Jokowi, Geng Solo, dan Delirium Kosong dari Negeri Kutukan



Oleh Buni Yani

Jokowi terlalu tinggi menilai diri. Tetapi mungkin juga dia tidak terlalu salah bila merasa begitu. Karena memang dia bisa meninggikan diri dengan cara menipu dan berdusta—dan publik yang dia kencingi kepalanya habis-habisan tidak tahu bila sedang berhadapan dengan pendusta. Jokowi tahu itu dan memang ahlinya.
 
Jokowi terlalu tinggi menilai diri, dan dari sinilah awal bencana itu datang. Karena mungkin Jokowi tidak pernah mendengar dan belajar dari ungkapan “Anda bisa membohongi beberapa orang sepanjang waktu, dan Anda juga bisa membohongi semua orang untuk jangka waktu tertentu, tetapi Anda tidak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu”.
 
Ungkapan yang dipercayai berasal dari mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln itu sangat menohok menggambarkan kebodohan Jokowi. Jokowi yang menganggap semua orang bodoh seperti dirinya tidak tahu kalau kebohongan dibatasi oleh ruang dan waktu. Kebohongan tidak bisa melawan keterbatasannya sendiri. Kebohongan mustahil bisa menundukkan hukum alam yang berpihak pada kebenaran.
 
Seharusnya Jokowi puas dengan pencapaiannya sebagai Walikota Solo, atau lebih rendah dari itu, yaitu menjadi pengusaha mebel saja. Tetapi Jokowi merasa sudah bisa menipu dunia, karenanya dia sangat percaya diri masuk DKI Jakarta dengan mobil Esemka yang penuh dusta. Jakarta terpesona dan tersihir dengan tampang lugu plonga-plongo kampungannya yang penuh berisi kebohongan.
 
Pendek cerita, Jokowi menundukkan Jakarta dengan mudah. Dari sana dia tambah percaya diri dan melaju jadi presiden. Kebohongan melalui pencitraan murahan Jokowi menyihir profesor, penyair, wartawan, pengusaha, dan bahkan juga para ulama. Jokowi tak terbendung. Dia melaju dan percaya diri bahwa kebohongan adalah aset berharga yang akan mengangkat derajat diri, keluarga, dan kroninya.
 
Jokowi dan kebohongan sudah bersifat asosiatif sekaligus substitutif. Bersifat asosiatif karena Jokowi adalah kebohongan dan kebohongan adalah Jokowi. Jokowi dan kebohongan di benak masyarakat bersifat substitutif, atau bisa saling menggantikan satu sama lain. Dalam grammar kekinian di media sosial, netizen menggantikan secara bergantian ide, konsep, atau kata kebohongan dengan Jokowi.
 
Tetapi malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Alam bekerja dengan caranya sendiri dalam merespons setiap napas Jokowi, termul, dan begundalnya. Alam mencatat setiap sepak terjang gerombolan yang dikenal sebagai geng Solo itu. Tidak ada satu pun yang luput. Bahkan kelak di akhirat mereka akan menyesal karena kaki, tangan, dan anggota tubuh mereka berbicara dan bersaksi sendiri di hadapan Tuhan.
 
Keruntuhan Jokowi bersama kebohongannya akhirnya datang juga. Namun dia tidak bisa menerimanya begitu saja dan melawannya dengan berbagai cara. Jokowi hidup dalam angan-angan kosong. Dia tidak bisa membedakan antara fakta dan khayalan. Waktu berlaku kebohongannya sudah lama habis karena rakyat mengendus dusta tanpa henti itu. Ironisnya, Jokowi melawan fakta, alam, dan kebenaran.
 
Jokowi hidup dalam delirium kosong—semacam penyakit mental yang tidak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan. Kadaluwarsa kebohongannya dia coba perbaiki agar kembali ampuh dan mandraguna. Tetapi Jokowi bukanlah pendekar dari Gunung Merapi atau manusia sakti dari Gua Hantu. Dia hanya mantan tukang mebel yang kini sedang menghadapi kutukan rakyat akibat kebohongan dan ketidakmampuannya mendiagnosa perkembangan politik yang berlari kencang.
 
Jokowi dan geng Solo tidak hanya dipenuhi halusinasi mengenai fakta keras yang mereka harus hadapi. Bahwa waktu mereka telah habis. Bahwa dusta mereka telah kadaluwarsa dan tuah Jokowi tidak mampu lagi menangkis kesadaran rakyat. Fakta baru ini seperti penyakit yang menggerogoti dan pelan tapi pasti mencabik mental mereka.
 
Mereka memberontak tetapi gagal. Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih tersisa di kabinet Prabowo, mereka berusaha melakukan konsolidasi dan manuver receh. Tetapi seluruh mata rakyat tertuju ke gerombolan ini. Rakyat menguliti setiap pergerakan mereka, rakyat berteriak keras pada setiap langkah mereka yang tidak lagi membawa kebaikan untuk bangsa.
 
Delirium kosong itu pun menghinggapi Tito Karnavian yang memindahkan kepemilikan empat pulau milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara. Tito menyeruak dari kegelapan dan menjadi pemecah gelombang—gelombang pemakzulan Gibran, gelombang ijazah palsu, gelombang kasus korupsi geng Solo. Tito kelihatannya ingin menciptakan ribut-ribut pemindahan pulau untuk mengalihkan perhatian publik dari tiga kasus itu.
 
Ribut-ribut empat pulau milik Aceh terbaca juga oleh publik, yang ternyata menyimpan kandungan gas alam dan mineral yang kaya. Karenanya harus dipindahkan kepemilikannya ke Sumatera Utara yang kini gubernurnya adalah menantu Jokowi. Ini langkah taktis dengan menembakkan satu peluru untuk dua sasaran sekaligus.
 
Publik tidak berhenti sampai di situ. Spekulasi terakhir ini kelihatannya yang paling tidak mengenakkan. Yaitu Tito ditengarai melakukan semua ini sebagai gerakan pembusukan dari dalam kabinet Prabowo yang tidak kunjung berani menggusur geng Solo. Langkah ini adalah gerakan untuk menghambat pemerintahan Prabowo. Reaksi rakyat Aceh sudah bisa diperkirakan pasti menolak. Reaksi dari daerah yang punya sejarah pernah menuntut merdeka.
 
Begitupun dengan keributan di Raja Ampat yang seharusnya menjadi wilayah konsrvasi alam karena keindahannya ternyata dijadikan wilayah penambangan nikel—yang lagi-lagi ditengarai melibatkan oligarki dan geng Solo. Fakta-fakta ini menunjukkan semakin terang-benderangnya dugaan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang tidak bisa lagi ditutup-tutupi.
 
Jokowi, dengan mata sembab dan mengecil, muka aneh, dan rambut yang semakin menipis, muncul di depan media lalu membantah bahwa kapal bernama Jkw Mahakam dan Dewi Iriana itu bukan miliknya. Tetapi karena rakyat sudah kenyang ditipu selama 10 tahun, sudah pasti tidak akan ada lagi yang percaya. Kami tidak bodoh, Jokowi, kata rakyat.
 
Prabowo sedang beradu cepat dengan Jokowi. Semakin lama Prabowo membiarkan Jokowi melakukan konsolidasi, maka akan semakin runyam masa depan pemerintahannya. Seharusnya Prabowo cukup sensitif dengan tiga fakta mutakhir bahwa kesetiaan orang Jokowi di kabinetnya menciptakan matahari kembar. Kasus ijazah palsu menunjukkan Listyo Sigit masih setia kepada Jokowi, kasus empat pulau Aceh menunjukkan Tito Karnavian masih menjadi sekutu Jokowi, dan kasus Raja Ampat meneguhkan Bahlil masih menjadi orangnya Jokowi.
 
Rakyat kecewa kepada Presiden Prabowo yang mengatakan tidak akan ada reshuffle dalam waktu dekat karena kabinetnya masih solid dan bekerja seperti yang dia harapkan. Prabowo kelihatannya tidak tahu media sosial mendidih setiap hari mendesak agar Jokowi diadili, Gibran dimakzulkan, menteri-menteri titipan Jokowi diganti, dan semua dugaan korupsi yang melibatkan keluarga Jokowi serta kroninya segera diproses hukum.
 
Apa yang terjadi dengan Prabowo? Apakah dia belum menemukan kesepakatan dengan Megawati sehingga kelihatan ragu-ragu melawan Jokowi? Apakah dia tidak sayang rakyat yang seratus persen mendukungnya? Perkembangan terbaru ini tentu menimbulkan enigma dan mencuatkan spekulasi buruk mengenai masa depan pemerintahannya.

Respons aneh dan ragu-ragu dari Prabowo ini menjadikan angan-angan Jokowi tambah melambung dan membuncah, bahwa dia akan selamat, dan penjara tidak akan pernah menyentuh diri dan gerombolannya. Bahwa Gibran tak akan tersentuh pemakzulan karena Prabowo terlalu lemah untuk melawan dirinya. Gertakan tiji-tibehnya berhasil, bahwa Gibran tak bisa dimakzulkan karena mereka dipilih satu paket dengan Prabowo dalam pilpres.

Singkat kata, delirium Jokowi bermakna satu hal. Yaitu Prabowo ikut menyumbang di dalamnya. Prabowo tidak berani menghentikannya. Dan dengan kondisi ini, rakyat serasa hidup di negeri kutukan. ***

Link artikel: https://kbanews.com/resonansi/jokowi-geng-solo-dan-delirium-kosong-dari-negeri-kutukan/

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama