Tom Lembong dan Politik Kehilangan Nurani



Pipiet Senja

Di sebuah republik yang masih belajar mengeja demokrasi, politik kadang terdengar seperti lagu lama yang diputar dengan nada sumbang. 

Ia kehilangan makna, kehilangan arah, kehilangan nurani.

Politik, tulis Aristoteles, adalah seni mulia untuk mengatur hidup bersama demi _eudaimonia_ atau kebahagiaan kolektif. 

Tapi hari ini, politik seperti hilang ingatan. Ia tak lagi bicara tentang keadilan, melainkan tentang kekuasaan. Tak lagi merayakan perbedaan, tapi justru menyesatkan suara yang tak seirama.

Lihatlah bagaimana seorang Tom Lembong, yang pernah duduk sebagai menteri dan dikenal karena pendiriannya yang jernih dan berseberangan secara elegan, kini dijatuhi vonis oleh meja hijau yang dikelilingi bayang-bayang kekuasaan. 

Ia bukan koruptor, bukan penyelundup, bukan penipu rakyat. Tapi ia diperlakukan seperti musuh negara—hanya karena memilih jalan yang tak selaras dengan arah angin istana.

Hukum memang harus ditegakkan. Tapi ketika hukum dibelokkan, nurani pun retak. 

Di negeri ini, pasal-pasal hukum bisa lentur seperti karet gelang: mengikat yang lemah, meloloskan yang dekat. 

Vonis terhadap Tom Lembong terasa bukan sebagai upaya menegakkan keadilan, melainkan menegakkan dominasi. 

Seperti kata George Orwell: _“In a time of universal deceit, telling the truth is a revolutionary act.”_

Kita tahu, Tom bukan satu-satunya. Tapi ia adalah simbol. Bahwa suara yang berbeda dalam politik hari ini tak hanya disangkal, tapi juga disingkirkan. Bahwa integritas, bila tidak tunduk pada kekuasaan, justru menjadi alasan untuk dihukum.

Dan partai-partai, yang semestinya menjadi taman bagi tumbuhnya nilai dan visi, kini lebih mirip ladang transaksional.

Rekrutmen kader tak lagi mencari kebijaksanaan, tapi elektabilitas. Nomor urut bisa dibeli. Jabatan bisa disewa. Nurani, kalau tidak dijual, dipaksa bungkam.

Sementara itu, rakyat menyaksikan dengan pasrah. Demokrasi memang masih berjalan, tapi kehilangan arah. Pilihan disempitkan. Suara dipermainkan. Dan mimpi tentang pemimpin yang jujur, bersahaja, dan berani—terasa semakin jauh.

Lalu, kita pun bertanya, dengan suara lirih dan nyaris putus asa:

Masih adakah yang ingin menjadi pemimpin karena cinta, bukan karena laba?

Masih adakah yang melihat kekuasaan sebagai beban tanggung jawab, bukan peluang kekayaan?

Masih adakah tempat bagi orang seperti Tom, yang percaya bahwa jujur adalah jalan, bukan jebakan?

Barangkali kita terlalu lelah untuk berharap. Tapi seperti kata Václav Havekatal; “Harapan adalah kemampuan untuk melihat bahwa ada cahaya, meski semua orang hanya melihat kegelapan.”

Tom Lembong mungkin dijatuhi vonis. Tapi vonis yang lebih besar sedang mengintai: vonis sejarah. Ia tak pernah memihak mereka yang berkuasa, melainkan mereka yang berani berkata "tidak!" ketika semua orang memilih diam.

Ketika nurani ditumbangkan dalam ruang pengadilan, saat itulah politik bukan lagi alat kebaikan, melainkan alat pembungkaman. Saat itulah kita tahu: negara ini sedang sakit. Bukan karena kekurangan hukum, tapi karena kehilangan hati.

Depok, 21 Juli 2025



0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama