Minggu, 6 Mei 2012
Setelah transit dan inap di rumah Yudith Fabiola di Tampines Road, Singapore, akhirnya sampailah saya di Bandara Int’l Hong Kong tengah hari itu. Sebuah perjalanan panjang, unik dan baru sekali ini kulakoni, transitnya itu loh. Sempat dibuat kopdaran dengan beberapa pembaca buku saya, meskipun sedikit, tetaplah menyenangkan.
GM Dompet Dhuafa Hong Kong, Ahmad Fauzi Qosim telah memberi tahu bahwa akan ada yang siap menjemputku. Setelah mengurus bagasi: satu koper buku dan satu koper kecil berisi pakaian tak seberapa banyak, aku melenggang keluar kawasan boarding nyaris tanpa kendala. Seorang petugas perempuan dengan senyum ramah memanduku untuk keluar:”Haaaai, emkosay!” kataku lega sekali.
Ani Ramdhan, kru Majalah IQRO melambai-lambai dan tersenyum ramah. Sambil memelukku erat-erat gadis berkerudung manis itupun membisikkan kata-kata menyenangkan di kupingku: ”Selamat datang di Hong Kong, Teteh. Kami selalu kangen dan mendoakan Teteh agar tetap sehat dan tak bosan; menyebar virus menulis.”
“Kita langsung ke acara, ya, kata Ustad Fauzi?” tanyaku sambil menjejerinya, mencari pintu keluar menuju terminal. Tempat bis yang bisa mengangkut kami ke pelosok negeri beton.
Ani Ramdhan tersenyum, kemudian mengamati wajahku dengan terheran-heran.” Waduuuh, Teteh ini semangat sekali ya. Istirahat dululah, makan siang, baru kita ke Tin Hau Art.”
Kami naik bis 11 A yang nyaman menuju Causeway Bay. Kutahu ada acara UNIMIG dalam rangka Mayday; diskusi BMI dengan pengurus UNIMIG, beberapa aktivis BMI: Mia Sumiati, Saringatin, Susie Utomo, Riri dan seorang anggota Dewan.
Tumben, pikirku, setahuku baru kali inilah ada anggota Dewan yang berkenan turun, langsung temu muka dan dialog dengan BMI Hong Kong.
Biasanya, seperti sering kupergoki pada kunjunganku sebelumnya; rombongan Dewan hanya diskusi di KJRI, kemudian mereka raib, gegas hengkang dari Hong Kong. Kalau tidak menuju Macau ya pastilah ke Shen Zhen atau Guang Zhou.
Seakan-akan urusan BMI Hong Kong hanyalah sekadar tempelan dari serangkaian acara blanja-blanji, pikniknya, eeeh, studi bandingnya memang sebatas kedok belaka.
Kami sampai di Causeway Bay, di depan KJRI banyak BMI sedang demo; orasi lantang dan menyanyikan lagu bunyinya antara lain:”Kami ini punya siapa? Kami ini punya siapa? Kami ini tak punya siapa-siapa-siapa, tralalalalala!” Maknanya bisa Anda rumuskan sendirilah, oke Gan!
Makan siang, rehat, solat dan langsung minta diantar ke tempat acara. Kangen kepada anak-anak BMI yang kukenal, sekaligus penasaran; siapa gerangan anggota Dewan yang tidak melalui protokoler KJRI ini?
Untuk mencapai gedung Tin Hau Art, kami harus melalui kampung Jawa bernama Victoria Park. Hari Minggu, offday, selalu dipadati anak-anak BMI yang didominasi berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ada saja pemandangan seronok, aneh-nyeleneh seperti; anak-anak berpakaian dan berkelakuan tomboy alias kaum cinta sejenis. Sepasang sejoli sedang berpelukan erat, yang satu sengguk-sengguk menangis, agaknya mereka akan berpisah;”Gudbay gudbay maylope.”
Satunya lagi sibuk menghibur, membujuk sambil menyusuti airmata di pipi-pipi dan sesekali dia kecup bibir pasangannya tanpa sembala alias tak perlu malu-malu lagi. Sebab pemandangan demikian sungguhlah telah biasa di Victoria Park.
Semakin memasuki kawasan yang juga dikenal sebagai Kampung Jawa ini, maka kita akan semakin banyak melihat pemandangan menarik, menurut mata senimanku. Mulai dari sekelompok BMI sedang tahlilan, berpegangan tangan dengan mulut komat-kamit, entah apa yang dibaca, lingkaran perempuan menanti pesanan bakso, rujak dan berbagai penganan sampai merubungi perpustakaan gratis.
Ini harus pake trik, jangan sampai terlihat Pakde, sebutan untuk polisi, kita mengeluarkan uang yang beraroma jual-beli. Larangan keras menurut hukum Hong Kong, BMI hanya bekerja sebagai pembantu, tidak boleh merangkap berjualan.
Namun, karena orang Indonesia terkenal piawai menyamarkan segala hal, ya, aroma jual-beli pun tak tampaklah. Tentu hal ini telah berjalan lama, sejak mereka berada di negeri beton. Indonesia gitu loh; cincaylah!
Di bawah jembatan, tampaklah seorang lelaki paro baya dikerumuni anak-anak BMI, satu per satu mereka beringsut, menyodorkan tangannya.”Ramal, ya Tad, ramal kita!” katanya sambil tertawa-tawa dibarengi rekan-rekannya.
Agaknya si lelaki paro baya itu, orang Indonesia, memang sengaja datang ke Hong Kong dan berkarier sebagai “terkun” alias dokter dukun sekaligus peramal. Belakangan kuperoleh berita tentang merebaknya; ustad-ustad jejadian, gadungan yang semakin hari semakin banyak berkeliaran di Hong Kong.
“Nah, orang yang mengaku Ustad dan terang-terangan kepingin disebut Kyai itu, menyanggupi bisa memperbaiki posisi BMI di mata majikan. Atau berjanji akan menyembuhkan penyakit, jika BMI membeli benda-benda berkhasiat; tasbih, cincin atau kalung dengan harga berkisar antara 1000 sd 30 ribu dolar HK!” jelas seorang rekan BMI.
“Mereka, eeh, teman-temanmu itu mau saja?” tanyaku penasaran.
“Ya, percaya saja. Padahal harga tasbih, cincin atau gelang jimat itu palingan di Mongkok seharga 10 dolar HK saja.”
Eh, masya Allah! (Pipiet Senja, Causeway Bay)
@@@
Posting Komentar