Siska Bilang: Lelaki Macam Permen Karet Dikunyah dan Dibuang


Mohon doa sahabat: Semoga segera difilmkan

MEREKA rehat di sebuah kafe kawasan Dago. 
Sesuai janjinya, Siska mentraktir gadis-gadis centil itu. Mereka segera heboh menyerbu es krim favoritnya masing-masing. Sedangkan Siska ngeloyor mencari tempat sendiri. Duduk di bangku di bawah rindang pohon, matanya menerawang ke kota Bandung di bawahnya.

Gadis bermata bagus tapi dingin dan apatis itu, bungkam seribu bahasa.
Dikeluarkannya rokok favorit dari saku jaket kulitnya. Selang kemudian asap rokok bagai tak henti-hentinya disemburkan dari bibirnya yang merah menyala. Kelakuannya itu tentu saja membuat Maria penasaran. Walaupun baru menyadarinya setelah perutnya hampir gembung, kekenyangan.

“Mikirin apa sih, Sis?” Maria datang melakukan pendekatan.
“Hmm,” Siska menyemburkan asap sigaretnya ke wajah rupawan itu.
Maria seketika heboh mengusir serbuan asap rokok.
“Huh, gak kira-kira amat sih…”
“Ceritain detailnya cowok cool itu,” pinta Siska tak peduli.
“Cowok cool yang mana?”

Siska memelototinya. “Aku serius…”
“Wow! Kapan kamu pernah serius mikirin cowok sih?”
“Detik ini!”
“Menyalahi prinsip dan pedoman penghayatan hidupmu dong?”

Siska terdiam. Mereka tahu bagaimana sikapnya terhadap lelaki. Bagi Siska, lelaki seperti permen karet, bisa dibeli kapan pun dia mau. Dikunyah-kunyah, terus dibuang kapan pun bila dia sudah bosan.

Nafa, Santi, dan Nuke menghampiri keduanya.
“Kita balik ke kampus, apa gimana nih?”
“Huuu!” langsung disoraki.
“Jangan naif deh!” cibir Nuke.
“Ngapain lagi pake sok kuliah segala? Gak bakal ada yang ngarepin elo jadi sarjana.”

“Eh, heeh sih,” Nafa cengengesan. “Tiga kakak yang udah sarjana itu, malah bikin nyokap en bokap gue pusing! Semuanya nganggur! Ngeseks en nyimeng mulu kerjanya tuh!” urainya dibarengi tawa sinis.

“Kalo elo ngapain kuliah, Ke?” Maria melirik Nuke.
“Yeee… iseng aja lagi! Daripada bete di rumah, bisa-bisa digituan sama bokap tiri gue yang kegenitan itu!” sahut anak semata wayang Elsya, pemilik klub malam di Braga.

“Gue juga cuma iseng,” sambung Maria tanpa ada yang minta. “Mami en Papi berantem mulu. Bikin tiga saudaraku itu makin liar. Bernadette nempel terus sama bule. Annette nguber-nguber laki orang. Andrea lagi gandrung sama si Fredy….”

”Ya?” tukas Santi.
“Gosipnya dulu mantan elo si Fredy itu, kan?”

Nafa mencabut sigaret dari bibir Siska. Disedotnya dalam-dalam. Kali ini Siska tak peduli. Dia menyalakan sigaretnya yang baru.
“Udah dah, jangan ungkit masa lalu, pliiis...” elak Maria.

“Elo sempet diapain aja sama anak itu?” Siska meliriknya sekilas.
“Sialan!” Maria mencoba mencubit Siska, tapi angin yang kena.
“Huahaha, hiiiks...”

Kisah broken home dikuak tuntas sambil mengakak sinis. Menertawakan sekaligus menangisi kebobrokan moral keluarga masing-masing.

“Kita cabut aja, oke?!” Siska bangkit lagi semangatnya.
“Ocreh, Bos!” Cewek-cewek tengil itu kompak menyambutnya.

Mereka cekikikan, terkikih-kikih menuju mobil Siska.
Siska melarikan sedan bagusnya ke Ciater. Ceritanya mau menapak tilas. Melacak petualangan love-affairSiska-Fracois tempo hari.

“Mami selingkuh,” desis Siska, tak peduli dengan musik yang disetel keras-keras Maria dan teriakan genit tiga cewek di belakangnya.

Ia juga tak setuju dengan perbuatan jalang ibunya. Tapi hatinya selalu panas dan ingin berontak, bila ayahnya menyumpah dan mengutuki ibunya.


“Mami gak salah-salah amat. Waktu kecil aku tahu gimana pengorbanan Mami. Mulai dari menghibahkan warisan orang tuanya, demi melicinkan jalan karier yang diidamkan Papi. Sampai rela merendahkan harga diri, kongkalikong dengan para oknum di kalangan atas. Ketika Papi sukses, eeeh, semuanya berantakan!” celotehnya, terdengar mengambang bak memunguti kembali remahan nestapa jiwanya di masa silam.

Nama baik ayahnya cepat pulih, terbukti dengan kariernya yang semakin menanjak. Saat itulah ia melihat sesuatu yang aneh pada diri ayahnya. Tom Malela, detektip ayahnya yang khusus dibayar untuk keperluan-keperluan pribadi, mengungkapkan rahasia masa silam Bimo. Tentu saja setelah dirayu habis oleh Siska.

“Bimo pernah menikah dengan seorang perempuan kampung. Dia serius mengumpulkan informasi bekas istri pertama dan anaknya itu. Dia masih mencintai Maryam. Gelagatnya, dia ingin kembali kepada mereka!” lapor Tom.

Di kamarnya yang semrawut, sebuah rumah mewah di kawasan Ciumbuleuit. Kini Maria menatapnya iba. Baru kali inilah Siska mau mencurahkan isi hatinya.

“Papi selalu memantau kehidupan mereka. Suka memuji-muji mereka. Sementara aku semakin gak dipedulikannya. Kayaknya mau hidup kek, mau mati kek, bodo amat! Hatiku sakit dengan kenyataan ini, Ria, sakit!”

Panjang lebar gadis itu membongkar kisah keluarganya dalam keadaan cukup memprihatinkan. Wajah pucat tanpa polesan rias muka, mata kuyu, rambut acak-acakan. Asap rokok tak henti-hentinya mengepul. Baru dinyalakan sebentar, belum diisap langsung dibuang begitu saja.

Puntungnya berserakan di mana-mana. Menambah kotor dan semrawut kamar yang sesungguhnya mewah itu. Inilah keadaan paling jelek yang pernah dilihat Maria dari sosok Siska.

“Kamu tahu siapa anak Papi dari udik itu, hm?”
“Yeee… ya, gak tahulah!” Maria menggedikkan bahunya.

Siska melempar puntung rokoknya lagi ke lantai, menggesek-geseknya dengan kaki. Terbayang kembali di benaknya, pertemuan pertama dengan anak ayahnya dari perkawinan terdahulu. Pada acara Maulid Nabi Muhammad Saw.

Di aula kampus beberapa bulan yang lalu. Ia sengaja hadir di sana. Ia tahu dari poster dan spanduk yangmejeng dengan megah di pelosok kampusnya.

Ya, dialah anak Papi! Begitu cantik dan anggun dengan suara merdu menggetarkan kalbu. Penampilannya yang serba tertutup, jilbab putihnya yang lebar. Ia sungguh mempesona publik malam itu. El-Syifa Maryam!

“Ohhh!” Maria memekik, takjub. “Kusangka kamu iseng saja…”
“Iseng?” Siska bangkit dan tertawa sinis. “Bukan iseng. Sengaja! Ya, aku sengaja melakukan semua itu. Karena aku iri, cemburu, benci, dendam sekali sama anak itu!”

“Tapi apa salah dia sama kamu?”
“Dia sudah merebut perhatian dan kasih sayang Papi dariku dengan cara yang fantastis!” Siska mondar-mandir gelisah di depannya.

Maria bangkit menghampiri. “Tenanglah, kamu hanya terbawa perasaan, Sis. Dia mungkin gak tahu siapa kamu sebenarnya?”

“Justru itu. Dia memang gak tahu siapa aku. Tapi kami, aku dan Papi tahu persis siapa dia. Inilah yang paling kubenci!”

“Aku gak ngerti kamu,” desis Maria sambil menggelengkan kepala.
“Aku gak minta pengertian siapa pun!” desis Siska.

Maria tercengang melihat kebencian di mata gadis itu.
“Kuajak kamu ke sini buat curhatan. Kamu tahu kan, berbulan-bulan aku kubur sendiri masalah ini. Aku mencoba lari dengan caraku sendiri. Aku berontak dari aturan dan disiplin Papi. Keliling Eropa menghamburkan duit Papi, menggaet cowok-cowok bule. Pokoknya semua yang jorok-jorok dan mesum-mesum sudah pernah kulakukan!”

Maria melongo dan merasakan bulu romanya meremang.
”Nyatanya Papi ndablek, semakin gak pedulian sama aku!” Air mata mulai bercucuran hebat, membasahi pipi-pipinya yang pucat.
“Sis, sudahlah tenang dulu….”

“Huuuh! Aku frustasi berat nih. Kecewa, benci, marah, dendam!”
Siska melempar bungkus rokoknya yang baru dibuka begitu saja. Maria bergidik melihat kegeraman dan kegelisahannya. Ia bisa melihat bernas-bernas kesumat berseliweran di mata itu.

Tiba-tiba ia merasa ngeri sendiri. Siska telah kalap dan membabi buta. Firasatnya menderingkan sesuatu yang buruk.

Dara cantik berjilbab itu. Dia akan jadi titik sentral pelampiasan dendam!
“Aku pulang dulu, ya Sis?” katanya selang kemudian, takut-takut.

Mengingat kebobrokan gengnya, seketika kesadaran yang sudah ada di hatinya itu timbul kembali. Ya, sudah saatnya dia melepaskan diri dari pengaruh Siska dan gengnya.

“Kamu takut, ya anak manis?” Siska tertawa sinis. “Bukannya mo nyimeng dulu nih?”

”Bukan gitu, eh, nyimeng?” Maria tersentak kaget. “Aku lagi coba ngejauhin begituan. Ini beneran, Sis. Aku harus pulang, mo temenin si Andrea ke dokter. Kasihan anak itu, makin kesepian aja. Takutnya keluyuran lagi,padahal belakangan sudah jinak tuh anak!”

“Jangan banyak alasan deh. Pulang, pulang aja sana gih! Dasar pecundang lo! Haha!”
Maria lari meninggalkan gadis itu. Ia tak tahu mesti bagaimana menghadapi Siska setelah ini. Sebab ini sudah menyangkut traumatis jiwa, obsesi.

Ah, Maria jadi pusing sendiri. Awal gaulnya dengan Siska hanya sekadar pelarian dari rasa bosan di rumah. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Tapi setelah hampir enam bulan bergaul dengan anak konglomerat Jakarta itu, ternyata malah menambah mumet otaknya.
“Ugh, mending jalan sendirian lagi deh... Hei, taksiii!”

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama