Kunang-Kunang di Pesisian Pasaman Barat



Prolog
Pagi ini, saya dan Butet telah kembali ke rumah kami yang di pinggir gang, bukan rumah mewah alias rumah pinggir sawah lagi, loooh. Ini akan kucoba melaporkan perjalanan road show keliling Sumatra Barat dalam lima hari yang lalu.

Karena yang sangat melekat adalah peristiwa dalam perjalanan menuju Pasaman Barat, maka akan kumulai dari sini. Selanjutnya, insya Allah akan kuruntut satu demi satu, semoga tetap survive!




Kunang-Kunang di Pesisian Pasaman Barat

Minggu, 27 Pebruari 2011
Semalam terjebak situasi dan kondisi yang lumayan menggetarkan, gara-gara ban meletus di tengah jalan, pesisian Pasaman Barat. Entah di mana tepatnya, karena ponsel dan GPRS pun tidak bisa tampak alias tidak ada sinyal.

“Mama, di mana ini? Dengerin Ma, ada suara onyeee,” bisik Butet yang duduk di sebelahku di jok belakang.
Aku terdiam kelu, tak bisa menjawab karena memang tak tahu pula di mana keberadaan kami. Diam-diam kuintip suasana di luar melalui jendela mobil dinas Sastri Bakry. Gelap, iya, sungguh gelap total, kecuali sebiji lampu teplok di sudut yang disebut bengkel tambal ban tubless.

“Butet tidur saja, ya Nak,” ujarku akhirnya kembali menarik diri, tak jadi keluar mobil. Ngeri juga, sama sekali tak tampak apapun kecuali bayang-bayang yang tak jelas. Belakangan ketika kami pulang, ternyata di seberang bengkel tambal ban itu ada sebuah bangunan megah dengan atap gadang, khas Minangkabau.

Sementara kutahu Pak Supir yang suka dipanggil Deu oleh Sastri, ditemani Khrisna Pabichara sudah berada di luar. Tampaknya mereka melakukan semacam nego dengan tukang tambal ban, suara-suara keras seperti orang berhantam kerap terdengar, masuk melalui jendela mobil.

Detik demi detik, menit demi menit berlalu, kulihat jam menunjukkan pukul 01.12!
Beberapa saat dalam situasi yang gedubrakan dengan bunyi tukang tambal ban mendongkrak ban-ban mobil, ya, dua bannya ternyata mengalami pecah. Artinya, keduanya harus diganti dengan ban serep!

Sementara Butet mulai berusaha keras memejamkan mata. Dia membawa serta virus pilek dari Depok. Kasihan juga anak ini, suara ingusnya kadang kudengar bak musik yang khas di kupingku; syiiiiuuut, huuuuk, croooot!

“Aduuuh, gak tahan lagi nih. Aku kepingin pipis.”
Sekonyong terdengar keluhan aneh dari Sastri Bakry yang mengapit di sebelah kiriku. Waduuuh, dalam sikon macam begini, kepingin ke kamar kecil? Gawaaat!
Entah di mana itu sudut bernama toilet di tempat macam begini, gerumelku dalam hati.

“Uni, tahan, ah. Gak ada yang jual pipis di sini, Uni, pliiiiiis,” komentarku mencoba bercanda, tapi sungguh tak berguna.






Uni Sas, demikian biasa dia dipanggil di kalangan teman-temannya, ternyata sudah ngacir turun dari mobil. Kemudian grasak-grusuk mencari kamar kecil, entah ke mana, entah di sudut macam apa pula. Pokoknya daku tak bisa membayangkan dan sungguh tak tegaaaaaa!

Suara monyet terdengar ngakngukngaknguk dari kejauhan, bunyi angin berkesiur riuh dan hujan turun; semakin lebat, Sodara!

Walaaah, hatiku mulai kebat-kebit, dua jam berlalu, ini sudah pukul 03.00, dinihari. Biasanya aku baru terbangun untuk tahajud, kemudian melanjut untuk menulis. Tetapi, kali ini, seumur hidup aku baru mengalami situasi yang sungguh mengerikan, seperti di rimba belantara antah belantara. Macam mimpi buruk saja!

Soalnya, ini entah di mana, tempat terpencil dan asing. Gara-gara kehilangan kontak dengan peradaban luar, biasanya kan masih bisa ngetwitt atau ngempi, atau FB.

Sastri sudah kembali ke sampingku, eeeh, kemudian tak berapa lama, Sodara, ndilalah dalam situasi yang menurutku sangat tak menentu itu, beliauwati langsung tidur dan ngaguher ngorok pula. Wooook, grooook, wooook, grooook!

Daripada sakit kepala daku pun berusaha keras memejamkan mata, leeeep saja, sampai beberapa saat kemudian suara Butet yang mbatak, membangunkanku.

“Mama, abang tukang bannya pergi tuh. Jadi kita ditinggalin begitu saja,” cetusnya sambil terdengar lagi suara ingusnya. Kemudian perlahan dia membuka pintu mobil dan memanggil: “Mas Khrisna, terus kumaha ieu teh nasib urang?”

Khrisna yang semula tercenung-cenung, entah memikirkan nasibnya di pinggir jalan, entah memikirkan istri dan anak yang sedang di Makassar, atau mungkin juga lagi nungguin kiriman royalti (hohoho!) di bangku bambu tukang tambal ban. Serentak kulihat bangkit, mencari suara Butet.

Penulis Motivator itu lantas bergegas menghampiri kami, kemudian menjelaskan: “Jadi, begini, Teteh,” katanya mengawali dalam nada yang sangat serius, tapi tak terkesan khawatir, yah nyanteeey saja.

Maklum, gaya seniman sejati gitu loh!
Intinya, ban sudah diganti, tapi baru satu, jadi tinggal satu belum diganti karena tidak ada lagi ban serepnya. Nah loooh!

“Jadi, orangnya sekarang ke mana, Mas?” tanya Butet mulai terdengar nyureng.
“Ya, sudah capek, pergilah, mungkin mau tidur.”
“Solusinya apa?” tanyaku, jadi ikutan pusing juga. Hanya aku percaya, Uni Sas kan seorang pejabat. Yah, pastilah banyak koleganya, jadi aman-suramanlah, pikirku positif.

“Uni bisa telepon temannya di Pasaman, minta mereka antar ban serep atau mobil untuk jemput kita,” samar kudengar suara Khrisna.

Telepon Uni Sas berbunyi, ternyata panitia di Pasaman Barat sudah khawatir sekali. Jadi mereka langsung menyanggupi datang membawa mobil untuk menjemput kami. Setelah ada kepastian demikian, maka kulihat Uni Sas kembali melanjutkan ngoroknya, eeh, maksudku mimpinya menjadi seorang Walikota.  Insya Allah, terwujud, Uni!

Leeep, sebentar tidur, sampai terdengar suara-suara keras di luar. Oh, orang yang menjemput sudah tiba agaknya. Jika dihitung sejak kejadian awal sampai tiba yang jemput total; empat jam!
Samar-samar terdengar orang mengaji dari surau, ketika kami pindah ke mobil penjemput.

“Eeeeh, ini sudah mau selesai juga kok,” cetus Khrisna yang tetap tegar menemani Pak Supir, dan orang yang baru (lelaki tua) mengganti ban yang bermasalah itu. Tapi mana ada yang mau peduli lagi, semuanya memilih segera ngacir dari tempat horor suroror macam itu!

Kendaraan yang dikemudikan oleh seorang perempuan (tangguh!) itu melaju dengan kecepatan tinggi. Kami merasa terayun-ayun, sempat tertidur lelap kurang lebih satu jam.

“Sudah sampai, Teteh,” suara Sastri membuatku tersentak, buru-buru mengangkut ransel gendong dan memanggil anakku.
“Naaak, sampai nih, Nak, ayo turun!”

Setengah sadar dan tidak, kaki serasa melayang, mengayun ke kamar. Sebentar membersihkan diri, mengambil wudhu dan solat subuh.

Akhirnya; bruuuuuk, tidur saja, tanpa ingat apapun lagi!

Tapi pukul enam pagi, tepatnya setelah dua jam tidur, aku sudah terbangun dan mulai mengetik. Yah, kembali ke laptop, Sodara!

Pukul 08.30, datanglah panitia menjemput untuk makan pagi di rumah Bupati Pasaman Barat.

Bersambung

Berikut di bawah inilah buku yang saya gadang-gadnag di Sumbar, termasuk bukunya Sastri Bakry yakni; Kekuatan Cinta (maaf, tidak ada di albumku kovernya, nanti menyusul)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama