Mayat di Kanan Kiriku: Siapa Takut?



Ilustrasi:



Jakarta, Anno 1969

Selama aku dirawat ibuku jarang menjenguk. Hanya ayahku yang setiap pagi dan sore mampir. Biasanya ayahku akan membawakanku kue-kue dan cemilan yang belakangan kutahu, semuanya itu hasil ibuku berhutang ke warung Abah. Adik-adik pun hanya seminggu sekali, secara bergantian dibawa oleh Bapak menjengukku.
Malam itu Bapak harus giliran piket di kantor. Bapak bilang nanti ibuku akan datang menemani. Namun, sampai menjelang sore, bahkan setelah orang-orang yang besuk pulang, ibuku tidak muncul juga.
Sesungguhnya aku mengkhawatirkan pasien di sebelah kananku, usianya 19-an, siswa SMA. Dia in-coma setelah dioperasi kepalanya. Kata Bibi yang biasa menungguinya, dokter yang akan mengoperasi lanjutan sedang mengikuti konferensi di Jerman. Jadi operasi lanjutannya menunggu dokternya pulang.
Sudah dua hari itu Bibi pulang dulu ke Cianjur. Tak ada yang menemaninya lagi, dibiarkan tergeletak tak berdaya dengan berbagai peralatan medis mengerumuni sekujur tubuhnya.
Aku tak pernah melihat orang tuanya, menurut cerita Bibi, ayahnya seorang bupati. Kadang aku merangkai cerita sendiri (bakat sejak kecil!) bahwa pasien ini memang sudah dibuang oleh orang tuanya, karena penyakit tak tersembuhkan, kanker otak. Bagaimana dia menanggung derita nestapanya hanya ditemani pembantu? Kalau dilanjutkan bisa satu cerpen tuh. Aha!
Kalau aku seperti dia, wuaduuuh, rasanya lebih baik mati saja!
Ya Yuhan, aku masih beruntung, demikian aku berpikir. Sesibuk apapun, Bapak selalu perhatian dan punya waktu untukku. Dan semiskin apapun, Emak akan selalu berusaha menyenangkan hatiku, walau itu berarti harus menggadaikan nyawanya sekalipun.
Ya Allah… terima kasih, Bapak dan Emak tidak membuangku yang penyakitan begini, gumamku membatin dengan dada penuh rasa syukur.
“Jangan takut, ya Neng… Nenek akan menjagamu dari sana,” ujar Nenek menghiburku, dan ia melaksanakan janjinya, wara-wiri dari samping anaknya ke sisiku.
“Terima kasih, Nek… boleh minta tolong?”
“Mau minum? Mau makan… Nenek suapi, ya?”
“Bukan itu, Nek, aku gak lapar,” perutku serasa gembung, sekujur badanku meriang silih berganti akibat transfusi. Darah orang tentu sedang beradaptasi dengan tubuhku.
“Mau kue, ya?” ujarnya pula menawariku dengan nada tulus.
Aku menggeleng. “Nenek coba lihat, kenapa Kakak di sebelah itu bunyi ngoroknya begitu, ya?”
“Keras ya ngoroknya?” gumam Nenek tertegun, kemudian menyibak gordeng, melongok ke ranjang pasien sebelahku.
Groookkk… grooook…. Begitulah bunyinya.
“Gak apa-apa, mungkin lagi enak tidurnya setelah dikasih obat baru,” komentar Nenek menenangkanku. “Mau apalagi sekarang?”
“Hmm… terima kasih, Nek,” aku menggeleng lemah.
Benakku bercabang-cabang liar, melayang ke mana-mana. Emak, aduuuh, ke mana sih Emak? Jangan-jangan di jalan Emak… Aduh, sungguh kacau!
“Ya, sudahlah… Kamu harus berusaha tenang dan tidur, ya Neng. Baca-baca aja, banyak doa, ya?” pesannya pula sebelum kembali ke samping putrinya.
Aku mencoba memejamkan mata, menutup kepalaku dengan selendang batik milik Emak yang sengaja kuminta. Kuciumi aroma khas milik ibuku. Aroma kasih sayang yang hanya ibuku pemiliknya. Demikianlah kelakuanku kalau sedang demam rindu kepada ibuku yang sangat kusayang, dan dia pun sangat mengasihiku.
Teng… teng… pukul delapan malam!
Mendadak terjadi kehebohan, pasien baru masuk, dan diletakkan tepat di sebelah kiriku. Memang hanya itulah ranjang yang masih kosong di bangsal campursari, dihuni pasien dengan penyakit samakbrek alias 1001 macam penyakit.
Waktu itu, 1969, aku kurang tahu, apakah sudah ada ruangan yang disebut ICCU atau sejenisnya. Jadi, kalau bukan dilakukan di ruang perawatan tentu di tempat operasi. Sebetulnya di zal 14 itu ada ruangan isolasi, khusus untuk pasien gawat. Tapi agaknya malam itu ruang isolasi penuh, jadi terpaksa ditaruh di bangsal.
Yang menghebohkan itu adalah suara-suara pengantarnya. Serombongan, ya, semuanya saja, mencoba ikut masuk ke bangsal. Suara-suara keras khas orang seberang, berseliweran di sekitarku. Sungguh mengganggu dan menambah rasa sakit yang harus kutanggung.
Suster sampai memanggil provost untuk mengusir orang-orang yang tak tahu situasi dan kondisi itu. Provost atau para petugas jaga malam akhirnya berhasil menggiring mereka keluar bangsal, disertai pertengkaran, caci-maki, sumpah serapah… Halaaah!
“Dasar Batak, begitulah kelakuannya!” samar-samar kudengar suara Ani.
Otakku masih bisa berpikir dan mengukir-ukir sebab-akibat, terutama tentang kelakuan Ani. Kenapa dengan si Ani itu, ya? Judes, iri, dengki, hobi neror dan rasis. Kalau ada orang tuaku, dia akan bersikap baik, ramah, sungguh munafik. Pantaslah orang itu direkrut sebagai Gerwani!
Beberapa saat kembali tenang, maksudku tanpa kehadiran orang-orang yang tak berkepentingan dengan bangsal perawatan ini. Sementara pasien baru, ternyata seorang lansia, masih ditangani oleh para dokter. Mereka sibuk melakukan berbagai macam tindakan.
Mendadak saja, lamat-lamat kudengar suara yang saling bersahutan.
“Ini chirosis hepatitis… sudah parah…”
“Tensi 40 per…”
“Denyut tak teraba…”
“Dokter Qom sudah dikabari?”
“Tidak bisa… lagi di Singapore…”
Kurasa kemudian mereka melakukan kejut listrik… satu, dua, yaaaak, satu dua tiga, yaaaak!
“Awaaasss… syeeet!”
“Aduh, apaan tuh?”
“Pecah… dokter Irwan… bagaimana ini?”
“Kita… sialan  banget nih…”
“… hilang ya…”
Beberapa jenak tak ada suara-suara lagi.
Keheningan yang sangat merejam dada, mencekam jiwa dan raga. Namun, beberapa jenak kemudian kulihat para koas itu beriringan. Sungguh, mereka meninggalkan pasien baru itu. Tinggal seorang perawat lelaki dan dua orang suster. Mereka melakukan sesuatu, kurasa, membersihkan darah yang muncrat ke mana-mana… Menimbulkan bau busuk tak terkira!
Menghabiskan sisa malam itu, aku tetap seorang diri, sambil merasa-rasai kesakitan dan demam yang datang silih berganti. Aku tahu, aku sadar bahwa di sebelah kananku, pasien baru itu telah menjadi mayat.
Tengah malam terjadi kehebohan lagi, kali ini si Kakak pun telah memilih jalannya… Menghadap sang Pencipta!
Pagi sekali, Bapak muncul dan mengabari; Mak tak bisa datang bukan karena hujan besar, melainkan karena kaki-kakinya mendadak bengkak. Akibat tersandung batu cobek di kamar mandi. Sekarang Mak ada di klinik, mungkin harus diopname, kata Bapak dengan wajah muram.
“Bagaimana perasaanmu setelah ditransfusi, Nak?”
“Teteh gak apa-apa kok, Pak, sudah ditransfusi… segar,” hiburku sekuat daya menahan rasa pedih yang menggejolak dalam dada.
“Alhamdulillah, semoga Allah Swt memanjangkan umurmu, Nak,” ujarnya sambil mengecup keningku, mulutnya komat-kamit, tentu mendoakanku.
Kulihat air bening mengembang di sudut-sudut mata prajurit kami yang perkasa. Aduuuh,  hancur rasanya hatiku!
“Bapak urus Mak saja, ya Pak, kasihan Mak. Sungguh, Teteh sudah sehat,” lanjutku pula berusaha meyakinkannya.
Kurasa, sejak itulah aku tak pernah merasa takut lagi dengan mayat. Sepanjang malam di sebelah-menyebelahku ditemani mayat, ternyata tidak apa-apa. Aku malah lebih mencemaskan kelakuan si Ani Gerwani. Semakin sering menghampiriku, semakin sering dia meneror dengan kata-kata jahimnya. (Kenangan masa kecil, Pipiet Senja)

1 Komentar

  1. Saya pernah mengalami situasi spt itu, th 1964, sakit di RS dan ortu tdk bs menemani krn tinggal dikota kecil, disibukkan dng anak yg banyak dll, tp saya msh beruntung, siang ditengok eyang, malem ditungguin bude. Alhamdulillaah, ibu Pipiet Senja berhasil melintasi ujian hidup dengan baik :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama