Perjuangan Bocah Muslim Cimahi di Masa Revolusi Fisik 1945

Sinopsis Cerita



                Kisah Jihad El-Fauzi, menceritakan tentang perjuangan seorang anak yatim-piatu di masa revolusi fisik. Umur Fauzi 8 tahun. Emak-Abah dan kakak perempuannya telah gugur oleh kekejian NICA.
Saat peristiwa tragis menimpa keluarganya terjadi, Fauzi sedang berada di luar kota. Dengan semangat jihadnya, Fauzi bertekad untuk menuntut balas. Ia pun kembali ke kota dan bergabung dengan para mujahid Hizbullah.
Di pesantren Al-Fallah, markas pasukan Hizbullah, Fauzi digembleng oleh para seniornya. Baik jiwa dan raga, maupun lahir dan batinnya. Meskipun dalam situasi perang, tapi Fauzi masih menemukan keriangan bocahnya.
Para senior itu; Hasan, Ahmad dan Tibana, lalu membentuk kelompok mujahid cilik. Yang di kemudian hari dikenal sebagai kwartet Jang Jahid. Mereka terdiri dari; Fauzi, Cecep, Ucok dan Damang. Mereka bahu-membahu dalam membantu para pejuang, gerilyawan kita. Acapkali Fauzi bersama tiga rekannya menyelundup ke kawasan musuh.
Mereka terlatih sebagai mata-mata cilik yang sigap, cekatan, berani dan mandiri.
Mereka tak pernah lupa akan iman Islam dan kewajiban sebagai Muslimin.
Inilah kisah jihad empat mujahid cilik dari pesantren Al-Fallah.
Sekali lagi, mereka adalah kwartet Jang Jahid.
Yel-yel mereka; Allaaaahu Akbaaar!
Atas Nama Allah, Merdekaaa…!
***

 

 

 


Para Tokoh di Sekitar Kwartet Jang Jahid



            Fauzi; bocah laki-laki berumur delapan tahun. Sepintas seperti serius dan pendiam. Tapi kalau sudah kumat penyakit riang dan ngocolnya, jangan dibilang lagi deh. Pokoknya, asal ada anak ini suasana tegang bakal mendadak heboh, malah sering dramatis. Hehe, kayak cerita sinetron Indonesia aja nich. Fauzi dianggap para seniornya paling cerdik dan punya ilmu lari kancil. Punya segudang ide dan gagasan buat ngebabat leher musuh, ooiii… syeraaam!
Berkat keberaniannya, dia dipercayai menjadi komandan Kwartet Jang Jahid. Tubuhnya pendek kekar, tapi gerak-geriknya amat cekatan Makanya, dia digelari Jenderal Kancil. Cita-citanya memang menjadi seorang Jenderal… kancil ‘kali ya?
            Cecep; paling sepuh di antara ketiga sohibnya (12 tahun). Cuma kelakuannya kadang lebih mbocah dibanding anggota Kwartet Jang Jahid lainnya. Kepalanya selalu dibiarkan gundul. Soalnya ia pernah bersumpah; gak bakalan pelihara rambut sebelum Tanah Air Merdeka, cieee… Gayanya tuh!
Perawakannya bongsor alias tinggi gede. Paling doyan ubi rebus dan hobinya ngetepel kepala NICA dengan sisa ubi rebusnya, atau telor busuk. Pernah lho, dalam sehari dia sukses nimpukin selusin kepala NICA… gak ketahuan lagi! Konon, cita-citanya kalau Indonesia sudah merdeka, mo jadi Al-Ustaz.
            Ucok; (9 tahun) satu-satunya anak Batak yang nyasar di tanah Pasundan kala itu. Gabung dengan Kwartet Jang Jahid dengan alasan sepele, kepingin puas melototin ikan-ikan gurame di empang milik Ajengan Satibi. Ditambah biar kenyang ngelalap macam-macam daun di kebon belakang pesantren Al-Fallah. Tapi urusan mata-matain musuh, dia paling-paling deh semangat mbataknya…
Sering ngelamun, kalo Indonesia sudah merdeka, dia mo naik kapal laut nengok tanah leluhurnya di Mandailing. Kalo ditanya di mana tuh Mandailing, dia sendiri kagak nyaho!
            Damang; (8 tahun) ini anak asli ortunya dari Irian. Rambutnya keriting bonyok alias kribo. Karena pas bayi sering sakit-sakitan, ada tetangga yang beri saran sama ortunya. Supaya nama aslinya yang Suebu… apa gitu,  diganti aja jadi Damang. Ini bahasa Sunda, artinya sehat sejahtera. Sejak diganti namanya, anak ini gak pernah sakit lagi. Takut diganti lagi namanya ‘kali, ya? Bakal ngerepotin ortunya lagi, bikin bubur merah bubur putih lagi. Cita-citanya kepingin jadi Gubernur Irian, katanya, hehe…
            Kang Hasan; (17 tahun) keponakan Ajengan Satibi yang paling heboh. Dia mahir mengpo, alias pencak silat tradisional Sunda. Pas banget dengan perawakannya yang jangkung tegap. Dia menguasai segala macam jurus silat, mulai dari Cimande, Cisangkuy, Cimindi, Cibabat, Cimahi… emang ada jurus silat begitu, ya?
Dia digelari Si Belut Putih, karena sering banget sukses mengecoh musuh. Amanat Ajengan yang sangat dihormatinya, agar menggembleng habis empat bocah ajaib itu, dilaksanakan Hasan dengan sungguh-sungguh. Hasan menerapkan disiplin yang ketat, tanpa ampun kepada keempat bocah gemblengannya. Kharismanya berhasil mempengaruhi bocah-bocah itu. Mereka menyayangi sekaligus… nggemesinnya!
            Aa Ahmad; (l6 tahun) santri paling pendiam di antara puluhan santri yang menghuni pesantren Al-Fallah. Tapi sekalinya pidato, wuaaah deh, memukau para pendengar dengan semangat jihadnya. Wajahnya mirip Bung Hatta, tapi dia gak suka urusan koperasi. Lebih suka nyowel sambel terasi bikinan Amih Ikah aja, katanya, syadaaap! Dia kebagian menggembleng empat bocah itu untuk urusan taktik dan strategi penyerangan. Fauzi sangat mengagumi ide-idenya yang dianggap cemerlang.
Aa Tibana; (15 tahun) adik bontot Amih Ikah. Suka digelari Al-Daud, karena suaranya yang sangat merdu. Pasih tilawahnya, banyak bacaan Al-Qurannya. Kalau dia sudah berdiri di podium, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, konon bahkan angin pun berhenti berdesir… Aa Tibana kutu buku, gak heran wawasan dan ilmu pengetahuannya suangaat luaaas. Anak-anak pasti terpukau kalau sudah nanggap dia ngedongeng.
Imas; (7 tahun) putri semata wayang Ajengan Satibi. Rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya bak bulan purnama dan imut-imut, perilakunya yang lemah lembut… sungguh memikat siapapun yang melihatnya. Termasuk anak-anak Kwartet Jang Jahid. Kadang suka berebut cari perhatian Neng Imas. Hobinya bersenandung-ria, eeh, kalo sekarang mah bernasyid ‘kali ya? Cita-citanya, mo jadi dokter, katanya.     

***


Jihad El-Fauzi





Cimahi, akhir tahun 1945.
Ini malam yang sangat dingin di bulan Desember. Suasana di sekitarnya terasa hening dan mencekam. Konvoi Belanda yang membonceng Sekutu telah meranjah kota hijau ini. Sejak itu pula pertempuran demi pertempuran tak terelakkan lagi.
Fauzi, bocah berumur delapan tahun. Perlahan ia bangkit dari tumpukan jerami. Ia menumpang gerobak sapi Mang Sidin sejak petang dari Cisarua. Kini mereka telah memasuki pintu gerbang desa Gombong.
                Kloootaaakk, kloootaaak…!
            Bunyi gerobak sapi terdengar memecah hening malam. Ke mana penduduk desa Gombong?  Ah, tentu saja semuanya sudah ramai-ramai mengungsi ke luar kota.
                “Jadi turun di sini, Jang Uzi?”
Suara Mang Sidin memecah kebisuan. Ia menanti jawaban penumpang ciliknya beberapa saat. Sebelum kemudian ia menghentikan  gerobak sapinya.
            “Insya Allah jadi Mang,” sahut Fauzi.
            Mang Sidin tersenyum hangat. Ia menyerahkan sebuah buntalan kepada anak laki-laki itu. “Ini titipan dari Bibimu, Jang…”
“Terima kasih, Mang Sidin,” kata Fauzi menerima pemberian lelaki tua itu. Sedetik kemudian Fauzi turun dari gerobak sapi.
“Ya, hati-hati Nak… assalamualaikum!” kata Mang Sidin.
“Wa alaikumussalam,” balas Fauzi sambil mengangkut buntalan berisi baju dan bekal alakadarnya.
Beberapa saat anak laki-laki itu masih berdiri di simpang Gombong. Mengawasi gerobak Mang Sidin. Hingga bayangannya lenyap ditelan kegelapan malam.
            “Hhh… sampai juga di sini,” gumam Fauzi di hatinya.
            Seketika dada Fauzi digayuti rasa pedih. Ia terkenang akan nasib orang tua dan kakak perempuannya. Mereka telah gugur di sini, beberapa minggu yang lalu. Seperti juga sanak-saudara, kaum famili lainnya.
Itulah pertempuran terhebat pertama antara para pejuang dengan NICA!
Fauzi mendengar berita dukacita itu di garis belakang. Belanda dibantu oleh Sekutu telah menumpahkan darah mereka. Mata Fauzi seketika membasah. Ah, di mana orang yang akan menjemputnya? Bukankah orang itu telah janji tempo hari? Mereka akan bertemu di sekitar sini.
Fauzi menunggu dengan gelisah. Dilayangkannya matanya ke arah perkampungan Gombong. Kampung halaman, tempat kelahiran dan tempatnya dulu bermain dengan kawan-kawan sebaya… Allah!
Kini tinggal puing-puing berserakan. Mortir musuh telah disemburkan ke pelosok Cimahi. Meratakan rumah-rumah rakyat tak berdosa.
            “Naaah, ini dia Fauzi!” seru seseorang muncul dari balik kebun singkong.
Ia diikuti oleh dua orang lainnya, ketiganya pemuda bertubuh tegap dan serba sigap. Maklum, mereka para santri terlatih pesantren Al-Fallah. Para mujahid dari barisan Hizbullah.
“Assalamualaikuuum…” sapa para pendatang.
            Fauzi membalas salam mereka. Ia segera menyalami ketiganya dengan hormat. Kang Hasan, rekan seperjuangan kakaknya. Kang Hasan memperkenalkan Fauzi kepada dua rekannya.”Aa Ahmad, Aa Tibana ini Fauzi, adik Kang Jai itu…”
            “Baik, kita harus segera meninggalkan tempat ini,” ajak Kang Hasan kemudian.
            “Siap, Kang!” sambut kedua rekannya, Ahmad dan Tibana.
Tanpa banyak bicara mereka melanjutkan perjalanan. Menembus kegelapan malam, menyusuri kebun-kebun dan pematang sawah. Menuju markas Hizbullah di kawasan Cibabat.
            Malam ini, Fauzi sudah kembali ke kampung halamannya di Gombong. Niat berjihad itu telah tertanam di hatinya yang mungil. Dan jiwanya yang besar melebihi tinggi gunung Tangkuban Perahu.
***





2. Keberangkatan Sujai


Malam itu di pesantren Al-Fallah. Fauzi melepaskan lelah di kobongnya. Kang Hasan baru saja menyuguhinya makanan. Angan Fauzi mengawang ke hari-hari yang telah lewat. Terutama kepada kakak laki-lakinya, Kang Sujai.
            “Aku baru akan pulang kalau kita sudah merdeka!” sumpah Sujai selalu yang disampaikan kurir dari medan perang. Kabar terakhir yang diterima Fauzi; Kang Sujai tengah bergerilya bersama pasukan Panglima Sudirman di Jawa Tengah.
            Fauzi takkan lupa kenangan itu. Suatu hari mereka mengumpulkan umbi-umbian di kebun Aki Juned. Seperti kebanyakan rakyat Indonesia, mereka pun sudah lama harus mengalami kesulitan sandang dan pangan.
Beras, gula dan kopi merupakan barang langka. Penduduk kota kembang sembunyi-sembunyi untuk mendapatkannya di pasar gelap. Atau dengan cara barter, diselundupkan oleh penduduk kampung yang nekat berniaga ke dalam kota.
“Apa kita bisa merdeka dari penjajah, Kang?” tanya Fauzi.
“Insya Allah, pasti bisa. Kenapa tidak?” sahut Sujai mantap.
Fauzi selalu mengagumi kakak sulungnya yang banyak pengetahuan, gagah dan berani. Di kalangan teman sebayanya pun nama Sujai sering jadi tolok ukur. Sujai lambang keberanian generasinya kala itu.
“Kita akan merdeka, ya Kang? Bagaimana rasanya merdeka itu?” tanya Fauzi ingin tahu.
            “Merdeka itu bebas dari penjajahan. Ya, merdeka dari anjing-anjing NICA, Sekutu, Belanda… Pokoknya, tidak ada lagi yang akan menjajah Indonesia!” sahut pelantun merdu ayat-ayat suci itu dengan penuh semangat jihad.
            “Apa kita sanggup mengenyahkan para penjajah dari Cimahi?”
            “Harus sanggup, harus… Merdekaaa!” pekik Sujai  tiba-tiba.
            “Aduuh, si Akang ini bikin kaget saja!” gerutu Fauzi.
            Sujai tertawa lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan anti nikotin. Ia baru saja berhasil mencabut singkong sebesar-besar paha orang dewasa.
Krekeek, krieek…
            Begitu kuat tangan-tangannya yang kekar mematahkan singkong-singkong itu. Emak pasti akan senang merebusnya dan menghidangkan untuk santap malam mereka.
“Sudah, hei, jangan banyak-banyak. Nanti orang lain tak kebagian. Mentang-mentang sudah dipersilakan sama yang empunya,” tegur Teteh Ayum, menghampiri mereka. Ia membawa bakul berisi daun singkong dan kacang panjang.
“Waah, nanti kita makan besar, ya Teh Yum?” ujar Fauzi penuh minat.
“Bikin sambal terasi tomat yang banyak,” pesan Sujai.
“Abah juga pasti sudah banyak hasilnya mancing di Curug.”
“Hmm… pepes beunteur1, lalapan dan singkong bakar. Biarpun nggak ada nasi tetap sedaaap!”
“Kalian ini kalau sudah ngomong soal makanan…” gerutu Teh Ayum, mojang geulis desa Gombong berlagak cemberut.
“Kan sebelum kita berpisah, Dik,” sahut Sujai.
“Terus saja kalian berangan-angan!”
Teteh Ayum berjalan cepat diikuti oleh kedua saudara lelakinya. Itulah saat-saat terakhir mereka bisa bersama dalam keriangan.
Dan angan itu terlaksana dengan sempurna. Mereka berkumpul di bale-bale. Abah, Emak, Teh Ayum, Aa Sujai dan dirinya. Sebuah keluarga yang selalu rukun, taat mengamalkan syariat Islam.
            Malam itulah keluarganya bisa menyantap makan bersama dengan nikmat dan nyaman. Takkan pernah lagi mereka alami di hari-hari mendatang.
            “Kapan pasukanmu akan berangkat, Jai?” tanya Abah yang kakinya cacat akibat kekejaman Jepang saat menjadi romusha di hutan-hutan Birma.
            “Sebentar lagi, Bah. Mohon doa dan restu dari semuanya,” ujar Sujai dengan santun. Ia sudah selesai makan, menyeruput teh hangatnya dari batok2.
 Kemudian tiba saatnya perpisahan. Sujai menciumi tangan Abah, Emak, Teh Ayum juga Fauzi.
            “Sekarang kamu anak laki satu-satunya di rumah ini. Bantu Emak di dapur, ya Uzi,” bisik prajurit belia itu mendesir di telinga Fauzi.
            “Jangan lupa shalat lima waktu dan selalu memperbanyak zikir, ya Jang,” ujar Emak yang semula lebih banyak diam. Sujai mengiyakannya dengan takzim.
            “Aku akan menyusulmu nanti,” tekad Fauzi mengantar sosok tegap Sujai, hingga lenyap ditelan kegelapan malam.
***







1 pepes yang terbuat dari ikan kecil-kecil
2 cangkir terbuat dari batok kelapa

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama