Citayam, Jumat, 25 November 2011
Mengantar Ze yang Penuh Pengertian:
Sejak Jumat, 25 November 2011, aku sudah berkelindan dalam gerak yang tiada henti. Pagi sekali telah berangkat dari rumah anak di Citayam, sempat mengantarkan cucuku si Zein ke TK.
"Manini, mau nunggu apa pergi dulu terus nanti jemput Zein?" tanya bBlita yang sudah mahir baca buku cerita, spesial kutulis untuknya; Serial Balita Muslim 12 episode.
"Maafkan, ya Nak, Manini...."
"Oooh, Manini mau nunggu ya?" tabaknya penuh harap."Kalau mau nunggu, waktunya agak lama tuh, Manini. Lagian hari ini Ze UAS, jadi jangan ganggu ya...."
Aku tertawa dalam hati, geli banget!
"Emang UAS itu apa artinya, Manini?"
Hadeuh!
Akhirnya, kujelaskan bahwa aku tak bisa menantinya dan tidak bisa pula menjemputnya. Sebab aku harus ke acara Bedah Buku, lanjut besok akan ke Jogja. Ze anak yang sangat pengertian. Dia tak pernah memaksakan kehendak, kecuali jika urusan hobinya minta dibelikan mobil mini. Hihi.
"Dadah Zeeeee....:
"Dadah Manini!" Dia memelukku erat-erat, kucium wajahnya dan membalas erat pelukannya. Kami pun berpisah tepat pukul 07.30 di pekarangan TK Malika Zahra.
@@@
Bedah Buku Menoreh Janji di Tanah Suci di PDS HB Jassin.
Acara di PDS HB Jassin, mempertemukanku dengan para sahabat terbaik dalam hidupku. Mereka tak pernah lupa jika diundang niscara datang, tidak seperti lainnya; aku sengaja datang ke acara mereka, tetapi tak pernah dibalas. Ya, begitulah, sebuah persahabatan semu.
Kali ini acaraku dihadiri oleh Linda Djalil, Omjay dua kompasianer baik hati. Bergabung pula ketua FLP Hong Kong Rihanu Alifa yang sedang cuti, jauh-jauh dari Purwakarta naik Argo Mulya, katanya.
Ada Ida Raihan, novelis mantan BMI HK yang kini sedang melanjutkan perjuangannya di Ibukota. Yana Agung, volunteer Dompet Dhuafa HK. Kini sedang hamil muda, wajahnya berseri-seri.
Eeeeh, ternyata ada Okti Li, BMI Taiwan yang sedang cuti juga.
Tampaklah timnya Rizki dari RCTI segera mewawancarai para BMI itu seputar Terminal 4 dan KTKLN Reunian BMI Timur Jauh nih jadinya.
Catatan; acaranya bagi saya tetaplah bagus dan sukses, karena bisa bertemu dengan para sahabat sejati. Bahkan Bang Leon Agusta, kali ini sama sekali tidak membantai karyaku.
Dia menyampaikan rasa salutnya atas konsistensi, disiplin dan kreativitasku yang menurutnya; menulis bagi Pipiet Senja sudah merupakan ibadah, perjuangan yang harus senantiasa dijalani. Jadi, tidak perlu lagi mempertanyakan; di mana posisi Pipiet Senja dalam kesusastraan Indonesia.
Yaaah, terima kasih Bang Leon!
Telah kulupakan smeua "pembantaian" anda di masa silam. Hehehe, damaaaai, jelang lansia.
Ini sekaligus membantuku, menjawab pertanyaan Remy Novaris perihal posisi Pipiet Senja. Hehehe.
Terima kasih, ya para sahabat yang telah ikhlas berkenan hadir di acara bedah buku saya yang; senyap dari pengunjung dan pembeli buklu. Begitulah!
@@@
Malam ini, terpaksa aku harus memutuskan tidak pulang ke rumah di Depok. Karena subuh sudah harus terbang ke Jogja dengan pesawat. Bandara Cengkareng tentu saja lebih mudah dijangkau dari kawasan Rawamangun daripada Depok.
"Teteh mau inap di rumahmu, ya Rosi," kataku melalui telepon kepada seorang karyawan Zikrul Hakim, tepatnya penunggu Toko Buku ZH di kawasan Rawamangun.
Dan aku sempat terkaget-kaget dengan suasana kos-kosannya. Letaknya di belakang Velodrome, menyusuri gang demi gang melalui celah kecil yang diberikan oleh pihak UNJ. Kawasan yang kumuh dengan aroma khas; kemiskinan!
Lebih miris lagi begitu memasuki ruangan 3 kali tiga, dihuni oleh ibu dengan dua anaknya. Dalam diam aku ingin menangis, entah bagaimana caranya bisa membantu janda miskin yang telah ditinggal begitu saja oleh lelaki tak bertanggung jawab, demi perempuan lain.
Aku tidur bergeletakan di samping anaknya yang remaja dan tempohari nyaris di DO, karena belum membayar lunas dana sekolahnya di SMK swasta.
Karena terlalu lelah akhirnya dugsek juga, tidur tanpa mimpi buruk, terbangun sekitar pukul tiga dinihari, kebiasaan. Langsung ke kamar mandi dan membersihkan badan, serasa segar jua akhirnya usai mandi.
Laptopku si BNQ ngadat, harus diinstal ulang, terkena virus, alamaaak!
Begitu kulihat jam sudah pukul lima, aku pun meloncat baru menyadari pesawat terbang pukul 07.35. Diantar Lia ke arah jalan raya, lumayan ngesang!
Ternyata cepat juga Damri dari Rawamangun ke Bandara Cengkareng, hanya memakan waktu 40 menit, alhamdulillah. Masih bisa ngenet, bersyukur nian, sempat kuediting naskah kolaborasi: Tertawa dan menangis TKW Hong Kong.
@@@
Singkat cerita sampailah diriku di tanah Jawi, Jogjakarta yang sering kurindui karena nuansanya yang unik dan pesona Sultan. Hmmmm. Panitia menjemput dengan mobil pribadi, tiga adik mahasiswa menemani, kami pun membelah jalanan yang masih lengang.
Eeeeh, mendadak mataku melihat dua orang pengamen bencong di pinggir jalan. Sepagian begini, keduanya sudah mengenakan busana yang seronok; miniskirt, stoking, atasnya kaos ketat memamerkan dua gunung yang nyaris meledak; dhuuaaar!
Rambut keduanya dibonde ajaib begitulah. Seorang membawa kecrek-kecrek, temannya gitar buatan yang berbunyi; jreeeeng, jreeeng ngasal!
Aku jadi teringat, satu kali membawa emakku ke Surabaya dengan kereta ekonomi dari Bandung. Selama 20 jam perjalanan itu, ada seorang bencong pengamen yang selalu menyanykan lagu; weeeerrrr weeeerrr keweeer keweeer!
Yang bikin kita geuleuh alias jijik bin geli juga adalah gerakannya; dia meliuk-liukkan badannya, geol-geol pinggul dengan hebat, kemudian sesekali berjongkok dengan kaki-kaki yang dikangkang; saat itulah siapapun bisa melihat burungnya melambai-lambai!
Selama di Jogja sampai keesokan harinya, aku masih menemukan lagi beberapa pengamen bencong dengan dandanan beraneka ragam. Ada yang mengenakan kebaya, masih mending ya nyopan. Tapi tetap saja ada yang mengenakan busana seronok dengan memamerkan aurat, kepunyaannya yang entah mau memilih apa gerangan; yang satu itu atau dua-duanya?
Alamaaaak!
Sudah dulu, ya, nyambung!
Posting Komentar