Mengapa Papa Selingkuh, Ma?


Episode I

Novel Meretas Ungu


Cahaya mentari petang masih bertengger di kawasan Lembang, Bandung. Diah, wanita berumur 40-an, tampak sedang sibuk menerima para pelanggannya, tiga orang perempuan bandar kembang. Mereka menyetor hasil penjualan kembang yang dibelinya dari kebun Diah subuh tadi.

Dalam beraktivitas, pemilik industri rumahan itu dibantu oleh seorang remaja, famili jauh yang telah lama ikut bersamanya. Sehingga Diah telah menganggapnya sebagai bagian anggota keluarganya.

“Imas, tolong disuguhi atuh Bik Kenoh sama teman-temannya ini,” pinta wanita berbusana sahaja, batik lengan panjang dengan ciput1 menutupi rambutnya yang panjang.

“Mangga, Mi, ke sakedap bade dipangnyandakkeun citeh haneut sareng lalawuhna2,” sahut anak perempuan berumur 15-an yang dipanggil Imas, seraya bangkit dari kesibukannya menyirami kembang.

“Nggak usah, Neng Imas, kami mau pamit aja!” ujar Bik Kenoh, perempuan paro baya, diikuti dua temannya meninggalkan tempat itu. 

"Iiih, ini anak bukannya dari tadi disuguhi…. Duh, maaf, ya Bik Kenoh, Ma Kesih, Nyi Titi,” ujar Diah menyesali keterlambatan Imas. Anak ABG itu hanya cengengesan.

“Wios lah3, Neng Diah. Biasanya juga belum apa-apa sudah disuguhi bolu sama Neng Imas,” Ma Kesih menenangkan hingga Diah tersenyum lega.

“Sudah, ya, beneran nih…, kami pamitan!” Mak Kenoh menggiring kedua rekannya seraya beruluk salam.

Diah dan Imas mengantar para pelanggan dengan tatapan hingga pintu gerbang. Tiba-tiba sebuah kendaraan pribadi memasuki pekarangan rumah besar, yang dikelilingi kebun kembang seluas lima ribu meter persegi. 

Seraut wajah menor melongok dari jendela Jimny merah. Ia melepas kacamata riben hitamnya, kemudian turun dari kendaraan dengan gerak-gerik angkuh. Selang kemudian ia diikuti oleh seorang wanita muda, berpakaian perawat yang mengendong anak laki-laki berumur lima tahun.

“Siapa mereka, ya?” desah Diah sambil memperhatikan pendatang.
Bik Kenoh dan teman-temannya pun meluangkan waktu sejenak, sekadar memperhatikan tamu yang berdandan gaya bintang sinetron itu.

“Paling mau borong kembang kita, Umi,” ujar Imas sambil membetulkan jilbab kaosnya yang miring kiri-kanan. “Biasaaa…, orang kaya dari Jakarta!”
“Oh, tapi…” Diah tak melanjutkan kalimatnya.

Entah mengapa, sekonyong ada yang menggetar-getar aneh di ujung kalbunya. Apalagi ketika pandangannya jatuh ke wajah anak laki-laki yang kini diturunkan dari gendongan baby sitter-nya. Wajah cilik yang imut-imut, ganteng dengan sepasang alis lebat, mata yang tajam bak elang.

Ya Tuhanku, kesahnya membatin.
Untuk sesaat Diah hanya terperangah. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut-kerut. Oh, oh, raut wajah itu mengingatkannya kepada seseorang yang sangat dekat!

“Mi, lagaknya somse amat, ya?” komentar Imas membuyarkan keterpanaannya.

“Eeeh, pssst…, nanti kedengeran sama orangnya!”
Sosok cantik itu melenggang ke arahnya, masih dengan gaya selebnya. 

Kadang jari-jemarinya yang lentik dengan kuku-kuku bercat ungu itu mempermainkan kacamata ribennya, dan menggigiti ujung tangkainya. Kadang pula ia main plarak-plirik ke sekitarnya. Seolah-olah sedang menaksir berapa nilai jual rumah dan kebun kembang ini?

“Mmm…, ada yang bisa kami bantu, Dik?” Diah tak tahan untuk menghampirinya, menyapanya dengan ramah.

“Boleh kan kalo mau lihat-lihat dulu?” dengusnya tanpa menunggu jawaban, melanjutkan inspeksinya.

Ia melenggang ke arah gerumbulan bunga melati. Berhenti tepat di tengah gerumbulan melati paling indah di kebun kembang itu. Tiba-tiba ia membungkuk, lalu memetiknya secara serabutan, menciuminya sesaat, meremasnya gemas dan…, membuangnya begitu saja!

“Masya Allah!” Imas setengah terlonjak hendak menghampiri tamu tak tahu perikebungaan itu.

Namun, Diah cepat-cepat mencekal pergelangan tangannya.
“Pssst, biarkan saja!” lirihnya.

Sesungguhnya ada yang tercabik di ujung kalbu Diah. Mirip nasib serumpun melati yang kini berserak, bahkan terinjak-injak hak sepatu lancip perempuan menor itu. Kelihatannya ia masih akan melakukan eksyennya, apabila tidak terganggu tangis anaknya.

Dengan kesal dihampirinya baby sitter yang gugup itu. Ternyata bukan untuk menanyakan keadaan anaknya, tapi mengomel-omel dengan suara keras. Karuan si anak menangis kian menjadi-jadi.

“Diaaam! Hei, Sri, diamkan anak itu!” sergahnya galak sekali.
“Eh, iya, iyyyaa… Tante,” si Mbak gugup sekali, berusaha keras menenangkan anak majikannya yang galak.

“Kalau ngana seng bisa kerja…, pulang ke Jawa sana!”
“Maaf, nyuwun pangapunten…. Pssst, cup, cuppp,” Sri semakin gugup, wajahnya pucat bak mayat.

“Bantu dia, ayo,” bisik Diah kepada Imas.
Imas pun terlonjak dari keterpanaannya, kemudian cepat-cepat menghampiri remaja sebayanya itu.

“Kita main ayunan, yuuuk!” ajaknya ramah.
“Iya, pigi sana kalian, pigi jauh-jauuuuh!” usir sang nyonya judes.

Ketika Imas telah menyenangkan kedua tamunya, bermain ayunan di samping rumah, Diah seolah tersadar kembali. Ia sedang kedatangan seorang tamu cantik, angkuh dan kasar.

“Silakan, mau duduk di mana, Dik?” sapanya ramah.
“Di dalamlah, masak iya mo ngobrol di luar?” balik menyergah, sehingga untuk beberapa jenak Diah terperangah.

“Baik, silakan masuk,” katanya sesaat meraih ketenangan hatinya.

Diah masih terpana setelah mendengar maksud kedatangan si menor yang mengaku bernama Meiske Raturandang itu. Aku pasti lagi mimpi, jeritnya dalam hati. Ada yang mulai berguguran jauh di ujung kalbunya. Kepercayaan dan keyakinan!

“Taaa-pi… Suamiku…,” gagap Diah nyaris panik.
“Aku tahu,” dengus Meiske dingin. “Tentu saja suamimu yang juga suamiku itu nggak ada di sini. Dia lagi sibuk ngurusin perceraian kalian!”

Diah bagai tersengat megawatt. Ia melotot kaku. Meskipun selama ini ia sudah sering juga merasakan keganjilan sikap lelaki itu. Pada saat-saat tertentu menghilang begitu saja, tanpa kabar berita. Bila ditanyakan alasannya selalu sama; bisnis!

Sekitar lima tahun yang lalu, Parlin memutuskan membangun pertokoan di Surabaya. Sejak itu pulalah Parlin sering bolak-balik ke Jawa Timur. Bahkan memiliki apartemen sendiri di tengah pertokoannya itu, konon, agar memudahkan urusannya. 

Sebagai seorang istri, Diah bukan tak pernah tergerak untuk memikirkan… sesuatu di balik ketakwajaran tingkah-polah suaminya.

Namun, Diah telah memutuskan untuk memberikan seluruh kepercayaannya kepada lelaki itu. Keyakinan dan kepercayaan, rasanya tak mungkin dikhianati. Buktinya, Parlin tetap mengasihi ketiga putri mereka, selalu memperhatikan kebutuhan keluarga.

Sementara ia semakin asyik dengan bisnis kembang yang telah digelutinya sejak remaja, jauh sebelum menikah dengan Parlin. Bahkan rumah yang asalnya kuno dan nyaris rubuh warisan mendiang ibunya, kemudian direnovasi dan diperluas tanahnya.

Ini sungguh bisnis yang sangat berkah, ucap Diah selalu kepada para pelanggannya. Dan kehidupan berjalan sedang-sedang saja, dalam artian tidak mewah tapi juga tidak kekurangan. 

Diah tak pernah mempermasalahkan penghasilan suaminya. Berapapun pemberian lelaki itu, ia akan menerimanya dengan perasaan bersyukur. Ia telah terbiasa mandiri. Bahkan beberapa tahun setelah pernikahan, justru dirinyalah yang menafakahi keluarganya.

Kala itu Parlin masih mahasiswa di perguruan tinggi swasta kota kembang. Tak lama setelah mengantongi gelar sarjana ekonomi, ia digaet rekannya untuk mengelola bisnis swalayan.

Meskipun Parlin telah mapan, ia masih terpaku pada kebiasaannya semula. Hanya akan memberi biaya sekolah anak-anak, tapi nyaris tak pernah memberi belanja untuk istrinya.

“Sebentar…,” gagapnya kini dengan bintang-gemintang yang mulai menari-nari di pelupuk matanya. “Suami…, Bang Parlin lagi sibuk apa?”
Mulutnya mendadak serasa kejang!

“Alaaah, gak usah sok kaget gitulah!” cetus Meiske sinis. “Emang aku gak tahu apa, suami kita itu kan sudah lama gak pulang ke sini. Kamu aja yang masih berlagak jadi ibu rumah tangga sempurna. Coba, ingat-ingat lagi! Sudah berapa lama Bang Parlin gak pulang ke sini, heemmm?”

“Aaa…, tiga bulan?” akhirnya tercetus juga dengan susah payah pernyataan itu dari mulutnya yang masih terasa kejang.

Meiske tertawa kejam. “Naaah! Memangnya kau pikir apa yang bisa dilakukan seorang lelaki dalam tempo tiga bulan di luaran sana? Tanpa ada yang mengurusi segala keperluan…, lahir dan batinnya? Sudahlah! Jangan berlagak pilon!”

“Adik, hentikaaan!” 
Bahkan Diah tak mempercayai ucapannya sendiri. Namun, ada kekuatan yang perlahan mendesak, mengalir dari dalam dadanya. Perlahan tapi pasti terus mengalir, mengalir… Sebuah perlindungan diri!

“Oke, mau tahu apa yang kuinginkan?” Meiske tak peduli.
“Coba saja katakan!”

Kali ini Diah merasa secuil kekuatan itu mulai menyingkirkan keterkejutannya. Sebuah topeng dalam sekejap terpasang di wajahnya. Topeng kepura-puraan!

“Yeah…, sekarang Anda sudah tahu semuanya. Seharusnya Anda paham dong apa yang kuinginkan. Setelah kalian bercerai nanti, gak lama, sebentar lagi….”

“Baik, katakan saja terus terang!”
“Oke! Biarkan kami hidup berbahagia bersama si kecil!”
“Itu yang dikatakan ayah anakmu?”

Sungguh, Diah mulai tak sudi membasahi bibirnya dengan istilah Abang, Yayang, Suamiku. Tidak! Lelaki itu telah menduakan cinta dengan perempuan ini! Lelaki itu telah menjadi seorang ayah dari seorang anak laki-laki. Dan itu telah berlangsung selama…, lima tahun!

“So, kita sudah menemukan titik temu kaaan? Deaaal?”
Diah tak menyahut. Ia membiarkan perempuan itu mencetuskan apa yang disebutnya sebagai gagasannya yang cemerlang. Sudah saatnya memiliki Parlin seutuhnya, berikut segala harta yang dimilikinya….

“Umiiiii! Umiiii…!”
“He, salamlekoooom…, gitu!”
“Eh, iya, salamlekoooom….”
“Gituuuu!”

Si sulung, Najla, mahasiswi Teknik Informatika ITB, diiringi oleh kedua adiknya. Mereka terbiasa pulang bareng. Kebetulan sekolah Najli dan Butet tak berapa jauh dari kampus sang kakak.

“Biar aman-suraman atuh! Kalo ada apa-apa, lawaaaan bleeeh!” demikian kilah Najla, dengan gayanya yang tomboy, cuek-bebek.

Sering Diah mengherani tingkah-polah si sulung. Dara jelita mirip Inneke Koesherawati sweet seventen, semester dua dengan IPK nyaris sempurna, mengenakan jilbab sejak duduk di bangku SMP. Dikenal sebagai mentor paling komunikatif, aktivis Rohis mumpuni, istilah Femi, sobatnya. Sebab seakan tak ada wilayah yang bisa menghalangi gerakannya.

Konon, para birokrat kampus bila sudah berhadapan dengan Najli, biasanya lebih suka cepat-cepat menyetujui proposalnya daripada menundanya. Siapapun tahu, anak ini sanggup menggerakkan massa. Ia juga memotori beberapa buletin bergengsi kampusnya.

Najli lain lagi. Anak kelas tiga SMU ini paling bijak di antara saudari-saudarinya. Wajahnya putih bersih mirip sang bunda, belum lama dijilbab. Kepingin sekali menjadi seorang praktisi hukum. Kutu buku berat, pantas dia menguasai berbagai macam bahan perdebatan; baik yang sedang hangat maupun yang menyangkut asbabunuzul, sejarah, politik dunia.

Najli inilah yang suka menjadi wasit bila kedua saudari berantem. Si bungsu yang masih juga dipanggil Butet, nama kesayangan orang tua, ternyata tak jauh beda dengan sulungnya. Meskipun tak setomboy Najli, tapi dalam hal aktivitas…. Hampir semua eskul di SMU diikutinya!

“Aku akan menyamai prestasi Teteh!” tekadnya sesumbar suatu kali di hadapan ibu dan saudari-daudarinya.
“Emang bisa?” goda Najli.
“Bisaaa! Harus bisaaa!”

“Coba aja kalo bisa Teteh hadiahi…, si Mio!”
Tapi si Mio, motor bersama itu, siang tadi baru mereka ketahui mengalami tabrakan waktu dipinjam teman Butet. 

Sebetulnya Najla marah sekali, sebab Butet tak minta izin dulu waktu meminjamkannya. Hanya pas mendengar akibat tabrakan yang menimpa Rona…. Anak laki-laki itu sampai harus diamputasi sebelah kakinya!

“Sudahlah, kita ikhlaskan saja si Mio. Jangan dimintai ganti rugi lagi sama temanmu yang malang itu,” kata Najla muram.
“Yeee…, lagian siapa yang mo minta ganti rugi?” Butet merengut.
Karuan Najla kesal melihat ketakpedulian adiknya.

“Pokoknya, kamu harus buktikan sesumbarmu, Deeek!”
“Oyeee…, kenapa nggaaak?”
Untuk beberapa jenak keduanya berhadapan frontal!

“Pssst, kalian ini sudah atuuuuh! Jangan berantem mulu, maluuu, aah, maluuuu!” Najli buru-buru menengahi.

Tiba-tiba ketiga dara itu menyadari betapa suwung dan senyap rumah mereka sore itu. Ke mana Ummi yang biasa mereka temui sedang sibuk mengomandoi Imas, menyirami kebun kembang?

“Gak adaaaa?” cetus Butet keheranan.
“Ngaji ‘kali,” Najla sambil menghampiri kulas, mengambil minuman dingin. Gleeek, gleeekkk!

“Kayaknya gak, liqohnya kan sekarang hari Selasa pagi,” bantah Najli sambil mengitari ruangan, kemudian melongok ke kamar ibunya.      
Upsss, dikunciii!

Bersambung




1 penutup rambut seperti topi
2 “Iya, sebentar, Mi, nanti diambilkan air teh hangat dan penganannya.”
3 Biarlah.

4 Komentar

  1. belum saja sampai pada ceritanya,,baru terbaca judulnya,,telah mengurai air mata,,sebuah pertanyaan yang pernah tersampaikan,,sama persis,,

    ditunggu kelanjutan ceritanya bunda :)

    BalasHapus
  2. Kelanjutannya apa bunda? (ga sabar neh.... )

    BalasHapus
  3. risauan persona; kelanjutannya ada di novel Meretas Ungu, sila mau pesankah? Stok terbatas!

    BalasHapus
  4. Putri Birtu; Meretas Ungu, hardcover kereeen nih buku satu-satunya yang dipakein kover bagus!

    Bisa pesan langsung ke staf saya ya; 085669185619

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama