Putriku Nyaris Hilang di RSCM



 Ilustrasi: Putriku saat advokasi BMI Hong Kong

            
Anno 1992
Sejak bayi anak-anakku sudah terbiasa kubawa ke mana pun pergi. Terutama jika aku ke rumah sakit, dan bekerja yang tak lain adalah jualan naskah ke kantor-kantor redaksi.
Di masa Balita Haekal, kami sempat hidup terpisah dari sosok yang pantas disebut ayah. 

Bersama Haekal, kami berdua pernah mengalami masa-masa yang sangat nestapa. Tidak demikian halnya dengan putriku. Ia hampir tiap saat bisa jumpa dan bergaul dengan ayahnya.

Tiap tiga bulan sekali aku harus meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit, kontrol darah yang akan berujung dengan transfusi. Tiga bulan pertama, kudatangkan neneknya dari Cimahi, dan menjagai bayiku selama aku berurusan dengan rumah sakit. 

Demikian pula dua-tiga kali transfusi berikutnya, kalau bukan adikku tentu ibuku yang kudatangkan dari Cimahi. Sampai ayahku dipanggil Sang Pencipta beberapa bulan yang lalu.

“Sekarang sudah besar dia, bawa sajalah ke rumah sakit!” berkata suami saat Butet berumur dua tahun. “Kita jangan selalu merepotkan orang tua.”

“Yah, memang hanya itu yang bisa kulakukan,” sahutku seraya menatap Butet yang belum lepas menetek.

Lagipula, sejak ayahku meninggal, ibuku masih belum mau bepergian. Tapi adikku En di Holland, bulan depan akan mengirimkan tiket, demi mendatangkan ibu kami ke Negeri Kincir Angin. 

Kepergian Bapak yang mendadak, karena stroke itu, memang sangat berpengaruh pada ibuku. Dia terbiasa bergantung kepada suami, terutama dalam hal keuangan. Kini meskipun mendapatkan tunjangan pensiun, bagi ibuku tidaklah cukup. Karena masih harus membiayai kuliah si bungsu Mie.

“Biar Ekal gak masuk sekolah saja, ya Ma,” cetus Haekal saat melihat Butet dipersiapkan untuk menemaniku ke rumah sakit.

Dia pasti tahu persis bagaimana kondisi rumah sakit, tradisi antri-mengantri yang mengular panjang.

“Jangan!” sergah ayahnya keras. “Sebentar lagi kamu ujian, mau gak lulus apa?”
“Insya Allah lulus, ya Nak. Ekal kan rajin ngapalin dan berdoa, ya kan Nak?” hiburku sambil mengusap kepalanya, kulihat wajahnya mengelam mendengar hardikan ayahnya.

Memang aneh sekali, ayahnya tak pernah merasa bangga dengan prestasi-prestasi yang berhasil diperjuangkan anak itu. Setiap tahun juara umum, kecuali waktu kelas empat, itupun karena dicurangi gurunya. 

Sejak adiknya lahir, tekanan dan penyiksaan itu pun semakin sering dialami putraku.
Betapa aku sering dihantui perasaan bersalah, sebab tak mampu sepenuhnya melindunginya dari penyiksaan ayahnya. 

Biasanya Butet dengan naluri kanak-kanaknya akan menangis menjerit-jerit, hingga geger. dan lepaslah penyiksaan itu, setidaknya untuk sementara.

“Butet jangan jauh-jauh dari Mama, ya?” Demikian entah untuk ke berapa kalinya kubisikkan ke kuping putriku sepanjang perjalanan menuju RSCM. Kami melaluinya dengan tiga kali angkot dan sekali bemo.

“Tet gak auh, iyah, hmm, gak, auh-auh Mama, yah? Mama atit iyuuut, atiiit! Cian Mama, ciaaan,” sahut Butet masih balelol ngomongnya alias sulit dipahami, kecuali oleh ibunya.

Dia mengenakan baju kembang-kembang merah, sepatu merah dan sepasang kuciran rambut yang juga dipita warna merah. Dia sungguh menggemaskan, apalagi kalau sudah mengoceh sambil mengiming-iming buku dongeng favoritnya; Angsa si Buruk Rupa.

Dia bisa mengecoh orang-orang di sekitarnya dengan berlagak pandai membaca, kemudian ditambah dengan gerak-gerik badannya yang heboh bukan main.

“Sudah bisa baca, ya Bu?” tanya seorang ibu saat kami di bemo, terheran-heran memandangi kelakuan Butet.

“Eh, ini, belum sih, Bu, cuma seneng bolak-balik gambarnya.”
“Ceritanya dia mendongeng ‘kali, ya? Lucuuu!” ibu itu menjawil pipi Butet dengan gemas, sebelum turun dan kami berpisah di halte Salemba.

Sepagi itu suasana rumah sakit nasional sudah ramai. Orang-orang dari pelosok kota, bahkan banyak juga yang dari luar kota sudah berdatangan. Untuk ke sekian kalinya kubisikkan di telinga Butet; “Jangan jauh-jauh dari Mama, ya Nak. Nanti ada yang nyulik!”

Entah dipahami atau tidak, pokoknya naluri keibuanku mengisyaratkan harus demikian.
Aku berdiri di antara antrian di loket Askes lantai dua. Awalnya aku bersikukuh untuk menggendongnya. 

Tapi lama-kelamaan terasa berat dan menyakitkan, bagian limpaku yang bengkak tak bisa dibebani terlalu lama. Kuturunkan Butet bersamaan dengan giliranku maju ke depan loket. 

Tanganku masih menggenggam erat pergelangannya saat petugas menanyai berbagai hal; mana kartu Askes yang asli, rujukan Puskesmas, dan bla, bla!

Tanpa kusadari cekalanku terlepas, tapi masih kudengar celotehnya, jadi aku masih tenang dan berkeyakinan anakku tidak jauh-jauh. Mungkin sekitar sepuluh menit, usai sudah urusan disetujui dan distempel Askes. Maka kutengok ke kiri, ke kanan, depan dan belakang… Butet menghilang!

Dengan panik aku berlari ke sana ke mari sambil berseru-seru memanggil namanya. Kutanyai orang-orang di sekitarku, mereka malah menyalahkanku, mengapa membiarkan anak kecil lepas dari pengawasanku.

“Salahnya sendiri, yeeeh, masa anak kecil dibiarin lepas dari pengawasan kita?”
“Bisa-bisa sudah diangkut orang tuh!”
“Iya, diculik, dijadikan gembel!”

Semakin panik saja kucari-cari sosok kesayanganku itu. Kususuri sepanjang lorong di lantai dua, segala bayangan menakutkan seketika berseliweran di otakku.

Bagaimana kalau dia sampai hilang, diculik orang, dijual, ditukar beras? Bagaimana amuk bapaknya, dan terutama bagaimana tanggung jawabku sebagai seorang ibu?
Aduh, aku lebih baik mati daripada harus kehilangan putriku!

Kuturuni tangga dan menuju bagian informasi. Tak sabar mendengar berbagai pertayaan, bukan eksyennya. Akhirnya sambil bercucuran air mata kubalikkan badanku, kembali ke lantai dua.

Niscaya kelakuanku sudah bagaikan orang gila, kuteriakkan namanya tanpa malu-malu, kutanya semua orang yang melintas di hadapanku, semuanya saja tanpa terkecuali!

“Oh, anak perempuan kecil yang pake kunciran dua itu, ya?” kata seorang ibu yang kutemui dekat loket Askes.
“Iya, pake kunciran dua, benar itu! Di mana, Bu, di mana Ibu lihat dia?”
“Di sana dekat tangga, lagi main sendirian…”

Degggh!
Aku berlari terbanting-banting menuju tangga. Beggh, bahuku membentur tiang bersamaan suara teriakan: “Maaa… Maaa… Ciaaan, Mama atiiit!”
Itu dia suara putriku!

Kucermati sosok mungil itu digendong seorang pegawai rumah sakit. Senyumnya mengembang begitu melihatku, matanya berkaca-kaca. Ya Allah, terima kasih!

“Ini anakku, putriku, belahan jiwaku. Ya Allah, subhanallah walhamdulillahi Allahu Akbar! Bapak, maaf, berikan sama saya, ya Pak,” pintaku meracau, perpaduan cemas, takut dan rasa bersalah.

Pegawai itu tertawa dan menyerahkan Butet ke pangkuanku. “Iya, Bu, tadi lagi turun-naik tangga saja, sendirian, gelosoran begi8tu. Ditanya anak siapa, gak ngerti jawabannya. Saya ambil saja, takut nyasar ke mana-mana. Ini juga rencananya mau diberitakan di informasi,” tuturnya ramah.

Sampai lupa mengucapkan terima kasih, aku segera sibuk menciumi wajah putriku, mendekapnya erat-erat dalam dadaku.

“Gak ada yang mengantar, Bu?” tanyanya sebelum berpisah.
“Eh, ya, dia ini yang mengantar saya berobat, Pak.”
“Ibu ini ada-ada saja. Hati-hati, Bu, jangan sampai diculik orang. Banyak kejadian anak hilang loh…”

Beberapa saat lamanya kutenteramkan diri kami berdua. Butet menempel kuat-kuat di dadaku, menetek yang sesungguhnya tak ada air susunya lagi sejak lama. Dia hanya mengempeng.

Detik itu pun aku bersumpah dalam hati: “Dengar, Anakku, Cintaku, Butetku… Mama bersumpah atas asma Allah Sang Pengasih; Mama gak akan pernah membiarkanmu jauh-jauh lagi, sampai kamu mandiri!”

Di poliklinik Hematologi sepertinya semua orang sudah mengenalku, demikian pula anak-anakku. Keduanya harus melakoni menjadi pengantar ibu mereka, menunggui diriku sepanjang ditransfusi.

“Waaa, ini baru seru! Lucu sekali, ya! Kalau di poliklinik Thalassemia sana ibu-ibu mengantar anaknya. Di sini anak yang mengantar ibunya ditransfusi,” seloroh seorang dokter.

Sambil ditransfusi biasanya aku akan membacakan buku favoritnya. Entah mengapa Butet begitu senang dengan dongeng terbitan Gramedia itu. Anak angsa yang merasa buruk rupa, karena dibesarkan oleh seekor bebek, bentuknya berbeda dengan bebek-bebek lainnya.

Butet akan tertawa terkikih-kikih, setiap kali aku menirukan bunyi; kweeek, kweeek, kweeek; jueleeek!

Adakalanya kalau sudah bosan, Butet akan berjalan-jalan keliling ruangan transfusi. Mulutnya akan mengoceh riuh sambil mengiming-iming buku, berlagak menjadi tukang dongeng bagi para pasien di situ. 

Suster Bimbingan, sahabatku, acapkali kuizinkan membawanya keluar sebentar untuk membelikannya roti dan permen.

“Cian… iyut Mama atit, ciaaan, yah,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala jika aku hendak memangkunya, kemudian berlagak menuntun dan membimbingku berjalan.

Setelah keluyuran di rumah sakit, biasanya dua atau tiga hari berturut-turut, kami berdua akan tiba jua di rumah jika hari telah petang. Dalam keadaan sangat lelah, lusuh dan lapar.

2 Komentar

  1. Kisah itu adalah sejarah ya teh. sekarang Butet sedang peroses memberikan cucu buat teh pipit. klu cucu perempuan mungkin secantik bundanya. dan sebaliknya laki2 perkasa seperti Ayahnya. semoga selamat dan sehat

    BalasHapus
  2. Klo gak salah tulisan ini ada di buku Catatan Ibu & anak (yg kompilasi bunda sama zee bukan ya bun?)
    Tiap baca buku bunda itu suka nangis sendiri, terutama part zeezee, ada kemiripan kisah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama