Kelas Menulis: Pontren Darul Ulum Banyuanyar-Madura



 Acara Puncak Hari Baca Santri Putri Darul Ulum, Banyuanyar

Banyuanyar, September 2014

Kelas Menulis Pontren Putri
Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum.

Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung. Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun, melihat anak-anak banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.

Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.

Absensi Turun Naik
Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta  tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri Kyai Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.

“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.
“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.

Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja alias tidak lebih dari belasan peserta!
“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.

“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.







Serunya Lintas Alam Malam
Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.

“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.
“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.
“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.

Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.

Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.

“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.
Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!

“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.
“Tidak apa, ayo kita geser ke sebalah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul  segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.

Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Sebab hingga saat ini pun saya penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.

Keakraban Mengharu Biru Hati
Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain. Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.

Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri Darul Ulum Banyuanyar.

Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelulum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.

“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma, hari kelima, artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.
Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak sejumlah kader penulis yang selanjutnya menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.

Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing. Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan. (Pipiet Senja, Madura, September 2014)





0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama