Film Rumah Tanpa Jendela: Sebuah Tembang Lara yang Indah Buat Rara dan Aldo




Senin, 7 Maret 2011
Masih pagi sekali, ketika asyik ngetwitt Tias Tatanka, urusan Bedah Buku karya BMI Hong Kong, tiba-tiba masuk DM dari Asma Nadia.

"Teteh ada acara gak siang ini? Asma traktir nonton bareng film Rumah Tanpa Jendela di Detos, yuuuk? Kalau oke,... pkl 14 45, SMS ke nomer ini ya...."
Wow, sosok muslimah, salah satu pendiri Forum Lingkar Pena yang sedang naik daun di dunia perfilman belakangan ini. Dialah sobat FLpers selain Dianti dan Hikkaru yang meluangkan waktunya, membesukku ketika diriku sekarat, 2009.

Maka, tanpa pikir panjang lagi, tidak peduli detlenan editing naskah karya seorang BMI HK, aku pun segera SMS; "Mauuuu banget Dek. Tapi boleh ya kuajak Bertha Siagian, BMI HK yang lagi inap di rumahku, pliiiiiis!"

Asma membalas pula dengan cepat,"Oke, jadi berdua ya. Sampai jumpa!"
Bada zuhur aku pun meluncur ke Detos, yakni Depok Town Square. Diantar Butet dengan mobil kami. Butet sempat meledekku, "Mama, semangat amat, ya? Jangan-jangan nih, jangan-jangan, mo ngedate yeee....hihi!"
"Iya dunk, jangan-jangannya ngedate sama sesama jenis nih!" sekalian saja kubalas candaannya.

"Uhuuuuuk!" Butet nyengir, menurunkanku tepat di bawah jembatan Detos.
"Hati-hati, ya Nak. Gak perlu dijemput. Bisa pulang sendiri!" seruku sambil dadah-dadah gaya anak gaul saja.
“Kepagian tahu, yeeeeh!”
Benar saja, ini baru juga pukul 12.30. Rajin amat yah dakuw!

Jadi, aku keluyuran dulu mencari-cari buku yang bisa kunikmati. Tidak jadi, baru ingat duit tunainya sedikit. Kemudian aku nongkrong saja di lantai dua, buka laptop dan; kembali ke laptop!
Entah beberapa lembar, tidak kuhitung, ini masih urusan novel berat yang baru 250 halaman kugarap. Padahal maunya setebal Musashi. Hadeuh, mimpi ‘kali ya dakuw!

Bertha datang pukul 13.15, semalam menginap di gerobak pasir, katanya. Apaan tuh? Gerombolan Batak Payah Diusir. Ops, sumpe deh, boru Batak satu ini kalau ngomong ceplas-ceplos. Bisa perang SARA.

Coba saja, waktu kami belanja ikan di Hypermart. Melihat yang membersihkan ikan nguyek dan lama, spontan saja dia komentar begini: “Bah! Lama ‘kali dia itu bersihkan ikannya, ya Eda. Salah rupanya dia memotongnya, seharusnya begini, bla, bla, bla….” 

Karuan yang membersihkan ikan kulihat langsung manyun bibirnya. Masih untung dia tidak ngegaplokkin tuh gurame gede ke muka kite.

Lanjut ke Film Rumah Tanpa Jendela, ya Sis!
Karena tidak kulihat orang Annida Online, akhirnya Bertha beli tiketnya. Murah wooooi, ternyata!
"Cuma 15 ribu saja, ya? Kirain cepe geto," gumamku, cukup lama tertegun-tegun di depan loket tiket.

Ada apa gerangan dengan masyarakat kita ini, ya? Kelihatannya hanya sedikit yang datang. Kurasa tidak sampai 100 orang. 

Coba, bandingkan dengan mereka yang datang demi nonton film jurig-jurigan dan ngeseks. Remaja, mbruuuul sajah, nanti pas ada kuntilanak datang, yang cewek pura-pura takut, gabruk, gelayutin cowoknya. Pasti begitu. (Ini bukan suudzon loh, kenyataan, kata temanku yang doyan nonton film jurig ngeseks!)

Jujur saja, sudah puluhan tahun aku tak pernah pergi ke bioskop. Terakhir ke bioskop ketika hamil anak pertama, Haekal. Jadi, sudah hampir 30 tahun tak pernah nonton di bioskop!

Syamsa Hawa muncul diikuti rombongan Annida Online. Lama sekali tak jumpa sosok ini, penulis yang pernah kukompori menulis novel. Kami seperti temu kangen jadinya.

Asma Nadia pun muncul beberapa menit sebelum penonton dipersilakan masuk. “Jiiiiieeeh, dirimu makin cantik dan enerjik saja,” pujiku saat kami berpelukan erat, ditontoni rombongan akhwat dari Annida Online.

Kemudian rombongan nobar dengan Asma Nadia pun ngabring memasuki ruang gelap yang disebut bioskop itu. Awalnya aku bisa duduk berdampingan dnegan Asma Nadia untuk beberapa menit pertama, hingga datang yang empunya bangku. Asma menggeser ke belakang, tepat di belakang Bertha.

Seingatku, aku telah membaca cerpennya Jendela Rara, kalau tidak salah dalam salah satu antologi cerpen Asma Nadia, terbitan DAR! Mizan era 2002. Sungguh, rasanya ada yang berbeda dengan filmnya. Kurasa dalam rasa bahasa fiksi, meskipun Asma sering bilang bukan sastra, sebagaimana sering kukatakan juga hal demikian untuk karya-karyaku sendiri. 

Kenyataan bicara kini bahwa karya kami pun sudah diakui oleh para senior di taman-taman budaya pelosok negeri. Suuiiiit, aah!

Film ini mengangkat tema globalnya tentang permasalahan kemiskinan, kesenjangan strata sosial, tingkah laku manusia yang terlibat di dalamnya. Adalah seorang anak perempuan Rara yang tinggal di kawasan kumuh. 

Rumahnya terbuat dari triplek, kardus di tengah timbunan sampah di kawasan Menteng Pulo. Kawasan yang sangat dekat dengan SD-nya Obama dahulu kala. Menteng Pulo dengan Menteng yang kelas atas memang sangat berbeda.

Demikian pula rumah Rara tanpa jendela, kalangan miskin, ayahnya hanya pedagang ikan hias, nenek sakit TB paru. Sementara rumah Aldo, seorang anak terbelakang mental, tapi memiliki hati seputih salju, pikiran jernih sebening embun pagi; kediamannya bak istana dengan jendela-jendela yang indah, megah dan banyak.

Persahabatan antara Aldo dan Rara terjalin berkat dukungan Nenek (Aty Cancer) entah mengapa logatnya khas Bertha Siagian pula itu. Ini nenek dari Mama atau Papa Aldo, ya, agak kurang jelas di filmnya. Dan aku lupa juga detail cerpennya, maaf!

Sepanjang nonton film RTJ ini, kucermati penonton macam-macam pula kelakuan. Ada yang sesenggukan, menyusuti airm mata campur ingus, seperti Bertha di sbeelahku. Tapi di sebelah kiriku, gadis itu rasanya tak hentinya bermain FB apa SMS-an, sehingga cahaya hapenya memantul, menyilaukan. Meskipun kucolek dia agar tidak berhape ria, tetap saja diam-diam dia akan kembali ke hapenya.

Baiklah, bagiku film ini diangkat dari cerpen yang indah, dan dibesut oleh Aditya Gumay dengan hati yang indah pula. Maka, inilah hasilnya; sebuah tembang lara nan indah bagi Rara dan Aldo.

Menonton film ini membuat kita terpanggil kembali dalam suatu kesadaran bahwa; ada banyak kesenjangan sosial di sekitar kita, tetapi tak semuanya orang kaya itu pelit atau jahat. Film RTJ menyadarkan pula bagaimana kita sering memperlakukan anak yang kekurangan, terbelakang mental dengan sikap melecehkan. 

Padahal, betapa kearifan dan kebijakan itu justru banyak muncul dari hati yang bening seperti sosok Aldo.
Pokoknya, film ini cocok dikonsumsi untuk berbagai kalangan; mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu bahkan lansia. Maka, menyesallah jika tidak menonton film karya anak bangsa ini. Yeeeh, daripada ribut-ribut urusan film Holywood, coba!

Semoga di kemudian hari akan banyak berlahiran film yang diangkat dari novel atau cerpen karya penulis Islami, penulis Forum Lingkar Pena. Tidak hanya Asma Nadia atau Kang Abik saja, melainkan ada kesempatan berekspresi bagi penulis lainnya, mungkin menjadi sutradara atau produsernya sekaligus. Agar kita tidak dijajah demi kehendak kapitalis!
Bravo kebangkitan film indah dan bermoral! (Pipiet Senja)

Oya, usai nobar, ditraktir makan pula oleh Asma Nadia, alhamdulillah, ini mah ibarat kata hati senang, otak dapat ilmu, eee, ndilalah, perut pun kenyang, hihi....tengkiyuuuu dindaku, Asma Nadia!

Pssst, jangan lupa titip ya novel itu buat produser, kali saja terpikat.





0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama