Ular Panjang di Rumah Sakit: Mana Senyum Ramahmu, Sista?




Cibubur, April  2013
Begitu usai sholat subuh aku sudah berkemas berangkat ke rumah sakit. Ini memang tidak biasanya, terlalu pagi, demi tiga jadwal yang sudah kurancang sejak kemarin.

Pertama ke laboratorium, kedua buat janji dengan dokter di Hematologi dan Endoktrin. Kemudian mau mampir ke komunitasku yang unik yakni; anak-anak thaller alias kumpulan pasien thallasemia.

Ternyata taksi yang kupesan datang terlambat satu jam. Jadi kami berangkat dari Cibubur sudah pukul enam lewat. Maka, sudah bisa diprediksi, terjebak macet mulai dari simpang Cikeas sampai arah keluar tol Rawamangun.

“Loh, kok gak keluar Rawamangun, Bang?” sentakku kaget, begitu kusadari taksi terus saja meluncur lurus.
“Iya, maaf, maaf, Bu. Tadi kita ambil terlalu kanan, mau belok ada polisi,” sahut sopir taksi yang masih muda itu.

Mungkin, kalau penumpang lain pada umumnya akan marah, bahkan boleh jadi minta diturunkan lantas melaporkan sopir taksi ke Call Centre-nya. Alamak!

“Yawis, lanjutkan saja, yang penting sampai dengan selamat,” gumamku sambil mengubah posisi duduk, lebih santai sajalah.

Lah iyalah, sudah macet-macetan dari ujung ke ujung, malah keliru ambil jalan pula.

Kulirik jam di hapeku, sudah pukul sembilan, mau bagaimana lagi? Paling sampai di laboratorium lewat pukul sepuluh. Benar saja, di loket sudah hampir jam sepuluh, tapi sudah lowong, sehingga aku tak perlu berjubelan antri.

Giliran di laborat yang antriannya enaknya harus dilagukan, ular panjang tiada terkira, tralala!

Malangnya, warga Jakarta, ops, ada juga pasien dari Lampung, Palembang, Bali dan Kendari. Jadi, di rumah sakit satu ini pasiennya sebangsa dan setanah air. Kebanyakan tak kenal atau berlagak tak tahu urusan antri-mengantri. Seenaknya main sela, main serobot sakarepe dewek saja.

“Weeei, siapa itu, Pak, antriiii!” teriak bapak di belakangku dengan suaranya yang lantang dan geram.

”Iya tuh! Enak saja sudah di depan. Kita semua dari tadi antri ini, Pak, antriiii!” teriak lainnya, entah siapa tidak kutengok sosoknya.

Lelaki si penyerobot itu tertegun, merandek dan menoleh ke arah kami sebentar. Sepertinya ragu, mau kembali ke belakang antriannya lebih dari 30-an. Tapi kalau dilanjutkan, semua mata mengarah kepada dirinya seakan hendak menerkam saja.

“Antri, Pak, tahu gak artinya mengantri? Biasakan budaya mengantri!” tuntut si suara lantang dengan kelantangannya yang lebih ditinggikan lagi volumenya.

“Iya, maaf, maaf, gak tahu,” katanya akhirnya mengalah, bergeser dan kembali melangkah menuju bagian belakang.

“Huuuuuu!” Aduuuh, masih juga disoraki, iseng amat!
“Kalian ini kenapa sih, orang sudah minta maaf juga….”

Sepertinya mulai terjadi cekcok di belakangku, tepat, giliranku dan aku bisa meninggalkan barisan ular panjang itu tanpa harus mendengar percekcokan.

Itu baru antrian pemeriksaan kelengkapan persaratan surat-suratnya, lanjut ke antrian loket sesuai tujuan pemeriksaan serta jenis pembayaran atau tanggungan asuransi. Kebagian nomer 82, ternyata harus menunggu lebih dari 3 (baca;tiga) jam, Saudara!

“Masih puasa?” Tanya petugas yang akan mengambil sampel darahku.
“Masih.”
“Makan terakhirnya jam berapa?”

Nah, aku ingat sekali pertanyaan menjebak begini. Kalau kukatakan lebih dari 12 jam, maka pengambilan darah batal, harus diulang esok hari. Bayangkan saja, setelah mengantri tiga jam harus batal, gara-gara kelamaan puasanya. Pengalaman menyebalkan sekali!

Maka, kukatakan saja tebak-tebak manggis,”Ya, sekitar tengah malam, saya makan apel dan minum yang terakhir.”

Petugas tak banyak cakap segera mengambil darah untuk pemeriksaan sederetan lengkap. Maklum, ini check-up per tiga bulan sekali untuk pasien kelainan darah bawaan.

“Sekarang makan dulu, ya, nanti jam dua balik lagi ke sini untuk pengambilan darah gulanya yang kedua,” titah petugas perempuan berkerudung itu.

Ia sempat mengomel-omel dan menyuruhku keluar. Hanya karena aku masuk sebelum dipanggil, sekadar ingin tahu apakah formulirku ada di antara tumpukan formulir di tangan petugas rekannya.

“Keluar dululah, keluar semuanya! Nanti juga dipanggil! Kalau semua mau duluan, ya, gak bisalah! Mau enaknya saja, dan, bla, bla, bla!” Serentetan kata-kata tak enak mrepet keluar dari mulutnya bagai mercon tahun baruan saja.

Andaikan banyak duit, sungguh tidak perlu harus mengalami buang waktu, buang enerji dan makan hati begini. Kita bisa cari laboratorium swasta, hanya tarifnya itu loh, bisa selangit!

Malangnya, aku termasuk tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan yang nyaman, manusiawi dan tulus dengan sapa ramah dan senyuman manis. 

Alhasil, seharian itu aku hanya bisa menyelesaikan urusan laborat. Jangankan mampir ke komunitas thaller, sekadar buat janji dengan dokter Hematologi pun tidak bisa! (Pipiet Senja, Cibubur 2013)

2 Komentar

  1. sabar dan ikhlas ya.. Sesungguhnya ALLAH beserta orang2 yang sabar. ^^

    BalasHapus
  2. pelayanan kesehatan hari ini memang sangat jauh dari yg dibutuhin masyarakat bu.... harus bisa dirubah tapi gimana ya??

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama