Raja Ampat Surga Terakhir atau Ladang Nikel Lagi Promo?



Oleh: Yoss Prabu 

Ah, Raja Ampat. Surga terakhir, katanya. Surga di ujung timur Indonesia yang katanya pula punya ikan lebih banyak daripada orang yang suka bikin drama di media sosial. Sebuah kabupaten yang terbentuk dari keputusan UU Nomor 26 Tahun 2002, seakan-akan undang-undang itu adalah malaikat yang turun dari langit demi mewujudkan janji “keadilan sosial bagi seluruh ikan.” 

Dan manusia, tentu saja.

Tapi, sebelum kita terbuai oleh romantisme wisata bahari ala influencer Facebook, mari kita tilik sedikit sejarahnya. Konon, dulu Sultan Tidore mengangkat empat orang raja untuk memerintah pulau-pulau ini.

Empat raja? Kayak anak band saja. Mereka adalah Raja Fun Gering di Waigeo, Raja Fun Malaba di Salawati, Raja Fun Mastarai di Waigama, dan Raja Fun Malanso di Lilinta Pulau Misool. 

Dari sinilah nama Raja Ampat lahir.

Sebuah nama yang terdengar seperti menu seafood premium, padahal isinya justru drama geopolitik sejak zaman kerajaan hingga era TikTok.

Kabupaten Raja Ampat kini memiliki luas wilayah 46.108 km². Tapi, jangan GR dulu, karena 89% wilayahnya adalah laut. Jadi kalau mau membangun peradaban, ya siap-siap bikin rumah apung atau minimal belajar menyelam.

Dengan jumlah penduduk sekitar 40 ribu jiwa, di mana satu ikan saja bisa punya lebih banyak follower medsos daripada warga Raja Ampat, jelas bahwa yang paling eksis di sini bukan manusia, tapi keanekaragaman hayati lautnya.

Tapi oh, ironi tak pernah absen. 

Raja Ampat bukan hanya surganya wisatawan, tapi juga surganya para penambang nikel yang berbondong-bondong datang dengan ekskavator dan niat mulia, “demi kemajuan ekonomi,” katanya. 

Demi hilirisasi nikel yang katanya bisa bikin Indonesia berjaya di kancah kendaraan listrik dunia. Ya ampun, Raja Ampat. Dari surga diving jadi surga drilling.

Greenpeace Indonesia, dengan gaya influencer yang sedikit lebih serius, berteriak di media sosial, “Save Raja Ampat!” 

Seolah-olah, jempol dan hashtag bisa menghalau buldoser. Mereka benar sih – menambang nikel di Raja Ampat itu ibarat bikin bak mandi di tengah taman bunga. “The Last Paradise” katanya – tapi, tampaknya surga terakhir ini sedang dalam antrean untuk disulap jadi “Last Nickel Paradise.”

Pemerintah? Oh, jangan salah. Menteri ESDM janji akan evaluasi, akan panggil pemilik tambang. Wih, plot twist yang lebih seru dari sinetron! Katanya ada rapat dengan Dirjen. Ya, semoga bukan sekadar acara selfian bareng. 

Sementara itu, para anggota DPR RI pun kebakaran jenggot, “Raja Ampat bukan kawasan biasa,” kata mereka. Ya, kita tahu, itu kawasan luar biasa yang penuh spot snorkeling dan spot selfie. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 pun bilang pulau kecil itu untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian.

Tambang? Kayaknya nggak masuk, bro.

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Papua Barat Daya sudah punya daftar tamu, PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Dua nama yang terdengar seperti tamu undangan di acara pesta kebun, padahal mereka bawa buldoser, bukan salad.

Ah, Raja Ampat. Kamu adalah mozaik 610 pulau yang terhampar indah di bibir Pasifik, diapit Republik Federal Palau yang entah siapa tetangganya, dan Kabupaten Seram Bagian Utara yang namanya bikin merinding. Kamu bukan sekadar destinasi, tapi juga kisah tentang manusia, alam, dan kerakusan yang dikemas dalam wacana pembangunan. 

Sebuah drama kolosal yang bikin ibu-ibu pengajian pun geleng-geleng kepala.

Jadi Raja Ampat, apakah kau akan tetap menjadi surga terakhir bagi ikan-ikan yang bikin para diver kesengsem? Ataukah kau akan berubah jadi lahan tambang bagi orang-orang yang selalu mencari “nilai tambah,” juga, “penghasilan tambahan” tanpa pernah belajar bahwa nilai alam tak selalu bisa dikonversi ke dolar?

Ah, Raja Ampat. Engkau memesona dalam kesunyian lautmu, memesona dalam gemuruh alat berat yang mencoba mengusikmu. Semoga kau tetap bertahan, meski di sekitarmu, manusia terus berlomba menjadi penguasa, entah raja, menteri, atau investor.

Karena, Raja Ampat, kamu bukan sekadar pulau. Kau adalah cermin dari siapa kita sebenarnya.

#SaveRajaAmpat, katanya. Semoga bukan sekadar hashtag.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama