𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐚𝐤𝐢 𝐆𝐮𝐚 𝐇𝐢𝐫𝐚: 𝐃𝐢 𝐒𝐢𝐧𝐢 𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮 𝐃𝐢𝐦𝐮𝐥𝐚𝐢*
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐮𝐧𝐲𝐢 𝐆𝐮𝐚 𝐇𝐢𝐫𝐚, 𝐰𝐚𝐡𝐲𝐮 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐜𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚. 𝐃𝐢 𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐡𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐫𝐢𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡. 𝐊𝐢𝐧𝐢, 𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢 𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚 𝐤𝐞𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦.
𝐑𝐞𝐩𝐨𝐫𝐭𝐚𝐬𝐞 𝐇𝐚𝐣𝐢 𝐒𝐞𝐫𝐢 𝟑𝟏 𝐎𝐥𝐞𝐡 𝐀𝐠𝐮𝐬 𝐌 𝐌𝐚𝐤𝐬𝐮𝐦
Hari ini, selama di Makkah, setelah semua rukun haji tuntas dijalani, kami mengikuti tour ziarah ke tempat-tempat bersejarah. Salah satu tujuan paling menyentuh adalah kaki Gua Hira, di lereng Jabal Nur. Gua Hira—nama yang tidak asing bagi siapa pun yang mengenal Islam. Inilah situs agung, tempat Wahyu Pertama turun, dan momen suci di mana Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi terakhir, membawa risalah untuk seluruh umat manusia.
𝐃𝐢 𝐒𝐢𝐧𝐢 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭 𝐏𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐁𝐢𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐁𝐮𝐦𝐢
Kami berdiri di bawah bayang Jabal Nur, Gunung Cahaya. Udara pagi terasa tipis namun mengandung jejak sejarah yang pekat. Di hadapan kami, jalur batu yang mendaki curam menuju Gua Hira tampak sunyi. Tapi sesungguhnya, batu-batu ini pernah menjadi saksi dari momen paling dahsyat dalam sejarah kemanusiaan: turunnya wahyu pertama, "Iqra’ bismi Rabbika" — Bacalah dengan nama Tuhanmu.
Saya termenung.
Jika tempat ini bisa berbicara, ia mungkin akan menangis haru mengingat hari itu. Ketika seorang lelaki, Muhammad bin Abdullah, duduk dalam keheningan, menjauh dari hiruk pikuk jahiliyah, dan tiba-tiba langit membuka tabirnya.
Malaikat Jibril datang bukan dengan nyanyian surgawi, tetapi dengan getaran yang mengguncangkan jiwa: "Bacalah!"
Muhammad gemetar. Tubuhnya menggigil. Ia pulang berlari kepada Khadijah, mengadu:
"Zammiluni... zammiluni (Selimuti aku, selimuti aku)."
Dan dari situlah sejarah bergulir. Bukan dari istana, bukan dari pasar, bukan dari medan perang. Tapi dari gua sunyi di puncak gunung, dari seorang lelaki yang tak pandai membaca dan menulis.
Wahyu Tak Turun ke Kota Tapi ke Gua
Buya Hamka pernah berkata, “Sungguh hebat cara Tuhan memuliakan manusia. Bukan karena kekuasaan, tapi karena wahyu. Bukan karena pedang, tapi karena Kalam.”
Dan memang begitulah. Allah tidak memilih menurunkan wahyu pertama-Nya di depan Ka’bah, atau di balairung istana Quraish. Tapi di tempat yang terpencil. Di dalam keheningan.
Di era digital seperti sekarang, ketika segala hal berteriak, Gua Hira mengajarkan kepada kita: Perubahan besar sering lahir dari keheningan yang dalam, dari perenungan, dari kesendirian yang bercahaya.
𝐊𝐚𝐤𝐢 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠, 𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐌𝐮𝐬𝐞𝐮𝐦 𝐋𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭
Di bawah gunung, kini berdiri sebuah museum megah bernama Al Wahyu, tempat semua narasi itu dikemas kembali dengan teknologi modern. Di sana kita bisa menyaksikan replika Gua Hira, mendengar kisah turunnya wahyu pertama, melihat bagaimana Al-Qur’an dikodifikasikan, hingga menyaksikan kisah hidup Rasulullah dalam visualisasi yang menyentuh hati.
Saya melangkah pelan melewati setiap galeri, hati saya berdesir. Teknologi menyampaikan sejarah bukan untuk menggantikan ruhnya, tapi untuk menyentuhnya kembali di hati generasi baru.
Penutup: Wahyu Belum Berhenti Menggetarkan
Wahyu mungkin sudah berhenti turun secara literal. Tapi getarnya tidak pernah benar-benar berhenti.
Setiap kali kita membaca Al-Qur’an, setiap kita merunduk dalam sujud, setiap air mata kita jatuh karena tersentuh firman-Nya—itulah gema wahyu yang masih hidup dalam dada kita.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐤𝐚𝐤𝐢 𝐉𝐚𝐛𝐚𝐥 𝐍𝐮𝐫, 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐰𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐮, 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐭𝐮𝐠𝐚𝐬 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐡𝐚𝐫𝐢 𝐢𝐧𝐢 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐰𝐚𝐡𝐲𝐮 𝐢𝐭𝐮 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐭𝐚 𝐳𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐭𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐤𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚.
𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐬𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢 𝐤𝐚𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐲𝐚 𝐇𝐚𝐦𝐤𝐚,
"𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐮 𝐤𝐚𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐥𝐚𝐦 𝐢𝐭𝐮 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡, 𝐤𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐦𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢 𝐤𝐞𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚."
*Klik untuk baca:* https://aidigital.id/berita?id_item=1133
Posting Komentar