjuang bersama pasukan Siliwangi zaman Revolusi, meninggal karena serangan jantung usai menghadiri upacara ulang tahun 11 April pada tahun 1986.

“Ada kesepakatan dengan Bapak,” ujarnya mengenang masa-masa sebagai istri prajurit.”Kami gantian setahun sekali menjadi pimpinan dalam rumah tangga. Umpamanya, tahun ini Bapak yang mengurus berbagai hal kerumahtanggaan. Mulai dari bayar listrik, telepon, pajak mobil, urus SIM, gaji pembantu, bayar sekolah sampai ambil raport anak-anak. Tahun berikutnya bagian Ceu Popong.”

“Mengapa begitu, Ceu Popong?”
“Satu hari Papi bilang, kita tidak tahu umur itu kan milik Gusti Allah. Tetapi seandainya ajal itu datang, Papi lebih pilih yang pergi mendahuluimu. Karena dirimu perempuan tangguh, tidak cengeng. Nah, kalau dibiasakan mengurus semuanya itu, kelak akan menjadi biasa. Kan alah bisa karena biasa.”

Ketika suratan takdir memisahkan pasustri bahagia dan harmonis ini, Ceu Popong memang tidak lantas berkubang dalam dukacita perkabungan, apalagi mengalami kebingungan berlama-lama. Sebab sudah terbiasa mandiri dan mampu mengatur semua urusan rumah tangga.

“Rasanya Bapak masih ada saja. Ceu Popong melaksanakan semua tugas itu seakan-akan sedang giliran,” paparnya tersenyum ikhlas, keibuan.

Lima Periode Sebagai Anggota Dewan
Ceu Popong diamanahi oleh rakyat sebagai wakil dari fraksi Golkar, pildapil Jawa Barat. Era Orde Baru dua kali, rehat selama sepuluh tahun pasca reformasi, kemudian aktif kembali pada tahun 2009 hingga sekarang.

Pada Sidang Paripurna DPR beberapa hari yang lalu, sosok perempuan Sunda ini menjadi bintang. Sebagai anggota Dewan tertua, Ceu Popong diamanahi menjadi pimpinan sidang sementara. Gayanya yang tegas, berwibawa dengan logat Sunda yang khas, sontak menyedot perhatian; bukan saja semua anggota Dewan yang hadir melainkan juga berjuta mata pemirsa bangsa Indonesia yang mengikuti Sidang Paripurna yang ditayang melalui televisi.

Dinihari ini, tanpa mengharap balasan, mengingat ia sedang menjadi bintang dan sorotan berjuta rakyat Indonesia, saya SMS juga sbb:”Ceu Popong anu geulis tur solehat, damang?”

Ternyata selang kemudian mendapat balasannya, begini:”Aduh, Ceu Popong meuni GR disebat geulis tur solehat, hehe.”
"Reueus, Ceu Popong, kereen!"
"Ngawakilan urang Sumedang."

Subhanallah, ia memang sosok luar biasa. Di tengah kesibukannya yang super padat, masih berkenan meluangkan waktu membalas SMS dari seniman macam saya. Wilujeng, Ceu Popong, mangga diduakeun sing sehat salawasna, berjuang tak kenal lelah demi menunaikan amanah para pemilihmu. Bravo, Ceu Popong! (Jakarta, 3 Oktober 2014)

  



2 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama