Pasca Demo Rusuh, Prabowo Harus Segera Ratakan Geng Solo dengan Tanah


Oleh Buni Yani

Pelan-pelan mayoritas pendukung Prabowo berbalik arah menjadi orang yang sangat kritis karena sangat lamban memecat semua menteri dari geng Solo, mengadili Jokowi, dan memakzulkan Gibran. Bahkan, bila mengikuti percakapan di media sosial, tidak sedikit dari para pendukung ini kini menjadi pembenci. Semacam cinta yang tak berbalas yang kemudian berubah menjadi benci.

Pada demonstrasi yang baru lalu yang dipenuhi oleh kerusuhan dan kekerasan, netizen menemukan keterlibatan geng Solo yang sangat nyata. Agenda mereka yaitu mendongkel Prabowo agar segera digantikan oleh Gibran. Geng Solo tidak cukup sabar menunggu sampai 2029 sehingga mereka menggunakan setiap kesempatan untuk melakukan makar.

Apakah Prabowo tahu hal ini? Jelas dia tahu. Dalam sebuah konferensi pers dia mengatakan bahwa demonstrasi yang kemudian berubah menjadi kerusuhan di banyak kota itu sudah mengarah menjadi tindakan “makar” dan “terorisme”. Jelas ini bukan pernyataan yang asal ucap karena pastilah didasarkan pada informasi intelijen yang akurat. 

“Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi. Namun kita tidak dapat pungkiri bahwa ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum. Bahkan ada yang mengarah pada makar dan terorisme,” kata Prabowo setelah bertemu dengan para pimpinan parpol di Istana Negara pada Ahad, 31 Agustus 2025.

Seorang intelijen senior dalam sebuah podcast mengatakan bahwa demonstrasi maut yang telah merenggut 10 nyawa mahasiswa itu memang dibajak oleh geng Solo. Tadinya demo yang mengkritisi tingginya penghasilan anggota DPR dan carut-marutnya ekonomi tiba-tiba berubah menjadi isu bubarkan DPR.

Publik percaya bahwa geng Solo membelokkan demo jadi bubarkan DPR untuk menunjukkan bahwa bila DPR tetap mengagendakan pemakzulan Gibran, maka DPR akan betul-betul bubar. Ini semacam gertak untuk menghentikan manuver yang merugikan geng Solo. Ini juga peringatan ke Prabowo bahwa dia terancam bila terus berani mengutak-atik korupsi geng Solo.

Sang intel senior itu mengatakan dengan gamblang bahwa geng Solo adalah operator lapangan dari kerusuhan, sementara pendananya adalah Riza Chalid yang kini menjadi buronan Kejaksaan Agung. Riza Chalid sakit hati karena diproses hukum sehingga ingin balas dendam ke Prabowo. Motif balas dendam inilah yang dimanfaatkan oleh geng Solo untuk mendongkel Prabowo.

Bila kita menyelidiki secara seksama demonstrasi maut itu, kita akan menemukan polanya sangat berbeda dengan demonstrasi selama 10 tahun Jokowi berkuasa secara zalim. Demo selama Jokowi berkuasa tidak pernah diwarnai kerusuhan besar. Pertama, hal ini dikarenakan pendemo memang murni mau berdemo secara damai, dan kedua, demo akan dilibas tanpa ampun oleh aparat keamanan.

Demonstrasi paling fenomenal di Indonesia, bahkan juga dunia, yang diikuti oleh sekitar tujuh juta umat Islam pada 2 Desember 2016 terlaksana dengan sangat damai. Demonstran dilarang menginjak rumput, membuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum, dan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya.

Sebaliknya, demonstrasi 28 Agustus dan seterusnya diwarnai oleh pembakaran banyak fasilitas umum dan meluasnya kerusuhan secara cepat. Tidak hanya cepat meluas di sekitar gedung DPR dan beberapa bagian Jakarta, namun juga kemudian menjalar ke berbagai kota di tanah air. Jelas ini bukan ciri demonstrasi selama 10 tahun Jokowi berkuasa.

Demonstrasi mematikan di Jakarta dan banyak kota itu jelas tidak organik dan alami, namun digerakkan dengan komando yang rapi. Tidak cuma itu, demo dengan skala begini besar hanya bisa digerakkan dengan dukungan logistik yang tidak kecil. Diperlukan pengorganisasian yang rapi dengan komando yang jelas.

Laporan Republika, Ahad, 31 Agustus 2025 berjudul “Siapa Penjarah Rumah Sahroni, Eko, dan Menkeu? Ini Kata yang Ketinggalan Rombongan” menuliskan bahwa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Jakarta tidak terjadi secara spontan, tetapi ada yang menggerakkan dan memberikan komando.

Sumber Republika bernama Ahu (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di sebuah desa di Jawa Barat menceritakan bahwa dia direkrut untuk berdemo, menjarah dan melakukan kerusuhan. Ahu menceritakan dia diperintahkan oleh perekrutnya untuk membuat bom molotov di kampungnya sebelum berangkat ke Jakarta.

Yang menarik, demo kali ini bukanlah demo pertama yang diikutinya. Sebelumnya dia pernah berdemo membela Gibran dan Jokowi. Terlihat jelas di dalam laporan ini bahwa perekrut mempunyai afiliasi politik ke Jokowi dan geng Solo. Demo-demo yang dilakukan untuk mengamankan kepentingan politik Jokowi, keluarga dan kroninya.

Ahu bukan satu-satunya orang yang direkrut dari kampungnya, tetapi terdiri dari sejumlah pemuda sebayanya. Niat jahat perekrutnya sudah terlihat sejak anak-anak muda yang tidak tahu apa-apa itu diminta untuk membuat bom molotov dan rencana untuk mendatangi rumah-rumah yang akan dijarah.

Ahu, dalam istilah kekinian, bisa digolongkan sebagai anggota kelompok anarko—yaitu gerombolan yang melakukan anarki, kekerasan, dan kekacauan di tengah masyarakat. Tetapi anarkisme Ahu tidak muncul secara alami, melainkan digerakkan oleh tangan jahat yang punya kepentingan politik di pusat kekuasaan.

Maka, menggunakan logika sederhana, kita bisa dengan cukup yakin mengatakan bahwa yang bisa melakukan hal ini tentu sebuah jaringan yang kuat. Jaringan yang meliputi penyandang dana, operator lapangan, dan akses ke informasi orang dalam pemerintahan. Semua syarat yang diperlukan untuk terjadinya demo anarkis yang luas itu tidak mungkin dimiliki oleh organisasi mahasiswa. Sangat mustahil.

Itulah sebabnya publik lalu menelisik bagaimana demonstrasi itu digerakkan dan diprovokasi oleh akun-akun yang selama ini dikenal sebagai pendukung geng Solo. Akun-akun itu berfungsi sebagai buzzer Jokowi dan Gibran di media sosial, yang dipantau netizen ikut memperkeruh keadaan selama demonstrasi berlangsung.

Dengan berbagai macam fakta yang muncul ke publik, kini jari telunjuk mengarah ke Jokowi dan geng Solo sebagai penyebab kerusuhan dan kekerasan yang merenggut jiwa mahasiswa. Publik sangat yakin Jokowi masih memiliki sumber daya uang dan jaringan untuk menggerakkan kekacauan di Indonesia. Hanya dia kini yang bisa melakukannya, itulah sebabnya tuduhan mengarah kepadanya.

Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik secara seksama, kerusuhan yang terjadi mulai 28 Agustus itu mungkin tidaklah terlalu mengejutkan. Sepuluh hari sebelumnya, yaitu pada 18 Agustus, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo pada ulang tahun ke-5 KAMI di Yogyakarta mengingatkan publik bahwa akan ada gerakan sistematis untuk menjatuhkan Prabowo dalam waktu dekat. 

Dengan data awal dan serpihan fakta di sana-sini ini, seharusnya Prabowo langsung mengambil sikap tegas ke geng Solo. Tidak ada waktu lagi untuk memberikan toleransi. Dalam istilah militer, mungkin mesti diratakan dengan tanah agar tidak ada lagi kekacauan yang muncul di kemudian hari. ***

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama