Haekal Siregar: Anak Ajariku Cinta

Anak Ajariku Cinta


Tuhan telah memberiku dua hal yang terbaik dalam lakonku, selain syariatku sebagai seorang muslimah, yakni dua bintang yang ada di langit kehidupanku. Merekalah buah hati tercinta sumber segala kekuatan, pembangkit semangat, di kala aku ingin mengakhiri mimpi buruk, yang acapkali berseliweran di dalam keseharianku.
Dua bintang itu selalu tersenyum kepadaku, sampai kemudian tiba-tiba masuk pula sebuah bintang lain melalui putraku, Haekal.
“Mama, Ekal gak mau pacaran,” cetusnya suatu kali, ketika dia berusia 17,5 tahun, semester dua di Biologi Universitas Indonesia.
“Ya… bagaimana?”
“Iya, gak mau pacaran tapi kepingin menikah saja!”
Aku menanggapinya sambil tertawa, karena kupikir dia sedang bercanda. Ya, meskipun anakku dibesarkan di dalam situasi rumah tangga yang nyeleneh, bahkan tak jarang bagaikan hidup di atas api yang membara… Beruntunglah diriku!
Anakku dapat berkembang dengan kejiwaan yang cukup lugas, bernas dan cerdas. Sering kurasai banyak pemikirannya yang melampaui orang-orang dewasa, terutama dalam hal mengambil keputusan, bisa lebih bijak dan masuk akal.
“Baiklah, dengan siapa Ekal mau menikah?” balik aku bertanya, setelah beberapa jenak merasai kekagetan luar biasa.
Aku melihat kesungguhan di wajahnya yang persegi. Aku juga melihat suatu tekad luar biasa yang tersimpan di dalam sorot matanya.
“Namanya Seli Siti Sholihat, anak seorang dosen UI, Ma,” sahutnya dalam nada bangga. “Kami beberapa kali dalam satu tim cerdas cermat…”
“Oooh… dia! Ya, Nak, Mama ingat gadis pintar itu!”
Ketika resepsi perpisahan di SMUN 3 Depok, aku memang pernah bertemu dengan gadis itu, sekaligus dengan ibu-bapaknya. Bahkan kupersilakan mereka mampir ke rumah. Sebuah keluarga bersahaja dengan kepala keluarga seorang intelek.
“Nah… Mama setuju kalau Seli jadi menantu Mama, ya?”
“Mmm… sebentar, Ekal tanya dulu pendapat ayahmu, ya,” pintaku lebih sebagai pengalihan tanggung jawab.
Terus terang, aku masih terlalu kaget harus menerima kenyataan bahwa putraku akan menikah dini… Bahkan sebelum dia menjadi orang, ya Tuhan?!
Dalam sekejap lontaran gagasannya untuk menikah awal itu sudah membuat bapaknya berang sekali.
“Tak ada itu dalam keluarga besar halak hita (maksudnya keluarga besarnya, terkenal dengan sebutan Khalifah Yassin!) yang menikah sebelum sarjana!” sergahnya keras.
Kudengar dari balik pintu kamar, mereka berdua berdiskusi panjang lebar sampai tengah malam, semuanya terpusat dalam bahasan nikah dini. Kudengar pula anakku menyodorkan berbagai kasus nikah awal kuliah. Menurutnya, tidak semuanya fenomena nikah dini itu akan membuat kehidupan anak muda hancur berantakan.
“Bapaknya Seli… Pak Engkos Kosasih juga nikahnya waktu masih kuliah… Anaknya lima, buktinya sekarang hidupnya aman-aman dan sejahtera saja, Pa…”
“Sudahlah, diam kamu!” tukas ayahnya terdengar geram sekali. “Jangan memikirkan yang macam-macamlah, utamakan saja kuliahmu itu!”
Semula aku mengira percakapan nikah dini akan berlalu begitu saja. Namun, aku bisa menangkap gejala-gejala menakutkan dari sosok belahan jiwaku. Aku juga bisa merasai aura kegelisahan yang mendalam dari dirinya. Firasatku, hati seorang ibu yang kumiliki pun mulai mengambil alih hakku, tanggung jawabku.
Bahwa aku harus berpihak kepada anakku, harus mendukung dan memuluskan jalannya, apabila tak ingin kehilangan dirinya.
“Mari kita bicara sebagai orang dewasa, ya Nak,” ajakku setelah seminggu lewat, kekakuan semakin mengental di antara suami dengan putranya.
“Iya, sekarang Ekal mulai gak peduli lagi restu dari Papa. Yang Ekal mohon hanya restu dari Mama,” ujarnya mantap.
“Waaa… jangan begitu, Nak. Biar bagaimana pun dia itu ayah kandungmu…”
“Iya, bapak yang lebih sering mencela, melecehkan, menyakiti, menganiaya Ekal sejak kecil sampai sekarang…” Matanya mulai berkaca-kaca, tubuhnya tampak gemetar menahan gelombang perasannya.
“Sabar, ya Nak, sabarlah… Maafkan Mama yang lemah ini,” kuelus kepalanya, tapi aku tak bisa membela suami lebih banyak lagi. Kenyataan telah bicara
“Selama ini Ekal selalu berusaha keras meraih prestasi demi prestasi,” ceracaunya terdengar pauar. “Semuanya Ekal lakukan demi mendapat penghargaan…. Sekadar pujian saja dari Papa. Tapi nyatanya apa? Papa itu gak pernah merasa bangga… Mungkin juga gak pernah merasa sayang… gak pernah…”
Aku bisa gelombang kepedihan itu bermain-main di tampuk matanya.
“Baiklah… jangan bicara lagi soal itu. Kita fokus saja ke inti masalahnya… Soal keinginanmu menikah sekarang, oke?” tukasku meminta pengertiannya.
“Apa Mama mau merestui Ekal?”
“Insya Allah, Nak… Mama hanya minta waktu untuk istikharoh,” kutinggalkan kamar anakku dalam perasaan yang mengharu biru.
Tak terbayangkan akan secepat ini memberangkatkan anakku untuk menjadi seorang suami, seorang kepala keluarga dari seorang gadis pilihannya…
Ya Tuhan… jangan pernah lepaskan kami dari kasih sayang-Mu. Berikanlah petunjuk-Mu, ya Rob!
***

2 Komentar

  1. assalamualaikum teteh
    mengapa begitu banyak lelaki yang tak menyayangi istri dan anak-anaknya ya teh? Dan mengalihkan hati begitu mudahnya. Jika melihat kisah teteh yang sampai tua pun tetap disakiti, aku jadi takut meneruskan pernikahanku, apakah aku lebih baik bercerai dari suamiku yang sangat egois cuek dan tak bertanggung jawab pada anak dan istrinya? Bisa teteh memberiku saran?

    BalasHapus
  2. ya allah betapa pperjuangan menikahi teh seli begitu kuat ya.. tapi sayang kenapa kak hekal begitu mudah berpaling? :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama