Penghargaan Sastrawan Negara di Melaka





Menjadi juri lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh komunitas Padangdalampuisi, akhirnya menerbangkan saya ke satu tempat benama Melaka. Sebuah tempat yang pernah mengisi memori saya ketika duduk di bangku SD, sejarah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir.


Desember, 2011

Seketika teringat pula akan Tan Melaka, seorang tokoh pejuang Indonesia yang terlupakan, bak tergilas zaman. Entah apa hubungannya dengan Melaka sehingga namanya dikenal sebagai Tan Melaka.

Ketika beberapa bulan yang silam,  untuk pertama kalinya  berkunjung ke negeri jiran, saya tak sempat mampir di Melaka karena keterbatasan waktu, terutama tiada sesiapapun yang berkenasn mengajakku jalan sejauh itu.

Akhirnya bersama rombongan dari Padang; Sastri Bakry, Rusli Marzuki Saria, Muhammad Subhan dan tiga pemenang lomba cipta Padangdalampuisi, saya bergabung pula bersama Adek dari Payakumbuh dan Eka Budianta dari Jakarta.

Hari pertama acara dimulai di Rumah Pena di Kuala Lumpur. Para sasterawan (demikian mereka menulis dan menyebutnya) berkumpul, kemudian membacakan puisi masing-masing dalam gaya dan tuturannya masing-masing pula.

Karena saya bukan penyair, lagipula taklah membawa puisi satu pun, maka hanya sebagai penonton dan penikmat sahaja. Dinihari baru usai, rombongan langsung dibawa dengan sebuah van sewaan ke negara bagian Malaysia, yakni Melaka.

Hanya sekitar 3 jam sahaja kami rehat, paginya setelah sarapan roti cane dengan nasi lemak, makanan khas negeri jiran (masih belum terbiasa di lidah ini), rombongan diajak wisata keliling Melaka.


Muzieum Sastera, terletak di antara belasan Muzium yang ada, berkumpul dalam satu lokasi. Begitu menginjakkan kaki di kawasan Muzium Sastera, sungguh hati saya langsung berdecak-decak kagum.

Karya para sasterawan yang diakui sebagai Sasterawan Negara, semuanya ada di sini. Mulai dari zaman (jika di Indonesia) Pujangga Lama, Pujangga Baru seperti; Abdul Kadir Munsyi yang pernah saya kenal ketika di bangku SD. 

Karyanya ada dalam koleksi mendiang ayah saya yang seorang tentara, pejuang '45, tetapi sangat mencintai karya sastra.

"Pssst, Teteh, sini lihat," bisik Subhan, novelis Rinai Kabut Singgalang yang juga pengelola Rumah Puisi milik Taufik Ismail.
"Ada apa, Han?" tanyaku merandek.

"Ada sasterawan yang hanya punya 16 buah puisi dalam hidupnya, dia dianggap sebagai Sasterawan Negara. Karyanya yang 16 puisi itu berikut fotonya dimusieumkan

Saya tertegun-tegun, agak lama berdiri di depan sebuah etalase; Siti Zaenon. Penulis wanita yang mati muda karena gagal ginjal. Mungkin jika masih hidup dia sebaya saya.

"Teteh bukumu sudah ratusan, kira-kira mau dimusiumkan gaaaak?" ledek Adek membuatku hanya nyengir kuda.
"Memang apa saja yang diperoleh para Sasterawan Negara, Cikgu?" tanyaku kepada seorang rekan penyair di Kuala Lumpur.

"Yaaah, eloklah, ada tunjangan. Bila sakit, ada pula tunjangan. Bila diundang ke mancanegara, ya, ada pulalah tunjangannya."

Ya, masyarakat dan Pemerintah sangat menghargai makhluk bernama Sasterawan Negara ini.
Bagaimana dengan masyarakat dan Pemerintah NKRI?

Agaknya baru sebatas, seniman dituntut untuk mengabdi untuk karya dan negeri dan anak bangsanya sendiri,  tidak perlu mengharapkan balas jasa dari sesiapapun. Apalagi Pemerintah!

Sampai jumpa, Melaka!

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama