Tengoklah Kami di Papua: Suku Banti Anak Bangsaku




Tembagapura,  20 November 2012

“Mereka sebenarnya kaya raya juga, Teteh. Mereka sering menemukan emas di sungai-sungai yang mengalirkan konsentrat. Tapi mereka tak mau memanfaatkannya untuk membangun rumah. Kalau uang banyak di tangan, mereka segera menghabiskannya semuanya,” jelas seorang sahabat perempuan, Nina, yang telah 20 tahun tinggal di Tembagapura.

“Uangnya memang dipake beli apa?” tanyaku penasaran.
“Mereka akan beli apa saja yang diinginkan di Hero. Segala macam permen, coklat yang diangkut dari Australia,” kisahnya dilanjutkan..“Dia akan raup sebanyaknya uang dari koceknya, lantas brek saja diburudulkan di depan kasir, tanpa dihitung lagi.”

“Perusahaan banyak membangun rumah-rumah untuk mereka. Tetapi mereka tetap tidak mau menghuni rumah-rumah itu. Mereka lebih suka tinggal di honai-honai. Para perempuan kebanyakan tinggal bersama babi. Sementara para lelaki tinggal di tempat tersendiri.”

Mendadak aku merasa gulana, limbung dan bingung. Ya, sudahlah, mereka ada yang mengurusnya. Sungguhkah?




“Nah, kita memasuki kawasan suku Banti, Teteh,” ujar Camat Tembagapura yang mengendarai mobil tangguh, membawa kami bertiga; saya, Elly Lubis dan Evatya Luna dari kediamannya di Mil 30, pagi itu.

Wajah-wajah khas suku asli Papua bermunculan dari segala pelosok. Ada yang berjalan saja, terus berjalan, entah akan ke mana dan hendak apa. Hobi utama mereka memang berjalan, dan nomaden.



Perang antar suku bisa terjadi kapan saja, tidak bisa diprediksi akan aman selamanya. Tak ubahnya bagaikan bermain futsal atau main bola. Jika sedang ingin berperang, maka terjadilah, hanya karena hal yang tidak masuk akal.

“Umpamanya, ada istri kepala suku meninggal saat melahirkan. Nah, keluarga si istri kepala suku tidak bisa terima. Maka, diseranglah si kepala suku dan warganya.”

“Ajaibnya, saatnya makan, mereka berhenti dulu,” imbuh temannya.”Para perempuan yang menyediakan makanan untuk mereka, segera gelar santap siang. Mereka makan siang bareng tuh. Setelah kenyang, ya, ayooooo; perang lagi!”

“Aduuuh, begitukah?”
“Iyalaaaah,” kompak kedua sahabat menyahut dalam dialek Papua.










Aku sempat mengajak seorang kader PKK yang kami panggil Kakak untuk berbincang. Hanya sering tidak nyambung, logat ajaibhnya yang mberebeeeet cepat sekali bicaranya, nyaris tak kupahami.

Anaknya masih Balita, namanya Mako, kutanya:”Mako, kalau sudah besar apa cita-citamu, Nak?”

Mako cepat sekali menyahut:”Oh, Mamak, kalau Mako besar, mau punya babi. Ya, banyak babi, jadi Mako kaya.”

Harga seekor babi berukuran besar, seperti anak sapi, konon senilai 15 juta rupiah. Semakin banyak memiliki babi, niscaya status sosialnya pun semakin tinggi alias kayaraya.

“Benarkah ada ganti rugi babi yang tertabrak mobil dengan ratusan juta, Pak Camat?” selidikku, cek dan ricek rumor yang pernah kudengar. “Harus dihitung berapa puting susu si babi yang tertabrak mobil tersebut, katanya, iyakah?”

Pak Camat Slamet Sutejo asli Kediri beristrikan wanita Sunda itu tersenyum. “Dulu, kabarnya demikian. Bahkan lebih parah, bisa terjadi perang antar suku gara-gara tak sengaja mencelakai ternak babinya. Tapi sekarang sudah ada semacam forum musyawarah adat. 

Semuanya bisa dinego, dibicarakan, kemudian dicarikan solusinya yang tidak merugikan kedua belah pihak.”

Sayang sekali kami tidak bisa berlama-lama tinggal di pemukiman suku Banti. Jadwalnya hari itu akan lanjut ke puncak Grasberg Mine. Ketika kami naik kembali ke dalam kendaraan, ada seorang anak berteriak:”Pak Camat, tidak ada sekolahkah hari ini?”

“Hari ini tidak ada PAUD, Yakob. Kita akan bicara dengan mamak-mamak,” jawab Camat yang masih muda dan sangat ramah itu, tak henti tersenyum.

Satu hari nanti, entah kapan, aku ingin kembali ke sini, sampai jumpa ya anak-anak bangsaku; suku Banti.

Mendadak terngiang kembali omelan seorang bapak;”Kalian pendatang, waktu datang kurus-kurus seperti nyamuk. Waktu pulang gemuk-gemuk!” (Tembagapura, Pipiet Senja)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama