Anno 2012
Ketika kutulis ulang memoar edisi revisi Dalam Semesta Cinta ini, kondisi
kesehatanku berada pada titik nadir. Para dokter yang merawatku mendiagnosa,
terdengarnya di kupingku, kurang lebih sbb; thallasemia,
kardiomegali, hepatitis, diabetes mellitus.
Satu kondisi kesehatan yang luar biasa
mengerikan, kalau tidak dibilang semuanya ini hanyalah berujung pada satu
titik, yakni; kematian!
Sejujurnya, aku sempat limbung, syok berat
dan terpuruk. Segala situasi mengerikan seketika berseliweran di benakku,
mewarnai malam-malamku dalam ketegangan dan kesunyian. Kubayangkan diriku harus
bolak-balik ke rumah sakit, menghabiskan dana, dan terutama semuanya itu akan
menyusahkan anak-menantu.
Bulu romaku meremang hebat tatkala
membayangkan, seandainya diriku mendadak in-coma,
kemudian tergantung pada peralatan, semuanya itu akan menghabiskan dana
selangit. Ditambah kekacauan jiwa dan raga anak-anak dan menantu. Naudzubillahi
min dzalik!
Beberapa hari, beberapa pekan lamanya,
situasi kejiwaan yang lumayan menyeramkan ini hanya kupendam seorang diri.
Paling aku menuliskannya sepintas-kilas, melalui statusku di BB, Twitter atau Facebook.
Anak-anak belum kuberi tahu secara gamblang rincian kondisi kesehatanku.
Acapkali aku menyusuri lorong-lorong RSCM dengan
perasaan hampa, kaki-kakiku serasa melayang.
“Untuk apa semua kesulitan administrasi ini harus
kulalui dengan susah payah? Jika tidak akan memberiku apa-apa kecuali kematian,”
demikian adakalanya terlintas di otakku jika mendadak beku.
Coba saja Anda bayangkan!
Satu hari, aku bergerak pagi sekali dari
kawasan Halim, rumah dinas besan, tempatku menumpang sejak Agustus 2012. Agar
tidak berdesak-desakkan, memanfaatkan Busway dari depan PGC Cililitan. Sesampai
di RSCM, gegas-gegas menuju loket Askes, sepagian itupun ternyata tetap sajalah
harus uyel-uyelan dengan pasien
lainnya.
Beres dengan barisan antrian yang mengular
panjang ini, kita masih harus pergi ke lobi utama, bagian pendaftaran pasien
lama atau baru. Di sini lebih panjang lagi nyanyian “ular panjangnya bukan
kepalang”. Pernah iseng kuhitung, ada 12 barisan panjang, rata-rata 30-an per
barisannya. Masya Allah!
Apakah sudah bisa beres di sini saja, kita
dapat langsung ke poliklinik, diperiksa dokter? Oh, ow, jangan mimpilah!
“Sekarang laboratnya tidak di sini, ya Bu.
Silakan ke laborat di lantai tiga, tapi biasanya hasilnya baru bisa besok!” Begitulah
berkata petugas di balik loket poliklinik Hematologi, terdengar datar dan
nyaris tanpa senyum.
“Besok? Nah, HB saya paling tinggal berapa?
Sudah terasa lemas begini, Sus?” protesku, lutut-lututku memang mulai terasa
goyah.
“Ya, siapa suruh baru datang sekarang?
Seperti bukan pasien lama saja. Kalau sudah tahu jadwal ditransfusinya,
seharusnya, ya, datanglah tepat waktu. Bahkan seharusnya beberapa hari sebelumnya.
Nah, ini, lihat! Sudah lewat satu bulan, Bu!”
“Baik, apa ada solusinya? Agar saya tidak harus
besok balik lagi ke sini?” tukasku, sungguh tak mau disalahkan juga. Meskipun
memang harus kuakui, sebulan itu sangat sibuk keliling Tanah Air menyebar virus
menulis.
“Bisa. Periksa darahnya di Kencana, bayar
sendiri, ya Bu. Karena tidak dijamin Askes atau Jamkesmas.”
“Memangnya berapa biayanya?” tanyaku ingin
tahu, mulai menghitung-hitung uang yang ada di kocek dan ATM-ku.
“Seratus ribu, kalau tidak salah!”
Demi tidak bolak-balik dan hari ini berlalu
sia-sia, maka langkah kuayun menuju Gedung Kencana. Benar saja, hanya menanti
sekitar 30 menitan, hasil DPL pun sudah bisa kuterima. Pemeriksaan rutin darah
ini hanyalah terdiri dari; hemoglobin atau HB, trombosit dan leukosit. Itu
saja, masa harus menunggu sampai besok, coba di mana logikanya? Ternyata duit
sangat berpengaruh di rumah sakit pemerintah ini, ya Saudara!
Gedung Kencana tempat elit, ada berbagai poliklinik,
laboratorium dan ruang rawat inap untuk para pasien banyak duit. Letaknya
lumayan jauh dari poliklinik Hematologi. Belum lagi naik-turun tangga, sebab jika
mengandalkan lift antrinya bikin
pusing tujuh keliling juga.
Jika dikumpulkan jarak bolak-balik bisa
sekitar 5 km, bahkan boleh jadi lebih dari itu. Bahna semangat dan ingin segera
mendapat penanganan dokter, maka lupalah diriku dengan asupan makanan yang
seharusnya diterima tubuh tak sehat ini.
Ujung-ujungnya begitu selesai dari poliklinik
Hematologi, dalam tempo penantian 5 jam itu, aku baru tergerak untuk mencari
makanan. Namun, seketika aku merasakan sekujur tubuhku menggigil hebat disertai
rasa lemas, lungkrah sekali.
Pandanganku pun mendadak gelap-gulita dan; bruuuk!
Entah berapa lama diriku tak sadarkan diri.
Tahu-tahu kutemukan diriku sudah berada di UGD. Masih mujur, tak ada sesuatu
pun yang raib dari tasku. Beberapa tahun yang lalu, 1990, pernah mengalami hal
serupa, malangnya semua uang di dompet serta gelang emas di pergelanganku lenyap.
Sejak saat itulah aku tak pernah mengenakan
perhiasan emas, bahkan tak pernah pula tergerak membelinya. Bukan karena
trauma, lebih disebabkan semua perhiasan terjual habis untuk biaya pengobatan.
Tak ada kesempatan pula untuk membelinya kembali, apalagi menyimpannya seperti
di masa lajang dahulu kala.
Jika kelamaan di UGD dipastikan bakal
diperiksa macam-macam, dan itu berarti harus mengeluarkan banyak dana. Jadi,
setelah berdebat dengan seorang koas, akhirnya aku diperbolehkan pulang.
Besok aku harus diperiksa secara rinci
keadaan lever, dan itu memerlukan dana sekitar 4 juta. Beberapa jenak aku
memutar otak, sambil terhuyung-huyung menyusuri koridor rumah sakit. Iseng buka
BB dan mulai menulis status, Twitter, aku mention
kepada seorang sahabat yang pernah membantuku. Jay Teroris, memakai nickname
@pitungmasakini, aku hubungi dan curhatan perihal ini.
“Teteh didiagnosa hepatitis, Bang Jay. Dokter
bilang, untuk mengikuti program gratis penanggulangan hepatitis, pasien harus
melalui pemeriksaan laborat di Eyckman.”
“Baik, aku coba bantu. Sekarang Teteh tunggu
saja di Informasi, ya. Nanti ada teman kita yang datang ke sana.” Jay Teroris
langsung merespon dengan sangat baik.
Kupikir, ah, main-main, bercanda saja
mungkin. Mana ada orang yang mau bantu dana jutaan untuk memeriksa leverku
besok? Ternyata aku keliru. Sedekah Rombongan, di mana Jay sebagai
pengelolanya, segera bergerak. Mereka mengirim utusannya yang segera meluncur
menyambangiku.
“Bu Pipiet Senja, ya? Kami temannya Bang Jay,
saya Harji,” kata seorang lelaki kurus ditemani temannya.
“Iya, cepat juga dating, terima kasih,”
sambutku terharu sekali.
“Kebetulan kami sedang beredar di sekitar
sini juga, Bu Pipiet,” ujar temannya.
“Maafkan, ya, jadi merepotkan kalian….”
“Tenang, Bu, kami akan berusaha membantu
kesulitan Ibu. Langsung saja, ya Bu Pipiet. Berapa dana yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan levernya itu, Bu?”
Aku kembali mengatakan jumlahnya. Kedua
lelaki ini kemudian menawarkan jasa, mengantarku ke shelter milik LKC di Gang
Ampera. Agar besok mudah kembali ke RSCM untuk pemeriksaan laborat, dilanjutkan
ditransfusi. Begitulah rencananya.
“Besok kita akan jumpa kembali di RSCM, ya,
Bu Pipiet,” kata Harji saat pamitan, meninggalkanku seorang diri di sebuah
kamar di lantai dua.
Suasana kawasan kumuh segera merebak, bau
busuk comberan dan sambah kali yang tak jauh dari shelter. Suara tangis pasien kecil di lantai bawah, kepalanya
sebesar kelapa, hydrocephalus, tak
henti-hentinya. Sungguh menyayat hati.
Usai mendirikan shalat maghrib, berzikir dan
berdoa, tiba-tiba airmataku tak terbendung lagi. Aku menangis dalam diam yang
panjang dan sangat mencekam jiwaku. Seorang diri di kamar pengap, banyak
nyamuk, tidak diketahui keberadaan diriku oleh anak-anak. Bagaimana jika
mendadak dipanggil Sang Pencipta?
Kukenang pula berakhirnya pernikahan,
ketakadilan yang harus kuterima dari mantan suami. Terusir dari rumah nyaman,
nyaris tak membawa apapun kecuali baju dan buku. Nyaris tak memiliki simpanan,
keuangan yang sangat morat-marit, ya Allah!
Aku tak ingin mati sendirian, tidak dikenali,
jauh dari anak-anak, jeritku mengawang langit Jakarta. Jika aku mati, aku ingin
berada di tengah anak-mantu dan cucu. Di tengah suara orang mengaji. Kedua
anakku menuntunku membacakan syahadat, ayat-ayat suci saat Malaikat Ijroil
mencabut nyawaku.
Sambil bercucuran airmata, kuraih ponsel
pemberian sahabat di Hong Kong, kuketik kabar ini untuk putriku.
“Mama mau jujur, ya Nak,” kataku mengawali
SMS kami.
“Ada apa, Mama cintaku?”
“Eh, penyakit Mama kata dokter kan mulai
komplikasi. Tapi jangan kuatir, ya Nak, Mama masih kuat nih. Tapi sekarang Mama
ada di….”
Secara sepintas saja kuberi tahu gambaran
kondisiku. Aku sungguh lebih mengkhawatirkan dirinya daripada keadaanku
sendiri. Butet, putriku ini sedang hamil 5 bulan saat itu, pernah ada sedikit
pendarahan. Sehingga ia harus dalam pengawasan dokter dengan terapi Dulvadilan.
Hanya dia yang bisa diandalkan untuk mengurus
diriku dalam situasi darurat begini. Abangnya, Haekal, sudah sangat sibuk
dengan pekerjaannya, pulangnya pun selalu larut malam.
Bersama Firman, suaminya, Butet datang
menjemputku.
Aku tergeragap bangkit, kemudian memintanya
kembali ke lantai bawah.
“Mama anggap Butet gak mampu urus Mama. Kalau
Mama kabari dari siang, sekalipun banyak kerja, pasti Butet bakal datang.
Mengurus Mama!” ceracaunya pula, kutahu hanya lagaknya saja mengamel.
Wajahnya tampak pucat, sepasang matanya yang
bening menyimpan butiran mutiara yang ditahannya sedemikian rupa agar tidak
bercucuran.
Aku pun hanya mengatupkan mulut rapat-rapat,
menahan keharuan yang begitu menggelegak dalam dada ini. Meskipun telah menikah
dan sedang hamil dengan masalah, tetaplah putriku semata wayang ini paling bisa
diandalkan. Sosok pejuang tangguh dengan hati berbalun berlian.
Ya, kutahu pasti, memang hanya dia yang bisa
diandalkan untuk mengurus diriku dalam situasi darurat begini. Abangnya,
Haekal, sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, pulangnya pun selalu larut
malam.
Pernah aku menyindir sulungku: “Tidak apa Abang
tidak bisa mengurus Mama selagi hidup. Tapi kelak, ketika Mama sudah tiada,
Abanglah yang harus mengusung keranda Mama, paling depan!”
Haekal biasanya hanya cengengesan dan balas
menyahut.”Kayak tahu kapan kita mati saja. Ekal sering naik gunung malah,
banyak bahaya…..”
“Jangan pernah! Lebih baik Mama mati lebih
dulu daripada lihat anak mendahului Mama!” tukasku ketus, dan dia terdiam.
“Sini, Mama, Butet kan sangat sayang, sangat
cinta sama Mama. Peluk, ya Mama, cinta, mhuuuuaaa!” celoteh Butet pula saat
kami berdua sudah berada di dalam taksi.
Sementara Firman melaju perlahan di depan dengan
motornya.
“Iya, Nak, terima kasih, maafkan Mama sudah
merepotkan….”
“Pssst, jangan pernah bilang begitu, Mama
sayang. Kasihan banget nih si Mama,
sosoranganan sajah yah di tempat kawas kitu. Eleuh-euleuh, meuni siga gembel
pisan, siga anu teu boga anak,” ceracaunya dengan bahasa karuhun
seketemunya. Berkata demikian sambil memelukku erat-erat, seolah tak ingin
dilepaskan lagi.
“Pssst, itu tempat yang sangat bermanfaat
buat pasien tak mampu. Kita harus berterima kasih kepada lembaga yang sudah
membangun shelter seperti itu, ya Nak. Harus kita tulis tuh!” kataku mencoba
mengalihkan percakapan. “Kalau ada rezeki, jangan lupa untuk berbagi dengan
mereka, ingat itu!”
Begitulah, Saudaraku. Aku masih berjuang,
sampai saat ini terus saja wara-wiri
ke rumah sakit. Adakalanya inap di ICCU atau UGD, bahkan tanpa seorang pun
mengetahui keberadaan diriku.
Aku pun mengikuti terapi kepada seorang
sahabat herbalis, akupunturis, Banun Dinar Setiowati. Sesekali dibekam pula
oleh Umi Lili di Depok Timur.
“Aku harus merekam jejak cintaku ini, harus
meng-update. Mungkin saja ini
rekamanku yang terakhir sebelum pergi jua,” pikirku satu malam, tersentak
bangun dinihari.
Gula darahku mulai meningkat, sementara
jantung membengkak dan ada cairan di bagian bawahnya. Situasi yang disebut
insomnia yang pernah kualami di masa silam, akhir-akhir ini kembali
mendatangiku.
Banyak pembacaku yang mengirimkan email dan
mengatakan ingin memiliki buku Dalam
Semesta Cinta, tapi sudah tidak ada di toko-toko buku. Tentu saja demikian,
sebab penerbit sebelumnya tak kunjung jua mencetak ulang.
Sejujurnya batinku sempat sabil. Di antara
begitu banyak respon positif, merasa terinspirasi dan tergugah hingga
bersyukur, usai membaca Dalam Semesta Cinta. Ternyata ada juga satu-dua pembaca
yang protes. Bahkan seorang yang tidak kukenal secara pribadi, bersikukuh,
bukan saja mengkritisi, melainkan memaki-maki dan menghujatku habis-habisan. Bukan
untuk karyaku tapi lebih kepada sosokku, pribadiku.
“Kamu ini perempuan tak tahu malu, istri
durhaka, memberi makan anak-anakmu dengan mengumbar aib sendiri. Kamu akan
dijerumuskan ke dalam api neraka, dan, bla, bla, bla!”
“Sok suci! Sok perkasa! Sok merasa diri
menjadi pahlawan!”
Lama aku merenungkan semuanya itu, kemudian
menelisik diri, apa yang ingin diperoleh dari menerbitkan ulang memoar ini? Aku
pun mendiskusikannya dengan anak-anak, menantu dan sahabat dekat. Haekal dan
Butet tetap mendukung dan menyemangatiku.
“Mama harus menuliskannya, Ma. Biar banyak
perempuan yang senasib dengan Mama, penyakitan dan dizalimi, merasa ditemani. Biar
anak-anak korban KDRT, seperti Butet, bisa tersemangati. Bangkit dan tetap
berprestasi, seperti yang sudah Butet lakukan selama ini,” demikian kira-kira
dukungan putriku.
“Haekal jadi saksi. Mereka tidak tahu
apa-apa, tidak pernah merasakan semua yang sudah kita alami. Mereka bisanya
hanya menghujat, memaki, menghina, tapi sama sekali tidak beri solusi. Preeet,
ah!” kata sulungku dengan gaya bahasanya yang suka alay lebay, istilah
Butet.
Julie Nava, sahabatku yang menikah dengan
warganegara asing, tinggal di Michigan, USA, lain lagi komentarnya: “Tidak
semua penulis sanggup mengungkapkan kejujuran melalui memoarnya. Penulis memoar
bukan untuk menyenangkan hati pembaca. Dia bisa dihujat, dimaki, bahkan
dikucilkan. Salut, Teteh! Lanjutkan saja merevisinya, dan aku tetap menghormati
serta menyayangimu.”
Benar sekali, Julie Nava. Ini bukan sesuatu
yang mudah, tidak seperti ketika menulis fiksi, novel tebal sekalipun. Tidak
mudah bagiku untuk mengungkap kembali segala peristiwa yang pernah dialami.
Acapkali aku terisak-isak dalam samudera
kepiluan, sementara jari-jemariku terus memencet tuts-tuts keyboard laptop
mungil di depanku. Hingga daya pandangku mengabur, dan nyaris tak mampu lagi membaca
ulang semua kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf di
layar monitor.
Akhirnya kuingat kembali komentar dari guru
mengajiku yang biasa kami panggil Umi Umar, sahabat kami tercinta yang telah
mendahului menghadap Sang Pencipta.
“Membaca buku ini membangkitkan semangat kami
untuk banyak merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang alpa dari
ingatan kami. Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami melalui
penamu yang tajam,” demikian berkata Ustazah Yoyoh Yusroh, almarhumah, langsung
kutuliskan di hadapannya, saat kami berjumpa di Majlis Taklim Yayasan Ibu
Harapan, 2006.
Maka, aku pun menulis, menulis dan menulis
untuk mengabarkan kepada dunia bahwa: ”Inilah diriku dan aku masih hidup!”
Mohon diambil hikmahnya yang indah-indah saja,
kenanglah diriku sebagai sosok manusia biasa yang memiliki kekhilafan dan kesalahan.
Terima kasih dan maafkan untuk Anda yang merasa tersinggung, karena aku tetap
menerbitkan ulang buku ini, tidak sesuai dengan perintah Anda.
Salam manis dan bahagia!
Pipiet Senja
@@@
Posting Komentar