Pelangi Purba di Langit Melayu

Cerpen Absurd 

Gus Nas Jogja 

Udara Pekanbaru siang itu lengket, seperti permen karet yang menempel di sandal. Di depan gerbang utama Universitas Raja Alam (URA), Ibu Senah, penjual es tebu, mengelus kerudungnya yang mulai lusuh. Matanya menerawang ke gedung-gedung tinggi yang menjulang, memantulkan terik matahari bagai cermin raksasa.

"Bak tsunami, Nak," gumamnya pada panci esnya yang kosong. "Adakah yang akan tersisa untuk anak cucuku nanti? Minyak habis, hutan pun ditebang. Tinggallah kami menghirup asap."

Di pojok kampus, persis di bawah pohon trembesi yang dedaunannya selalu merindukan hujan, Raja Ali Haji – bukan pujangga besar itu, melainkan seorang mahasiswa filsafat tingkat akhir yang kebetulan bernama sama dan punya kecintaan pada pantun – sedang melamun. Pikirannya melayang-layang, membayangkan lirik puisi yang baru didengarnya pagi tadi dari grup WhatsApp "Pujangga Kampus URA": _Bumi terkikis, lautan merintih, tinggal sesal menggores perih._

"Entahlah," bisik Raja Ali Haji pada tupai yang sedang menggaruk-garuk dagunya di dahan. "Sulit menjawabnya. Keserakahan sudah bak tsunami."

Tupai itu mengangguk setuju, lalu menjatuhkan sebutir biji durian dari mulutnya. Raja Ali Haji bergidik. Bahkan tupai pun paham.

Tiba-tiba, Gedung Fakultas Ekonomi URA, yang dikenal paling angkuh dengan fasad kaca birunya, mulai bergetar. Bukan gempa bumi, melainkan… menguap. Ya, menguap. Dari jendela-jendela tinggi, terlihat uap-uap ber aroma kopi luwak bercampur aroma uang. Seolah gedung itu baru bangun tidur setelah semalam suntuk menghitung angka-angka tak terbatas.

"Aduh, Dekan sudah bangun!" celetuk Mak Cik Leha, tukang sapu kampus, sambil mengibas-ngibaskan lidi sawah. "Mesti tu. Gedung Ekonomi memang cepat benar lapar duitnya."

Raja Ali Haji mengucek matanya. Absurd. Sangat absurd. Namun, di URA, keabsurdan sudah jadi mata kuliah wajib. Konon, beberapa dosen pun pernah terlihat mengobrol serius dengan tiang bendera.

Dari pintu utama Gedung Fakultas Hukum, muncullah Dekan Syariefuddin, seorang pria tambun dengan peci miring dan jenggot ala Laksamana Cheng Ho. Ia berjalan tergesa-gesa menuju Gedung Ekonomi, sambil membenarkan sarungnya yang melorot sedikit. "Tolong! Tolong! Gedung ini mau makan lagi!" teriaknya.

Para mahasiswa memandang heran. Makan? Gedung?

Gedung Ekonomi kembali bergetar, dan kali ini, dari lobi utamanya, keluar suara gemuruh. Bukan gemuruh biasa, tapi seperti suara kerongkongan raksasa yang sedang menelan sesuatu.

"Itu ha, kemarin ia sudah telan sumur minyak di Riau ini tiga biji," kata Pak Harun, penjaga keamanan kampus, tanpa ekspresi. "Sekarang, entah apa pula yang mau dihabiskannya."

Raja Ali Haji, dengan segala keberanian filosofisnya, menghampiri Dekan Syariefuddin. "Tuan Dekan! Mengapa gedung ini begitu… rakus? Adakah fatwa Melayu lama yang menyebutkan tentang gedung yang bernyawa dan berhutang budi pada sumber daya alam?"

Dekan Syariefuddin mengernyitkan dahi. "Fatwa? Budak Raja ni merepek! Ini bukan fatwa, ini fakta! Gedung Ekonomi ni memang tak pernah kenyang. Ia hidup dari angka-angka keuntungan. Lagi banyak dikuras, lagi besar perutnya."

"Tapi Tuan Dekan," sahut Raja Ali Haji. "Jika semua dikuras, apa yang akan tersisa untuk anak cucu kita? Ibu Senah di depan sana pun risau."2

Dekan Syariefuddin menghela napas panjang, aroma durian mentah menyeruak dari napasnya. "Itu persoalan pelik, nak. Ibarat pantun: Kalau bumi sudah tak bersisa, anak cucu mau makan apa? Jujur saja, akal saya pun sudah ketat memikirkannya."

Tiba-tiba, dari arah Gedung Fakultas Pertanian, muncullah Profesor Kaktus, seorang botanis eksentrik yang selalu memakai topi caping dengan hiasan bunga-bunga hidup di sekelilingnya. "Solusinya! Aku sudah menemukan solusinya!" teriaknya, mengacungkan sebuah pot bunga kaktus mini.

"Apa itu, Prof?" tanya Dekan Syariefuddin, matanya berbinar.

"Kita tanam saja kaktus raksasa di dalam Gedung Ekonomi itu! Kaktus kan butuh sedikit air, dan dia bisa hidup di mana saja. Nanti kalau sudah besar, biarkan akarnya menembus ke inti bumi, lalu menyedot semua sumber daya alam dengan pelan-pelan, secara berkelanjutan! Jadi gedung itu tidak perlu menelan langsung, tapi cukup 'minum' dari kaktus!" Profesor Kaktus menjelaskan dengan semangat membara, bunga-bunga di topinya bergoyang-goyang.

Mendengar itu, Gedung Ekonomi URA menghembuskan napas keras, mengeluarkan asap tebal berbau belerang. Seolah ia sedang tertawa terbahak-bahak atau, entah, sedang tersedak ide gila tersebut.

Raja Ali Haji menggelengkan kepala. Ide Profesor Kaktus terdengar seabsurd pantun jenaka yang dipelesetkan. Tapi entah kenapa, ada sedikit harapan gila di sana. Mungkin dalam kegilaan, ada kearifan yang tak terduga.

Ia menatap langit Pekanbaru yang mendung, namun tak kunjung menurunkan hujan. Gumaman Ibu Senah kembali terngiang. Bak tsunami… adakah yang akan tersisa?

Raja Ali Haji menarik napas dalam, lalu melantunkan sebuah pantun, bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk dirinya sendiri, dan mungkin, untuk gedung-gedung bernyawa di Kampus URA:

_Buah pinang masak di sarang,_

_Makan sebiji pahit terasa._

_Jika bumi sudah tak berkarang,_

_Anak cucu mau hidup di mana?_

Gedung Ekonomi URA kembali menguap, kali ini mengeluarkan bau gosong. Mungkin sedang memikirkan nasibnya jika harus diet kaktus. Di kejauhan, Ibu Senah masih mengelus panci esnya yang kosong, matanya sayu memandang gedung-gedung yang rakus. Dan Raja Ali Haji, ia hanya bisa tersenyum masam, merangkai pantun lain, berharap ada jawaban yang lebih masuk akal, atau setidaknya, lebih lucu dari sekadar kaktus raksasa.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama