Gerakan Santri Menulis: Menjawab Tantangan JIL




Selasa, 4 Maret 2012
Agak kebat-kebit hatiku karena salah satu buku yang akan dipromoturkan belum ada fisiknya di depan mataku. Bang Nasrul, manager percetakan Zikrul Hakim sudah mengatakan sejak awal Pebruari 2012 bahwa ke-4 buku dipastikan turun cetak minggu ke-3 bulan Pebruari.

Buku-buku tersebut yaitu; Catatan Cinta Dari Mekkah (Awy Ameer Qolawun, Arab Saudi) , Cintaku di Negeri Jackie Chan (Ida Raihan) Catatan Ibu Bahagia (Leyla Hana) dan Aku Tidak Membeli Cintamu (Desni Intan Suri, Malaysia)

Namun, tetap saja ada buku-buku yang lebih diprioritaskan, jadi produknya Divisi Jendela yang kugawangi masih harus antri!

Pagi itu, kembali aku menerornya melalui SMS. ”Teteh sudah jalan menuju Rawamangun nih. Apakah buku Awy bisa didrop ke kantor pukul 15.00, sore nanti ya, pliiiiissss!”
Dibalas segera (tumben!) dengan:”Oke, Teh!”

Jalan bareng Butet dengan mobil, dia ada urusan di rumah mantan dekannya Hikmanto di kawasan Mampang. Mobil lanjut dengan segala kemacetan Ibukota, aku kemudian diturunkan di depan kantor ZH.

Di kantor, lini Jendela di sebelah kantor cabang ZH jalan Waru 20 B, beberapa urusan segera diselesaikan. Pemesanan buku online harus segera dipaket-paketkan oleh Rosi dari toko buku.

Sambil melanjutkan menulis, beberapa kali menerima pertanyaan dari Awy Ameer Qolawun, baik melalui FB maupun Twitter. Bahwa teman-temannya, gurunya dan sanak-saudaranya di pondok pesantren Lamongan telah menyiapkan persiapan untuk acara peluncuran bukunya: Catatan Cinta Dari Mekkah, 6 Maret 2012.

Kadang sempat kubalas, kadang kuabaikan saja. Fokus ingin menyelesaikan urusan packing, dan; mana, mana, mana bukunya? Hadeeeeh!

Waktu terus berjalan, serasa begitu cepat dan memacu jantungku yang telah mengalami pembengkakan sejak setahun silam.

Rosi muncul di ambang pintu dan mengatakan:”Itu bukunya sudah datang, Teteh. Mau diapakan?”
“Alhamdulilah,” seruku lega sekali. Kulirik jam di dinding pukul 15.05, ya ampuuun!

“Langsung bantu Teteh, kita angkut ke Damri sekarang juga,” kataku sambil menyambar tas dan ransel gendong. Ya, hanya tas gendong berisi tiga stel baju, gamis, dan laptop saja yang kubawa untuk seminggu keliling Jatim bersama putriku yang akan menyusul esok.

Dibela-bela berangkat lebih awal, ternyata delay juga maskapai satu ini. Rajanya delay, siapapun tahu itu: Lion Air. Penerbangan yang seharusnya jam enam sore molor dua jam, Saudara!

Singkat cerita sampailah aku di Bandara Juanda pada pukul 22.15 malam itu.  Sempat menunggu sekitar 20 menit, akhirnya muncul jua sosok yang telah lama kerjasama dengan baik itu.

“Loh, katanya dengan Butet?” tanya Ridho Ardian, Kepala Cabang Zikrul Hakim bagian Indonesia Timur yang bermukim di Surabaya.

“Masih ada acara di kampusnya. Besok malam dia baru bisa bergabung dengan kita,” jelasku sambil masuk ke dalam kendaraan dinasnya. Sementara Ridho segera disibukkan mengangkut dua koli buku ke bagasi belakang.

“Baiklah, kita makan malam dulu, ya Teteh,” ujarnya seraya melajukan kendaraan, meninggalkan Bandara Juanda.

“Iyalah, wong perutku sudah menembang keroncongan nih. Lupa makan siang saking gugupnya nunggu buku Awy,” ujarku baru menyadari memang seharian itu nyaris tidak makan sesuatu yang berarti, selain sarapan nasi goreng sisa malam.

Usai makan malam di warung pinggir jalan dengan menu yang masih tersedia, nasi rawon, dan selalu lewat begitu saja di lidah alias “tidak selera”. Diantarkanlah diriku yang mulai mengantuk dan kelelahan ini ke penginapan, milik BPHI atau Departemen Agama.

Besok ada dua acara sebagai motivator dan pembicara, yakni di kampus UIN dan UNAIR. Malamnya baru menjemput putriku di Bandara Juanda, lanjut menuju Lamongan.

Bagiku Gerakan Santri Menulis ini sungguh sudah merupakan hal yang sangat penting. Setiap kali mencermati buku baru di Gramedia, hatiku selalu miris dan sedih sekali. Karya anak-anak Jaringan Islamn Liberal, feminis dan neokomunis dari saat ke saat tampak semakin marak saja.

"Nah, mana karya paramuda Muslim untuk menjawab tantangan mereka?” seruku setiap kali tampil di forum-forum kajian ikhwah-fillah.

Sepertinya baru Adian Husaini yang tampil kukuh dan berkarakter. Ya, Adian seolah-olah jalan sendirian. Mari, kita gemakan ke pelosok negeri, setidaknya di Tanah Air tercinta ini: Gerakan Santri Menulis!






@@@


2 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama