Satu Hari di Pengadilan Agama





Masih pagi sekali sudah memasuki kawasan perumahan real-estate Grand Depok City. Dari pintu gerbang, setelah turun dari angkot, kupanggil abang ojek agar mengantarku menuju kantor Pengadilan Agama.
Melintasi bangunan-bangunan megah dan pepohonan asri, tampak jalanan masih lengang. Sejuk dengan nuansa yang bersih, sejenak menghanyutkan sesak di dada, dan jantungku yang belakangan kerap mengganggu.
Setelah melewati beberapa gedung perkantoran, Dinas Kebakaran, Pencatatan Tanah, dan entah apalagi, akhirnya sampailah di antara gedung Imigrasi dengan Pengadilan Agama.
“Kurang, Bu, masa segini?” cetus abang ojek ketika kuulurkan selembar sepuluh ribuan. Kutatap sekilas lelaki paro baya itu, mungkin pensiunan atau memang sudah profesinya pengojek seumur hidup.
“Biasanya juga segitu, Bang. Ini bukan pertama kalinya ke sini,” kataku sambil mencari tambahan recehan di tas.
Seketika ia menggerutu dengan mimik tak suka, melirikku sekilas dalam tatapan terkesan melecehkan.”Tapi saya baliknya kosong, Bu, masa tega?” bantahnya terdengar ketus di kupingku.
Sesaat aku terdiam membisu. Tatapan yang terkesan melecehkan itu membuat jantungku seketika berdenyar kacau. Tatapan yang tak jauh beda dengan mata seseorang, ketika menyuruhku pergi dari rumah, disebabkan nafsu syahwatnya yang sudah tak terbendung lagi.
Takkan pernah kulupakan kalimatnya yang membuatku memutuskan meninggalkan rumah, malam itu juga: “Aku mau bawa istriku ke sini untuk mengurus kamu. Tapi kalau kamu tak setuju, ya, sudah; pergi saja dari rumah ini,” katanya tegas, tanpa perasaan sama sekali.
Wajahnya yang persegi khas milik lelaki seberang itu tampak tanpa ekspresi. Membeku, sebagaimana dulu, ketika dia sangat hobi menganiayaku dan anak-anak semasa mereka kecil.
Mengurusku, katanya? Dalih macam apa yang muncul di otak kacaunya itu? Bagaimana mau mengurus diriku, kalau sejak pernikahan diriku dibiarkan berjuang mencari nafkah sendiri? Bahkan jika sakit pun aku lebih banyak mengandalkan keluargaku, dan kedua anakku daripada suami yang tak pernah peduli, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
“Ini!” kusodorkan selembar lagi sepuluh ribuan, kutahan sedemikian rupa masygul dan jengkel yang meruyak dalam dada.
“Gak ada kembaliannya!” Nah, terdengar semakin ketus saja di kupingku yang jelas belum tuli!
“Ya, sudah, aku ikhlaskan buat kamu!” Suaraku terdengar meninggi bahkan di kupingku sendiri. Gegas kutinggalkan si tatapan melecehkan yang mengingatkanku akan kenangan buruk itu. Ada sesal, mengapa harus memilih ojek dan bukan taksi saja yang jelas tarif dan kenyamanannya.
Masih sepi, tak ada sepotong pun manusia di ruangan pendaftaran itu. Tapi ada beberapa lembar kertas, kuamati ternyata lembar daftar hadir. Kuisikan nama dan nomer perkaraku di urutan pertama; 1625.
Duduk di depan ruang sidang dua, beberapa jenak aku tak tahu harus berbuat apa. Seharusnya bawa laptop biar bisa melanjutkan garapan novel. Namun, kutahu segala pikiran dan enerjiku dalam lima bulan terakhir telah terkuras demi meredam nestapa hatiku, kali ini.
Ah, seketika melembayang lagi di tampuk mataku sosok itu, bapak kedua anakku yang mengharuskanku sekarang berada di tempat yang mengurus segala macam gugat-menggugat, sengketa berujung pada satu ketukan palu Hakim.
Tigapuluhdua tahun, sungguh bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah manusia. Berbagai persitiwa, kekerasan dalam rumah tanggaku, jatuh bangun ketegaranku sebagai seorang istri, semua telah menjadi warna buram yang bisa kutuliskan dengan tinta semesta cinta yang kumiliki.
“Aku tidak bisa begini terus. Kamu semakin sering sakit dan menolak hasrat seksualku. Kamu harus membiarkanku menikah lagi,” cetusmu entah untuk kali ke berapa.”Lagipula, aku sudah tak ada rasa, apalagi cinta dan sayang kepadamu. Yang ada hanya rasa kasihan, sementara aku merasa terpenjara dalam kondisi yang menyesakkan begini,” lanjutnya menceracau bak rentetan peluru, sehingga seluruh benteng di hatiku luluh-lantak sudah.
“Iya, aku sudah paham dan telah kuizinkan kamu menikah lagi sejak belasan tahun yang lalu. Silakan saja. Aku hanya minta tidak perlu dibawa ke hadapanku, tidak perlu juga diumbar beritanya. Lakukanlah dengan hati nuranimu, itupun kalau kamu masih punya,” akhirnya mulutku yang beku mampu jua mengeluarkan sikap.
Memang kemudian kubiarkan dia bebas melakukan apapun, sementara kuabdikan terus seluruh hidupku untuk kesejahteraan rumah tangga. Meskipun aku sering bepergian ke luar daerah, ke mancanegara, segala keperluan untuk makan sehari-hari selalu kusiapkan, kutitipkan kepada anakku bungsu yang masih tinggal bersama kami.
Jadi, kutunggu saja bagaimana dia mewujudkan mimpinya yang disebutnya sebagai; cita-cita, obsesi untuk punya istri lagi. Hal ini malah selalu diwartakannya dalam status akun Facebook. Sementara setiap kali dia menginginkan melampiaskan hasratnya, aku telah punya dalih untuk menolaknya.
“Kita sudah memutuskan akan berpisah, jadi jangan lagi menuntut hal itu,” kataku semakin dingin.
Aku tak pernah memuntahkan kemarahanku atas penyakit kotor yang pernah ditularkannya kepada diriku, beberapa tahun yang silam. Cukup kupendam dalam-dalam di hatiku.
Telah dua anak keturunan kami dan keduanya telah mandiri. Sulungku, anak laki-laki seorang Master IT, manager sebuah perusahaan teknologi bonafide. Adiknya perempuan sarjana hukum, belum lama menikah, sebentar lagi menjadi seorang pengacara hebat. Aku yakin itu!
Mendadak adikku yang janda dan sering tinggal di rumah kami, melaporkan pelecehan yang telah dilakukan abang ipar terhadap dirinya. “Dia nyaris saja memperkosaku, Teteh. Bahkan kemarin dia meremas tangan dan bokong anakku. Dia kan masih ABG, sampai nangis-nangis dan trauma tidak mau datang ke sini lagi,” lapornya sambil menahan kemarahannya.
Cukup sudah, jeritku mengawang langit. Aku masih bisa bertahan puluhan tahun, meskipun sering dianiaya, sering dikhianati dan punya kekasih gelap sejak tahun pertama pernikahan kami. Aku pun masih bisa memaafkannya, saat dia tak pernah memedulikanku jika aku sakit parah di rumah sakit. Bahkan aku masih bisa menerima dan bersabar, meskipun telah ditulari penyakit kotornya!
Tapi saat kudengar adik kesayangan dilecehkan seperti itu, bahkan putrinya yang masih belasan tahun dilecehkannya juga, innalilahi. Demi Allah, aku takkan pernah bisa mengampuninya!
“Teteh, maafkan telat, ya,” kata seorang perempuan 40-an, menghampiriku dan memelukku, menambahkan dengan kata-kata penyemangat.
“Tidak apa-apa, masih banyak waktu,” sambutku senang dan lega. Setelah dua kali berhalangan menjadi saksiku, akhirnya dia bisa juga datang menepati janjinya.
Kupandangi adik keenam yang kini menjadi karyawati di perusahaan sahabatku itu. Wajahnya tampak ceria, kupahami itu, dia telah menemukan calon pendamping dan ayah pengganti untuk kedua anaknya. Kudoakan sebentar lagi mereka menikah.
 Setelah jam menunjukkan ke angka sembilan tepat, akhirnya nama dan perkaraku dipanggil sesuai urutan pertama. Kugandeng adikku Ros ke ruang sidang, kubisikkan kepadanya:”Katakanlah sejujurnya tentang kesaksianmu, ya Dik.” Dia mengangguk sebelum kemudian duduk di bangku deretan belakang.
Hakim Ketua, seorang perempuan sebayaku, membuka sidang dengan membacakan ulang perkaraku diakhiri rangkaian pertanyaan yang sama, persis seperti pada siang pertama dan kedua sebelumnya.
”Bagaimana mau lanjut saja, Bu? Atau mau menarik perkaranya?”
“Lanjutkan sajalah, Bu Hakim,” tukasku.
“Ibu kan sudah tua, sudah sama-sama sepuh. Katanya kemarin sudah punya dua cucu, ya kan? Apa tidak sayang dengan suami?”
“Bukan itu masalahnya….”
“Dia pegawai negeri, meskipun sudah pensiunan. Kalau cerai, nanti Ibu tidak akan mendapatkan pensiunannya?”
Masya Allah, jangankan mengharapkan tunjangan pensiunannya. Seumur hidup aku tak pernah tahu berapa gajinya!
Aku berdiri minta maaf dan menyerahkan selembar surat pernyataan yang ditanda tangani lelaki itu. Kata putriku, si bungsu, bapaknya tampak begitu sukacita dan bahagia saat menandatanganinya.
Hakim Ketua terdiam, beberapa jenak mencermati surat pernyataan resmi tersebut. Selang kemudian menyerahkannya kepada Wakil Hakim. Lelaki berkacamata itu kemudian meminta adikku memberi kesaksian dengan disumpah lebih dahulu.
Seperti yang pernah dilaporkannya kepadaku, adikku menyampaikan kesaksiannya:”Dulu sering melihat kakak saya dan anak-anaknya dianiaya. Dia tidak pernah memberi nafkah dan sering selingkuh. Beberapa bulan yang lalu, dia melecehkan saya dan putri saya,” ceracaunya mantap dan meyakinkan sekali.
“Baiklah, karena Ibu yang menggugat cerai, maka sesuai peraturan; Ibu harus mengembalikan mahar, disebut juga iwadl sebesar 10 ribu rupiah yang akan disumbangkan ke Baitul Mal.”
“Bayar sekarang, ya Bu Hakim?” tanyaku agak kebingungan, tak mengira akan ditodong pembayaran lain di luar biaya gugat cerai yang 751 ribu rupiah itu.
“Ya, sekarang juga.”
Aku buru-buru mencari sepuluh ribuan, ternyata masih ada selembar, sisa bayar ojek. Kuserahkan segera dan kuterima kuitansi yang sudah disiapkan.
“Hari ini, bla, bla….. Jatuh talak satu dari Karibun Siregar kepada Siti Maryamah, tok,tok, took!” Demikian kira-kira keputusan akhir Hakim Ketua.
Keluar dari ruang sidang, adikku menggandeng tanganku dan berbisik:”Itu bayar mahar apaan, ya Teteh? Seingatku, dulu maharnya kan diutang? Memang sudah dibayarkan?”
Degh! Jantungku serasa lepas, kepalaku pun berdenyar-denyar. Adikku masih mengingatnya ternyata. Dia, lelaki dari seberang itu, 32 tahun yang silam memang mengucap ijab kabulnya: ”Terima nikahnya dengan Siti Maryamah binti Ahmad dengan emas kawin diutang!” (Pipiet Senja, Jakarta, 30 Oktober 2012)

@@@

52 Komentar

  1. Aku kagum dengan sosok wanita dalam cerita yang begitu tegar dan penyabar itu, tapi aku menyayangkan sikapnya.
    Kenapa ia tak mengambil langkah tegas dengan menggugat cerai suaminya sebelum ia dikaruniaii buah hati. Bukan kebusukan suaminya sedari awal ia sudah tahu?

    Hmmmmmmm..... kesabarannya patut dijadikan contoh, tapi sikap tegasnya aku kurang suka :)

    BalasHapus
  2. Anak Wonosobo; namanya juga kisah inspirasi...eh, ini dari true story.

    Mengapa si aku tetap bertahan? Awalnya demi anak-anak, agar mereka tak kehilangan sosok ayah. Tapi ada janji dan komitmen si aku ketika memohon jodoh kepada Allah-nya. Dia bilang; ya Robb, berikanlah lelaki untuk suamiku, ayah anak-anakku. Aku berjanji akan mengabdi dan setia kepadanya selamanya.

    Ternyata takdir membawa lakonnya lain, si aku tak bisa memaafkan lelaki jahat itu, tersebab hendak memperkosa adik kandungnya sendiri, dan keponakan yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Hewhehe....begitulah adanya!

    BalasHapus
  3. Jadi wanita harus tegar dan sabar. Meskipun banyak duri kehidupan dari pihak-pihak yang suka melecehkan kaun wanita.

    BalasHapus
  4. miris sungguh miris........
    tapi itulah hidup ini yang aslinya berjudul saling mengisi,walau terkadang kita nggak sanggup melakoninya.
    yg baik berdampingan dengan yg buruk,begitu juga sebaliknya.namun apakah semua orang mampu menjadi pemeran utama dalam hidup ini...? tentu tidak.apa lagi ini bukan hanya sekedar drama yg bisa kita kompromi dengan sutradara.
    saya hanya bisa mengucapka inalillahi..... buat hati nuraninya yg telah terbunuh oleh angkara hawa napsu.... semoga sang AKU bisa menukmati hari2 tuanya dengan damai di sisi kedua malaekatnya. amin.....!!!

    BalasHapus
  5. Anung D'Lizta: ya nanda, jadilah perempuan perkasa bak karang tegar di lautan. Namun, ketika prinsip dan moral telah dilanggar habi, ya, sebaiknya hijrahlah!

    BalasHapus
  6. Lasiar Shell Acsasoris: amiiiin ya Robbal alamiiiin....

    terimakasih doanya yang indah, doa yang sama untukmu juga, sa;lam ukhuwah

    BalasHapus
  7. Teteh....

    Akhirnya...

    Subhanallah, Maha Suci Allah yang selalu melindungi Teteh dan kedua anak Teteh.

    BalasHapus
  8. Salut sama tulisan bunda.
    Berdasarkan kisah Nyata ya bunda? Saya Suka dengan tulisan bunda sejak saya SMA, yang dimuat di majalah wanita. Selalu Ada nuansa realitas dlm setiap tulisan bunda, membuat saya tidak bosan-bosannya Membaca. Demikian juga tulisan ini. Maaf ... Saya telusuri jejak tulisan ini Dan menemukan fakta yang mengharukan. Alhamdulillah ... Si Aku masih dalam lindungan Allah SWT sehingga mampu keluar Dari kedzaliman meskipun terlambat.
    Terimakasih bunda .. Sudah berbagi semangat Dan cerita indah. Salam Buat teman-teman .. Para devise negara. Salut Buat bunda yang selalu membangkitkan semangat mereka.

    BalasHapus
  9. subhanallah, semoga akhirnya menjadi indah bundaku dengan lembaran baru,doa agus selalu menyertai bunda wlo jauh dimata tapi dekat dihati

    BalasHapus
  10. subhanalloh... masya Allah, jadi keputusan "resmi cerainya", baru yah bun...?

    Ya Allah, miris rasanya, sabar selalu yah bun.... masih banyak ratusan pasangan yg "resmi menikah" namun kenyataannya hidup bagai orang asing dalam RTnya. Sedangkan jutaan pasangan lain hidup mesra dalam nista karena tak pernah meresmikan pernikahan di hadapanNya, naudzubillah....

    Iringan doaku sllu buat bunda, semoga bunda selalu memperoleh kebahagiaan berlipat ganda saat ini, hingga akhirat nanti. aamiin Yaa Robb...

    *afwan bunda, (semoga saya tidak SARA), tetapi hampir semua teman (senior2)ku yg "memiliki kisah sakit hati tidak terkatakan perihnya" ketika "imamnya" adl sosok 'org seberang' yg bunda maksud...:-(, naudzubillah *

    BalasHapus
  11. Teh, ini sih tokoh "aku" dulunya udah pernah cerai belum sama suaminya?

    BalasHapus
  12. Anazkia; terimakasih telah mengirimkan doanya juga buat anak-anak, alhamdulillah, sayang dan empati yang diulyurkanmu serta sahabat sungguh beramakna; salam manis untuk teman2 di negeri jiran. Senoga terlaksana ya Bilik Sastra menyapa Malaysia nanti.

    BalasHapus
  13. Anonim ini samakah dnegan anonim yang di bawah, ya?
    Saya jawab ya, ini cerai kedua kalinya, pernah cereai pertama setelah menikah 11 bulan dan usia anakku belum genap setahun. Ya, si suami tersebut membawa perempuabn2 nbakal ke rumah kontrakan yang dikontrak dengan uang si aku.
    Begitulah lakon hidup! Semoga bermanfaat, alasanku menuliskan ini dan mewartakannya ke dunia tidak lain untuk berbagai dan menginspirasi.

    BalasHapus
  14. Agustini; ya uluran persaudaraan kita jauh lebih bermakna daripada sosialita dalam keluarga si halak hita tersenut.

    BalasHapus
  15. Bidadari Azzam; ota, sebelum lupa, naskahmu masuk dalam penilaian dewan juri, nanti akan dibukukan juga unyuk antologi Bilik Sastra nomer kedua, sabar ya nanti dikabari dan jangan lupa kirimkan kembali karyamu ke Bilik Sastra,

    Nah, iya baru resminya beberapa hari yang lalu, ibaratnya daku ini janda kembang masih hangat hihi...

    Anak-anak tak mau lagi ikut campur urusan ini, tetapi keduanya mendukung, sangat mendukung. Keduanya siap menhgamankan emaknya dari kejahiman seumur hidup.
    Bisa kita bayangkan, jika saya ngotot bertahan di rumah itu dan harus meladeni mereka berdua, apa bukannya lebih baik saya jadi babu bayaran saja, ya>

    Insya Allah, semuanya akan indah pada akhirnya, saya masih punya Alla dan hanya kepada Allah, kepada Allah semata kuserahkan segalanya.

    Terimakasih ya juga sahabat semua yang telah mampir, salam manis, salam perjuangan. Allahu Akbaaar!

    BalasHapus
  16. bunda, sejak awal membaca aku tau..ini kisah bunda sendiri. aku nangis bun.. alhamdulillah aku mgalami pernikahan yg sangat indah dn membahagiakan.
    bun, pasti ALlah akan ganti smua yg Bunda alami.. pasti bun, doaku selalu bunda
    smg selalu sabar dn iklas

    BalasHapus
  17. Farida: alhamdulillah, ya patut disyukuri dan selalu dipelihara dengan baik dan telaten penuh rasa cinta.

    Jangan mennagis, nanda, karena airmata tidak membenahi masalah, malah kita akan dapat masalah baru; kudu beli tisu terus buat menyusutinya, hehehe...


    Salam sayang ananda yang baik; luuuuv!

    BalasHapus
  18. duuuuuuuuuuu sediiiiiiih kayak sinetron, hiks

    BalasHapus
  19. Akhirnya.....
    Semoga tuntas derita hatimu lantaran lelaki itu, Kak. Mulailah hidup baru yang lebih tenang dan menyenangkan yaa...Amiin

    BalasHapus
  20. mudah2an saya tidak seperti laki2 itu yah bunda!!!

    BalasHapus
  21. Naqiyyah Syam: eeeh, peluuuuuuk! Terbalik heheheh, tidak apa deeek; semua ada hikmahNya, yakinlah itu!

    BalasHapus
  22. Iya, terimakasih doanya ya Desiyanti Anwar, insya Allah masih bertahan; semangaaaaaat!

    BalasHapus
  23. Basuni Azis; ya jangaaaaan, seorang lelaki sejati hatus mengikuti aturan yang agamis, nah; jadilah ananda lelaki sejati, imam yang baik buat anak-anak dan istrimu, doaku dari jauh nak.

    BalasHapus
  24. kisah yang sangar mengharukan bagi aku....karena aku juga sedang mengalami hal yg sama seperti cerita ini....

    BalasHapus
  25. "Aku" emang hebat banget yah... cuma heran aja, dulu prosesnya gimana kok bisa mau dinikahin sama lelaki itu... Lebih tepatnya heran sama lelaki itu, kalo cuma buat disia2in, kok mau2nya nikahin anak orang?

    BalasHapus
  26. ya Allah.... mbak..mbak... nangis saya mbaaaaak... semoga Allah memberikan kebahagiaan disisi yang lainnya..hmmmmm... I love u mbak..

    BalasHapus
  27. ya allah... kenapa ceritanya persis sekali dengan kisahku manini? aku masih mencoba bertahan di usia pernikahan yang k-2 ini manini,,, kelakuannya ko bisa persis gini ya?

    BalasHapus
  28. Nggak menduga kisah kehidupan Mbak Pipiet Senja begitu mengharukan.Benar-benar suatu perjuangan yang berat untuk melalui semua itu ya. Semoga saja semua ada hikmahnya...

    BalasHapus
  29. subhanallah.. perjuangan bunda begitu berat. bagaimana bunda bisa bertahan selama itu ?
    semoga Allah memuliakan bunda karena sudah berusaha untuk bersabar dan berbakti pada suami yang seperti itu.. aamiin

    BalasHapus
  30. subhanallah. masya Allah

    BalasHapus
  31. Bunda, saya pernah ketemu Bunda waktu masih kuliah di Malang dulu. Membaca tulisan ini, saya jd ingat ibu saya. Sedih sekali ... :(

    Semoga Bunda Pipit diberi kesabaran yang luas juga lekas sehat. Saya yakin Bunda Pipit sangat disayang Allah.

    BalasHapus
  32. 32 th bisa bertahan dengan model suami seperti ini... sungguh saya salut dengan wanita hebat itu bunda...

    BalasHapus
  33. salut untuk ibu Pipiet Senja.. saya pernah ada kondisi yang sama.. tepatnya ibu saya.. di saat beliau sakit tak berdaya di atas ranjan, bapak saya justru menikah lagi hanya untuk nafsu syahwatnya... dan ibu saya hanya bisa terima dengan alasan tak mampu lagi melayaninya..

    kalau saja ibu saya bisa setegas ibu pipiet..

    BalasHapus
  34. aku sungguh tak menyangka. sungguh. aku menangis... pilu. aku... apalagi kata-kata yang harus aku ungkapkan. Ya Allah...

    BalasHapus
  35. Salut atas ketegasan Bunda Pipiet...
    Dari pengalaman saya pribadi sebagai istri, perempuan memang harus mandiri, dan tegas, karna laki-laki bisa menyia-nyiakan perempuan kalau masih ada perempuan yang mau di-sia-siakan... Sudah seharusnya kita muslimah TIDAK mentolerir sikap NON-ISLAMI seperti zina atau KDRT, apalagi jika dilakukan oleh suami sendiri!

    Semoga Allah selalu menjaga, menyayangi dan melindungi Bunda Pipiet, amiin....

    BalasHapus
  36. Suami saya pun dulu sering bersikap tidak Islami, tapi alhamdulillah, sejak saya mulai bersikap tegas, dan terus ber-ikhtiar dengan doa, ia berubah menjadi jauh lebih baik.

    Pengalaman yang serupa dialami oleh ibu saya. Sejak ibu saya mengambil sikap tegas, bapak saya berubah ke arah kebaikan.

    BalasHapus
  37. Teteh walo qta tak pernah bersua..tp aq sering membaca karya2 teteh..menginspirasi...
    beberapa waktu yg lalu aq jg harus menghadiri sidang2 yg cukup melelahkan jiwa..seseorang yg padanya qserahkan seluruh hatiq memilih tuk memulangkanq hanya sepuluh bulan setelah berikrar menjadikanq istriy yg diawali dgn menyebut asmaNYA...
    salah satu pintaq padaNYA..smoga tak pernah terjadi lagi pada wanita manapun...

    BalasHapus
  38. subhanalloh selalu saya kagumi sosok aku di cerita ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget mbak.. sangat menginspiratif. :)

      Hapus
  39. MashaAllah Bunda, ketegaran Bunda...
    Allah Maha Melihat Bunda, dan tidak ada yang sia sia
    Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmad Nya untuk Bunda sekeluarga. Amiin

    BalasHapus
  40. Memang sungguh wanita super...

    terima kasih teh atas tulisannya

    BalasHapus
  41. Ma syaa Allah... sungguh sedih membacanya Teh Pipiet. Aku jd kagum dengan perjuangan teteh. Sedih sekali membacanya... :(

    BalasHapus
  42. Sabar Ya Teh Pipiet Senja, Allah SWT selalu bersama umatNya. InsyaAllah teteh bisa melalui semuanya ini...

    BalasHapus
  43. satu yang saya haturkan, teteh ada seseorang yang bernasib sama di rumah saya dia memilih bercerai diusia senja juga. Alhamdulillah dia kami selamatkan dari lelaki model begitu. Insya alloh walau dia sekarang lemah dan sensitif tapi dia aman.

    BalasHapus
  44. sangat luar biasa sekali sosok nya

    BalasHapus
  45. Subhanallah, sejak 8 tahunsilam mengenal karya2 bunda pipiet, baru sekarang saya tahu pasti kisah hidupnya. awalnya mengira hanya kisah fiksi, ternyata realiti. Semoga Yang Maha Kuat sellau memberi kekuatan.

    BalasHapus
  46. yg baik berdampingan dengan yg buruk,begitu juga sebaliknya.namun apakah semua orang mampu menjadi pemeran utama dalam hidup ini...? tentu tidak.apa lagi ini bukan hanya sekedar drama yg bisa kita kompromi dengan sutradara.
    saya hanya bisa mengucapka inalillahi....

    BalasHapus
  47. kisah yang sangar mengharukan bagi aku....karena aku juga sedang mengalami hal yg sama seperti cerita ini....

    BalasHapus
  48. MashaAllah Bunda, ketegaran Bunda...
    Allah Maha Melihat Bunda, dan tidak ada yang sia sia
    Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmad Nya untuk Bunda sekeluarga. Amiin

    BalasHapus
  49. benar ketika doa seorang istri pada Rabb Nya,menyatakan ingin mengabdi pada suami yang Allah berikan padanya dan mensyukurinya.
    Inilah contoh seorang wanita diperistri yang kelak boleh memilih masuk surga dari pintu manapun yang disukainya,pengabdian 32 tahun bersama suami dzalim,luar biasa sabar.
    memang ada 3 perkara istri harus melawan suaminya,karena suami haruslah imam yang dipanuti oleh istri,3 hal itu adalah:
    1.suami yang tidak mengerjakan perintah Allah
    2.suami yang melarang istri menutupi aurat
    3.suami yang melarang istri berkunjung ke orang tuanya

    BalasHapus
  50. Saya malah heran,knp pengaduan baik itu di penadilan/masyarakat selalu atau kalau tidak seakan dicegah, apa hrs menunggu dianaiaya hingga babak belur lahir batin si pengaduh. Kalau sy bukan orang batak bahkan jawa tulen, tapi mendengar kata pencegahan pun penghinaan dan merendahkan juga sy disuruh diam sj dari ibu hakim waktu itu sy murka semurka murkanya, sy sampaikan "tanpa banyak bicara pun seharusnya anda tahu apa yg terjadi, namun bila pendapat anda spt orang2 di luar sana maka turun saja dari situ" sambil sy menunjuk nunjuknya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama