Keguguran Itu Sungguh Luka, Cinta


 Ilustrasi: Serial Balita Muslim


Anno 1993
Setelah operasi pengangkatan kista di rahim, kuputuskan membebaskan diriku dari IUD yang memang sering bermasalah. Kalau bukan rasa nyeri di dinding rahim, tentu menstruasiku berlebihan, tak jarang sampai dua kali dalam sebulan.
Sebulan setelah terbebas dari kontrasepsi mendadak tanda-tanda kehamilan itu muncul. Ya, aku dinyatakan positif hamil!
Umurku 36 tahun saat itu, limpaku membengkak dengan penyakit bawaan yang mengharuskanku ditransfusi secara berkala. Ketika melahirkan dua anak sebelumnya, aku harus melalui perjuangan luar biasa yang nyaris membawaku ke tangan-tangan sang maut.
 “Menurut Dokter apa aku akan sanggup?” kesahku sambil memandangnya, harap-harap cemas.
Dokter wanita yang pernah dinas di klinik departemen suamiku itu balik memandangiku. Sorot mata cerdas yang telah kukenal sekitar empat tahun lalu. Sepanjang hamil anak kedua, si Butet, Dokter Laila menjadi konsulenku.
“Kita akan melakukan rawat gabung seperti dulu…”
Tapi sayang sekali, sejak hari itu sampai kandunganku berumur 20 minggu, kami tak pernah bertemu kembali. Kabarnya Dokter cantik itu mengambil spesialisasi di mancanegara. Jadi, aku harus menerima apa saja, dan bagaimana saja perlakuan para Dokter muda lainnya. Nyaris tak ada keakraban, hanya berlalu secara profesional dan kaku.
Minggu demi minggu terus berlalu. Seperti empat kehamilan sebelumnya (dua keguguran) aku menjalaninya nyaris sendirian, tak bisa mengandalkan suami yang memang berperangai acuh tak acuh terhadap istri.
Seharusnya aku ditransfusi secara rutin per dua minggu, demi mempertahankan takaran darah (HB) 10 persen gram. Namun, hal itu tak bisa kulakukan, banyak kesibukan yang menyita perhatianku. Tak punya pembantu, banting tulang sebagai ibu rumah tangga sekaligus mencari nafkah, dan terutama harus mengurus ibu mertua.
“Kalau bukan kita lantas siapa lagi? Bagaimana perasaanmu kalau sudah tua nanti, dan diperlakukan buruk oleh anak-menantu?” berkata suamiku dalam nada memojokkan, apabila aku mengeluh kelelahan.
Dari tiga anaknya hanya suamiku yang tinggal berdekatan dengan ibu mertua. Abang tertua sedang dinas di Jerman, adik bungsunya tinggal di kampung. Ibu mertuaku lebih suka menempati rumah abang iparku, sekitar satu kilometer dari tempat tinggalku. Makanannya setiap hari aku masakkan, dan diantarkan oleh Haekal pagi, siang dan petang.
Keputusan pisah rumah itu sendiri kuanggap bijak, daripada tinggal serumah, sangat rentan dengan keributan, mengingat sikap antipatinya terhadap menantu Sunda.
Ibu mertuaku 70-an, sering merasa sakit, segala macam dikeluhkan. Jadwal berobatnya sangat ketat; Senin ke klinik jantung, Selasa ke penyakit dalam, Rabu ke saraf, Kamis ke rematik, Jumat ke laboratorium. Bahkan tak jarang dalam satu hari berobat ke dua-tiga klinik sekaligus.
Biasanya hanya Sabtu dan Minggu, hari-hari tanpa aroma rumah sakit. Kalau ada hasilnya, tentu akan menyenangkan, dan tak sia-sia harus melakoni hari-hari yang sarat aroma obat-obatan. Kenyataannya sering membuatku gundah-gulana, nyaris putus asa.
“Bagaimana kalau diopname saja, ya Bou?” tawarku suatu hari, merasa sangat lelah, terutama karena tak bisa memerhatikan kesehatan diriku sendiri.
“Apa maksud kamu itu?”
“Kalau diopname kan Bou bisa dirawat dengan baik. Tidak harus capek bolak-balik ke rumah sakit tiap hari.”
“Hah! Kalau kamu tak mau mengurusi aku yang sudah tua dan penyakitan ini, pergilah sana!” sergahnya geram sekali, membuatku terperangah.
“Maaf, bukan maksudku begitu…,” kucoba menjernihkan masalah.
“Biarkan aku mati saja!” tukasnya pula sengit. “Percuma berobat terus, tak ada hasilnya itu. Kamu juga tak pernah ikhlas mengurusi aku! Sudah, biarkan aku matiii!” ceracaunya marah sekali, bercucuran airmata, memukuli dadanya, memelototiku dengan sorot mata penuh kebencian.
Ya Robb, ada yang runtuh di relung hatiku!
“Hari ini aku harus berobat dulu, Bou. Izinkan, ya, tolong,” gumamku memelas, meminta pengertiannya.
“Ya, sudah, aku bilang pergi sanaaa, pergi!”
Perasaan terpuruk, pedih dan tak berdaya membalun langkahku sepanjang hari itu. Tapi kukuatkan juga hatiku untuk pergi ke rumah sakit, memeriksakan kandungan. Dokter Indra terheran-heran, menatapku seolah melihat hantu di siang bolong.
“Kehamilan lima bulan baru tiga kali datang ke sini? Lihat, Hb-nya hanya lima persen gram. Ibu ini maunya bagaimana sih? Rawat gabung itu bukan begini caranya. Bukankah Ibu sudah pernah melakukannya dalam dua kehamilan sebelumnya?”
Sebelumnya aku sudah dari klinik Hematologi, Dokter memutuskan secepatnya harus ditransfusi.
“Ibu dirawat saja, ya,” ujar Dokter Indra selang kemudian.
Aku terdiam di bawah tatapan pasien lain dan gugatan para koas. Tak mungkin aku menyodorkan berbagai dalih; tak bisa berobat karena sibuk cari duit, urus rumah tangga, antar ibu mertua bolak-balik ke rumah sakit. Nonsens!
“Maaf, Dok, tak bisa. Aku harus pulang dulu,” kataku pelan memutuskan. Kulihat sekilas Dokter Indra, pengganti Dokter Laila itu, hanya geleng-geleng kepala.
Rasanya pedih hatiku setiap kali melihat ibu hamil didampingi suaminya. Diriku bagaikan terpuruk ke jurang yang tak berbatas dan tak bertepi. Semakin terpuruk lagi, ketika malam harinya, begitu pulang mengajar, suamiku langsung marah-marah. Dikatakannya bahwa aku sudah berdosa besar, menantu durhaka, tak mau mengurus mertua sakit, tak punya perasaan, egois.
“Kau ini memang pantas dibilang si Raja Tega!”
Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kondisiku. Mungkin tahu pun tidak, kalau hari itu istrinya pergi ke rumah sakit. Aku tahu, dia akan selalu menyalahkanku, apapun yang pernah kulakukan, kelihatannya tak ada gunanya membela diri. Aku hanya bisa berurai airmata, menangis diam-diam di atas perantian shalat, sampai anakku Haekal menghampiri. Aku buru-buru menyusut airmata.
“Mending Mama tetirah aja ke Cimahi, ya Ma, ya?” saran Haekal sambil memijiti kaki-kakiku yang membengkak. “Bawa aja si Butet, Ma, gak usah sekolah dulu deh.”
“Kasihan atuh, Bang, masa iya bolos melulu. Baru juga masuk,” sanggahku, kutatap kedua buah hatiku dengan mata membasah.
Aku tak ingin memerlihatkan kesedihan di depan anak-anak. Sekuat daya kutahan agar airmataku tak jatuh. Meski hati terasa tersayat sembilu.
“Butet gak apa-apa kok. Mau Butet antar lagi ke rumah sakit, ya Ma?”
Butet yang semula asyik membaca buku favoritnya, cepat-cepat menghampiri, ikut sibuk memijiti kakiku. Dia baru diterima di kelas Nol Besar. Karena sudah lancar membaca dan menulis dalam usia tiga tahun setengah.
Butet sering bolos, karena mengantarku ke rumah sakit. Lucu dan sangat mengharukan memang. Kalau aku ditransfusi, Butet akan berlagak sibuk menghibur, membacakan buku cerita, mengelus-elus tanganku, memijiti kakiku.
Dokter dan para perawat sering terheran-heran, mengira Butetlah pasien kelainan darah.”Soalnya di poli anak-anak sana, sekarang makin banyak saja anak-anak yang ditransfusi,” kata dokter Made.
“Di sini terbalik, Dok,” kata sahabatku suster Bimbingan.”Bukan anaknya yang sakit, tapi ibunya yang ditungguin anaknya.”
Ah, Cintaku!
Keduanya masih kecil, tapi bagiku sudah terasakan betul bagaimana kasih sayang mereka. Seandainya tak ada mereka, entahlah. Mungkin sejak lama aku sudah lewat. Buah hatiku itulah yang senantiasa mengalirkan semangat, sehingga aku mampu bertahan dan berjibaku untuk meraih ketegaran.
“Gimana, Ma, ke Cimahi ya? Ekal telepon Oma di wartel dulu, ya Ma? Minta Oma jemput Mama.”
“Jangan, Nak, kasihan Oma,” bantahku cepat. “Lagian Mama harus ditransfusi. Kalau di Bandung, kita harus bayar mahal, Nak.”
Di rumah sakit pemerintah di Bandung, Askes buat transfusi memang harus bayar lebih dulu, baru akan diganti sebagian beberapa bulan kemudian. Itupun tidak diganti dengan utuh, hanya 75 persen. Sumber pencarianku saat ini, mengandalkan honorarium cerita anak-anak. Kadang buku anak-anak karyaku dibeli juga oleh Inpres. Ya, dari situlah sebagian besar biaya berobatku tertutupi, termasuk keperluan pribadi lainnya.
Sementara suami, ayah anak-anakku yang dosen itu, sibuk membangun rumah kontrakan. Takkan sudi berbagi, karena selalu dikatakannya semuanya demi masa depan, demi masa depan. Entah masa depan siapa. Bukankah secara logika, tak ada masa depan tanpa pembangunan hari ini?
“Masih bisa tahan, Mama?” Haekal mulai menangis terisak-isak diikuti adiknya.
Aku tak menyahut, kugigit bibirku kuat-kuat agar tak menangis. Kurangkul keduanya erat-erat, dari bibirku kualirkan semangat, cerita-cerita yang menginspirasi, dan doa-doa yang kutemukan di benakku. Sehingga mereka tertidur bergeletakan di sebelah-menyebelahku.
Aku masih terus berusaha keras membendung lautan kepedihan yang setiap saat nyaris jebol, menghancur-leburkan seluruh benteng pertahanan yang sanggup kubangun. Kadang aku terisak perlahan sambil taktiktok menulis dengan si Denok, mesin ketik manual yang telah menemaniku dalam semesta kata sejak muda.
Manakala kelelahan dan kepedihan itu tak tertahankan lagi, biasanya aku segera mengambil air wudhu dan mendirikan shalat lail. Allah, Alah, hanya Allah, kusebut nama-Mu dalam lautan nestapaku.
Siang itu, aku baru memesan tempat untuk ibu mertua, yang bersikeras ingin diopname di RSUD Pasar Rebo. Sesungguhnya abang ipar dan istrinya sedang pulang ke Indonesia. Namun, ajaibnya, Namboru lebih suka diurusi oleh menantunya yang Sunda; suka dipelesetkannya secara sengaja sebagai si Sundal.
Aneh bin ajaib memang, betapa sering aku dibenci, dimarahi, dilecehkan dan disumpah-serapahi. Namun, tampaknya dia begitu tergantung kepadaku, terutama untuk urusan rumah sakit ini.
“Kamu lebih tahu banyak urusan rumah sakit daripada siapapun,” kilahnya.
Untuk menghemat aku harus menggunakan bis umum. Tubuhku yang kecil berperut buncit, terhimpit di antara para penumpang. Beberapa pelajar STM dengan pongah duduk dengan kaki diangkat, riuh-rendah bergosip dan merokok. Banyak penumpang lelaki muda dan kuat pun sama bersikap tak peduli, berlagak tertidur, sampai yang sungguhan mengorok.
Inilah warga kota Metropolitan!
Memasuki kawasan Lenteng Agung, para penumpang mulai lengang, tapi aku masih belum mendapatkan bangku. Sepanjang perjalanan kubalun senantisa dadaku dengan zikrullah.
Allah, Allah, Allah…
Sampai sekonyong-konyong; cekiiiiit!
Mobil mendadak direm sekuat-kuatnya.
“Allahu Akbar!” seruku tertahan.
Dari arah belakang tubuhku dalam sedetik oleng dan tersungkur, perutku menghantam sandaran bangku di deretan tengah. Beeegh!
Detik itupun ada yang bergemuruh dalam dadaku, menimbulkan rasa lemas tak teperi dari ujung-ujung kaki hingga ujung rambut. Bahkan ketika aku sudah menggeloso, tak satu pun penumpang yang berkenan mengulurkan tangannya.
Allah, inikah Jakarta dan ujian-Mu!
Sesampai di rumah, rasanya kepingin buang air kecil. Seeerrrr, serrrr!
Tampaklah warna memerah darah!
“Maaf, Bu, saya gak bisa bantu, lagi demam juga nih,” kata Mpok Onah, tetangga terdekatku saat kusambangi meminta bantuannya, menemaniku ke rumah sakit.
Rumahku terpencil dan jauh dari tetangga lain. Haekal sudah berusaha keras menghubungi Pak RT, Pak RW dan tokoh masyarakat sekitar rumah. Nihil!
Aku bisa memaklumi hal ini, mungkin sekali disebabkan kepala keluarganya yang tak pernah bergaul dengan para tetangga. Suami lebih banyak mengurung diri di kamarnya, sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
“Bang, cobalah pergi ke rumah Uwak,” pintaku kepada anakku Haekal.
“Maaf, Ma, tidak ada siapa-siapa, Mama,” lapor Haekal dengan cucuran keringat dan kecemasan mengental, sepulang dari rumah uwaknya.
“Memangnya ke mana mereka?”
“Kata tetangganya sih, Uwak ajak Ompung jalan-jalan.”
“Apa? Ompungmu kan sakit? Mau diopname besok?”
“Mama kayak gak tahu aja! Mama sih terlalu ngebela-belain. Gak inget kesehatan Mama sendiri,” sesal anak kelas tiga SMP itu.
“Pssst, diamlah, Nak. Kita shalat dan berdoa saja. Mari, Cinta, anak-anak Mama yang saleh dan salehah,” tukasku yang segera dituruti oleh kedua buah hatiku.
Suamiku baru muncul menjelang maghrib. Dia santai saja, ketika diberi tahu kemungkinan aku akan mengalami keguguran. Dia memang tidak mengharapkannya sejak awal. Kalau bisa dilahirkan terserah, tidak bisa pun terserah. Bila mengingat ketakpeduliannya, adakalanya semalaman airmataku terkuras.
Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang lemah ini mengadu.
“Sini, Ma, Ekal gendong saja, ya,” Haekal lagi-lagi menawari kemudahan. Tubuhnya mulai berbentuk, berperawakan sedang dan kekar. Dia rajin olah raga dan ikut taekwondo.
Haekal pasti paham betul kebiasaan ayahnya, kalau jalan bareng kami sering tertinggal jauh di belakang. Sosok tinggi besar itu akan melenggang gagah terpisah dari anak-anak dan istrinya. Seakan-akan dia tak suka kalau ada yang mengaitkan dirinya denganku dan anak-anak, entahlah.
Namun begitulah kenyataannya, entah berapa kali aku dan anakku, ketika mereka masih kugendong, nyaris tertabrak saking repotnya aku dengan beban bawaan. Menggendong anak, menenteng tas besar dan menjinjing mesin ketik, saat akan pulang kampung musim lebaran.
Biasanya bukan penghiburan yang kudapatkan bila aku nyaris celaka. makian, sumpah serapah dan kata-kata melukai akan berhamburan dari mulutnya. Demi Tuhan, langit dan bumi menjadi saksiku!
“Sering aku berpikir luar biasa kamu itu, ya, Pipiet! Hebat ‘kali kau!” tentu saja bukan pujian, melainkan ejekan dan kesinisan.
“Bisa-bisanya kamu sebodoh itu!”
“Bagaimana mungkin kamu menjadi seorang pengarang? Padahal begitu bodohnya kamu!”
Atau: “Dasar gobloook!”
Dan banyak lagi perkataan melecehkan yang hanya bisa kutelan dalam-dalam ke lubuk jiwaku. Biarlah segala kejahiman itu terpendam dan lebur di sana, pikirku.
“Sudahlah, naik becak saja ke depan. Sana, panggilkan becaknya!” perintah suami yang kurasai sangat lamban bertindak. Sehingga aku harus menunggu, menunggu, terus menunggu. Sementara darah yang keluar semakin banyak!
“Kenapa gak langsung ke Cipto saja?” protesku saat kami sampai di rumah sakit Bhakti Yudha, Sawangan.
“Terlalu repot! Kalau bisa di sini ngapain jauh-jauh pula?” kilahnya dengan segala kepongahan, sekaligus kikir dan sangat perhitungan.
Tentu dia tak sudi mengeluarkan banyak uang, demi nyawa istri dan anaknya sekalipun. Seperti sudah kuduga, mereka tak sanggup menanganiku karena pasien kronis kelainan darah. Dokter menyarankan untuk menyewa ambulans. Bisa berakibat fatal kalau terlalu banyak bergerak.
“Ambulans, berapa?” otakku langsung menghitung-hitung rupiah yang harus dikeluarkan.
Demi Tuhan, tak ada uang di tanganku lagi, karena belum sempat mengambil honor. Kulirik gelang 10 gram yang masih membelit pergelangan tanganku. Hanya tinggal benda ini yang berharga, semua perhiasanku telah terjual demi pembangunan rumah di awal kepindahan kami ke Depok dulu.
“Ini gelangku, tak mengapa kita jual saja,” kataku kepada suami yang masih termangu, memikirkan dana pengobatan yang tak bisa ditanggulangi Askes.
“Ah, sudahlah, itu nanti saja! Seharusnya kamu siapkan uang kalau memang mau ke rumah sakit,” ketusnya malah menyalahkanku.
“Kan uangku kemarin sudah habis buat ke rumah sakit juga.”
“Sudahlah! Kita naik angkot saja!” tukasnya kaku, tanpa ekspresi sama sekali.
Wajah perseginya di mataku telah semakin dingin, membeku. Entah ke mana larinya rasa cinta, iba. Oh, bodohnya aku! Tehntu saja tak pernah ada istilah cinta atau iba sekalipun di hatinya untuk diriku, ibu anak-anaknya ini!
“Naik angkot bagaimana, Pa? Kasihan dong Mama,” Haekal sempat mencoba protes keras, airmatanya mulai bercucuran, kentara sekali dia mencemaskan diriku.
“Jangan banyak omong! Anak kecil tahu apa!” sergahnya memelototi Haekal.
“Sudahlah, sudah, angkot ya angkot,” tukasku menengahi sebelum ada yang berubah pikiran.
Bagaimana kalau lelaki itu, ayah anak-anakku itu, tiba-tiba kumat dan meninggalkan kami begitu saja? Bulu romaku merinding hebat mengingat kekejian macam itu!
Entah berapa kali ganti angkutan, kami berempat, Butet pun ikut, menuju RSCM. Pukul delapan, akhirnya sampailah kami di Unit Gawat Darurat. Perasaan dan pikiranku sudah melayang-layang tak karuan, sementara darah terus juga mengocor. Hanya karena kasih-Nya jualah kalau aku masih bisa bertahan sejauh itu.
“Tolong, jaga adikmu, ya Nak. Telepon Oma, ya,” pesanku wanti-wanti, sebelum memasuki ruang perawatan.
Haekal mengangguk, airmatanya sudah bercampur dengan ingus, tapi ditahannya sedemikian rupa. Dia pasti lebih menakutkan kemarahan ayahnya dari apapun. Aku melengos, tak tahan melihat nestapanya. Kuraih putriku, kupeluk tubuhnya yang kecil dan kuciumi pipi-pipinya yang halus bak sutra.
“Butet, Cinta, jangan rewel ya Nak. Harus mau Makan yang banyak, Cinta.”
“Iya, Ma. Butet janji gak bakal nyusahin Abang,” sahutnya sambil bercucuran airmata.
“Doakan Mama, ya anak-anak. Doa seorang anak akan dimakbulkan Allah.”
“Iya Ma, didoakan!” jawab keduanya serempak.           
Kupandangi terus kedua belahan jiwaku itu, hingga brankarku didorong masuk ruang tindakan, sosok mereka pun lenyap dari pandanganku. Dunia luar telah tertinggal di belakangku, giliranku berhadapan dengan segala keputusan medis.
Demi nama-Mu, ya Allah, jeritku hanya mengawang dalam hati. Aku lebih memikirkan anak-anak daripada kondisiku sendiri.
Sekitar pukul sebelas malam, setelah melalui pemeriksaan ini dan itu; rahim diperiksa, diubek-ubek, di-USG dan memang janin tak tertolong lagi.
“Kami pasang transfusi dan infus, ya Bu….”
“Kami pasang selang di rahimnya, ya Bu….”
“Biar janinnya mengecil dan mudah dikeluarkan….”
“Operasinya bisa ditunda, lusa, hari Senin!”
Begitu sibuk perawat dan Dokter di sekitarku. Suara-suara berseliweran, mengambil pilihan dan memutuskan, mengapa mereka nyaris tak melibatkan diriku? Sementara itu, suami memilih pulang dengan dalih kasihan Butet, dan Haekal akan ulangan.
Bagaimana kalau aku mati? Siapa yang akan mengabari kematianku kepada keluargaku? Ya Robb, jauhkan segala pikiran pesimis itu, jeritku mengambah langit dan bumi yang selama ini senantiasa menjadi saksi lakon dan takdirku.
“Siapa yang akan mengambil darah ke PMI Pusat?” tanyaku kepadanya, saat dia diizinkan menemuiku di ruang ICU sebelum berlalu.
“Aku sudah mengupah orang untuk mengambilnya jam satu nanti,” jawabnya dingin sekali. Seperti biasanya dia tak pernah berani membalas tatapan mataku, malah terkesan lebih suka dilayangkan ke segala sudut dengan liarnya.
Aku tak berkomentar lagi. Sepanjang malam itu mataku nyaris tak terpicing. Pendarahan memang telah berhenti, tapi ada yang terus berdarah, berdarah, berdarah, dan luka itu tak kunjung sembuh, jauh di lubuk hatiku.
Senin pagi aku didorong ke ruang operasi untuk dikuret. Sosok itu ternyata sudah ada di lorong, dan ikut mengantarku sampai OK, demikian istilahnya untuk ruang bedah di RSCM.
“Terima kasih sudah datang,” kataku dengan rasa bersyukur.”Di mana anak-anak?”
“Si Haekal mulai ujian semester. Butet ditemani Oma dia. Nanti mereka akan ke sini juga, besuk kamu,” jelasnya terdengar agak ramah.
Belakangan baru kutahu, hatta, dia dimarahi oleh abangnya. Bahkan diingatkan, kondisi istrinya ini akibat kelalaiannya kurang memerhatikan. Mungkin ada juga rasa bersalah abang ipar atas kondisi yang harus kulakoni ini. Intinya, mereka takut disalahkan jika terjadi sesuatu atas diriku. Mati di ruang operasi, umpamanya.
“Ibu sudah selesai dikuret, sudah bersih, ya. Bahkan myoma Ibu juga sudah ikut dibersihkan,” berkata seorang dokter muda ketika aku siuman.
“Oya, kista itu, ya, Dokter, syukurlah,” ujarku agak terkejut. Baru kuingat kembali dokter kandungan beberapa bulan lalu mengatakan bahwa ada kista yang telah berubah menjadi myoma di rahimku.
Setelah semuanya berlalu, kupandangi langit dari balkon lantai tiga tempatku dirawat. Bintang-bintang masih kemerlip di langitku. Seribu, selaksa, niscaya lebih lagi. Namun bagiku, ada dua bintang cemerlang di langitku, yakni dua buah hatiku. Di bahu anak-anakku, di dalam sorot bening mata buah hatiku, kutemukan kekuatan yang maha dahsyat.
Nun di atas sana, masih ada kerlip lain dengan nuansa dan binar-binar kasih-Nya yang selalu menerangi kalbuku. Aku yakin dengan sepenuh jiwa-raga dan imanku.
Ya Allah, hamba masih ingin bertawakal, menjadi hamba-Mu yang tegar dan istiqomah.
Dua bulan kemudian aku kembali ke bagian kandungan karena tidak mengalami haid seperti biasanya. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium, termasuk papsmear. Diberikannya pula beberapa obat dan vitamin. Sebulan, dua, bulan, hingga akhir tahun itu, aku tak jua mendapatkan haid.
“Apakah ada kaitannya dengan penyakit kelainan darahku, ya Dok?” pancingku.
“Hmm, sepertinya demikian.”
“Maksud Anda, saya sudah, ehm….”
“Ya, kemungkinan sekali Ibu sudah mengalami menopause dini.”
Umur 36 menginjak 37, dan aku telah memasuki masa menopause. Apakah harus dirisaukan, sebagaimana wanita-wanita Barat begitu heboh, seperti yang kubaca di buku-buku?
Tidak, aku harus berdamai, menerima kondisi ini apa adanya, legawa saja. Bagaimana tidak, dua kali diriku pernah mengalami kondisi incoma, umur 17 dan 25, para dokter seakan mengisyaratkan diriku tidak punya harapan hidup.
Kenyataannya aku masih mampu melahirkan secara normal. Bukankah itu keajaiban? Ya, aku menganggapnya demikian. Sesuatu yang harus aku terima dan lebih banyak lagi bersyukur.
@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama