Haji Akbar Bersama Travel Cordova, 2006
Pipiet Senja
Setelah tiga hari tiga malam berada di Mekah, rombongan Cordova pun disiapkan untuk menuju Arafah.
Sejak saat itu, catatanku agak error, kadang kuisi tapi lebih banyak blank-nya buku harian pemberian Cordova itu. Sebabnya, aku lebih fokus kepada kesehatan dan pelaksanaan rukun-rukun hajinya. Hampir tak ada kesempatan untuk menulis berbagai peristiwa yang kulakoni. Jadi, aku berusaha keras untuk mencatatnya di memori otakku saja.
“Inilah prosesi haji yang sesungguhnya… Alhamdulillah, musim haji ini adalah Haji Akbar, maka pahalanya ratusan kali lipat dari haji biasa…”
“Sesungguhnya rukun-rukun haji itu terdiri dari: ihram, wukuf, tawaf ifadlah, sa’i, tahalul atau bercukur, dan tertib….”
“Inilah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan, bila ada yang tidak terlaksana maka ibadah hajinya tidak sah…”
Kuingat lagi, saat itu tepat 8 Dzulhijjah, kendaraan mulai bergerak meninggalkan Mekah menuju Mina dilanjutkan ke Arafah, tempat jamaah melakukan wukuf.
Arafah terletak di luar kota Mekah sekitar dua mil. Jamaah pria kembali mengenakan baju ihram. Ibu-ibu berbusana serba putih. Larangan saat berihram pun diberlakukan, dan berkali-kali diingatkan oleh para muthowif.
Jamaah Cordova yang diangkut oleh bis dua, kami menyebutnya rombongan Sofitel, agaknya lebih dahulu tiba di tenda Mina. Mereka bisa leluasa mencari tempat atau sudut yang diinginkan, bahkan dapat mengangkat koper kecilnya masing-masing.
Rombongan Intercontinental harus rela mendapatkan sudut-sudut yang tersisa. Aku bahkan tak mendapatkan sudut yang bisa bergerak leluasa, selain selajur tempat tanpa alas berupa hamparan selimut di antara deretan kasur.
Tak mengapa, bukan hanya diriku sendiri, ada dindaku Sari dan Euis Muharom menemani.
Lagipula, banyak juga jamaah yang tetap memelihara rasa kepeduliannya untuk berbagi dalam hal apa pun. Mungkin, pikirku, inilah rezekiku dan demikianlah Allah SWT menjamu diriku. Segera kuperbanyak dzikrullah dan berdoa, berlari ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan kudirikan sholat sunat taubat.
Sungguh, aku merasa takut sekali akan azab-Nya!
Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu yang lemah ini dari azab dan siksa-Mu, sembunyikanlah segala aib dan dosaku, demikian kutasbihkan dalam hati.
Sekitar pukul sembilan malam, kurasa semua jamaah Cordova telah memasuki tenda. Di sini, mulailah aku menyaksikan sifat aslinya, sejatinya karakter manusia, dan topeng-topeng pun berlepasan sudah!
“Pssst…. ingatlah jangan bergunjing, saudariku, kita sedang berihram….”
“Alaaa… Teteh ini ngapain sih paspes-paspes mulu dari tadi, dikasih tahu sekali juga gue paham!”
“Ini punya siapa sih, gede banget tasnya?”
“Iya! Ngalangin jalan, ngalangin orang-orang lewat saja!”
“Gak punya otak amat sih! Ngabisin tempat pula!”
“Bawa bekal kok banyak banget? Kayak mo kemping sebulan aja!”
“Woooi… mana tisu basahnya, coooy?”
“Sini ada… meeen! Jangan malu-malu deh, entar malah jadi malu-maluin!”
Kulihat dindaku Ennike terperangah hebat, menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam perlahan; “Ya Allah, Teteh, kenapa pake cay-coy, man-men segala tuh bahasa….”
“Iya Dinda, prokem aming,” tak terasa mulutku pun terkuak tiba-tiba, begitu menyadari, buru-buru aku mengucap istighfar.
Aku tak berhak mencela, sebab seperti itu pulalah bahasaku jika sedang bergaul-ria dengan putriku. Mungkin saja mereka melakukan hal itu sebagai penghilang stres. Prosesi haji memang sungguh menguras pikiran, lahir batin, jiwa dan raga. Jika mental labil, sungguh bisa dipastikan bakal stres!
“Selama menjadi dokter haji banyak sekali kutemukan jamaah yang mendadak gila,” berkata dokter Erry, dokter rombongan.
“Haaa? Mendadak gila bagaimana, Bu Dokter?”
“Yah, stres hebat, gila dalam tanda kutip,” jelas dokter Erry.
Kepala Suku memberi tahu bahwa rombongan akan bergerak kembali pada pukul duabelas malam.
Mendengar hal ini, suara-suara mendadak berhenti total, kemudian semuanya berusaha untuk merehatkan badan.
Dendang batuk pun mulai terdengar, secara serempak, bagaikan koor ajaib tengah malam di Makhtab 110, pertendaan Mina.
“Gimana gak bikin batuk, lha wong tendanya selama setahun ditutup. Musim haji baru dibuka kembali, mungkin gak sempat dibersihin,” seseorang menjelaskan tanpa diminta.
Kucermati memang ada banyak kotoran berupa debu, dan seperti kapas-kapas kecil beterbangan dari arah kipas angin. Jangankan bagi ibu-ibu sepuh, semuanya tak terkecuali terserang batuk dan beberapa sesak napas. Kurasa, asmaku pun bisa kumat.
Alhamdulillah, hanya batuk dan gatal tenggorokan.
Ustad Satori sering bergurau tentang batuk ini: “Semuanya dipastikan terserang batuk kecuali onta!“
Maka, selama berhaji bukan hal yang aneh dan patut dicemaskan secara berlebihan apabila jamaah terserang batuk.
Di sinilah, kembali muncul jurig songong yang tak pernah kenal mangsanya, korban mitu.
“Alhamdulillah, sampai saat ini aku sehat-sehat saja, bahkan batuk pun cuma dikiit,” sahutku ketika beberapa pengurus Cordova meluangkan waktunya mendatangiku, dan mereka menanyakan kondisi kesehatanku.
Suaraku Menghilang
Tengah malam, rasanya hanya sekejap bisa rehat, ternyata kami disiapkan untuk berangkat lagi. Suasananya sungguh terasa heboh, kisuh-misuh dan luar biasa crowded!
“Kalau tidak lebih awal jalan, khawatir lalu-lintasnya terlalu padat dan kita terhambat sampai di Arafah. Targetnya kita bisa sholat subuh di tenda Arafah,” terang seorang muthowif, menyikapi suara-suara protes.
Di tengah cuaca yang sangat dingin, serasa menyengat pori-pori kulit, kami bergegas kembali menuju kendaraan. Meskipun bajuku sudah dirangkap-rangkap sampai tiga-empat, tetap saja masih serasa dingin. Tambahan anginnya lumayan kencang, meskipun bukan puting beliung.
Agaknya cuaca di kawasan Mina, banjir bandang datang. Air bah pun tanpa ampun melumat seluruh kawasan tenda, bekas mabit jamaah Indonesia.
Beruntung tidak harus menanti lama, kedua bis Cordova pun muncul, serta merta kami bergegas menaikinya.
Kusadari batukku dan rasa gatal di tenggorokan mulai meningkat, dan mulai serasa menyiksa. Walaupun telah menelan obat batuk pemberian dokter Erry, sepanjang perjalanan menuju Arafah batukku kian gencar saja. Huuuuuuuuk!
Suasana lalu-lintas tengah malam itu ternyata sungguh padat nian. Kendaraan berbagai jenis campur-baur dengan orang-orang yang berjalan kaki. Manusia entah kaya atau miskin, semuanya saja sudah tak peduli bagaimana pun ternyata, mereka lebih suka bermalam di kawasan antara Mina dengan Arafah.
“Pssst, gimana kita mengambil batu-batuannya, Ustad?” tanyaku kepada Fauzi saat teringat tentang Muzdalifah.
“Tenang sajalah, Bu Pipiet. Kita sudah menyiapkannya,” sahutnya meyakinkan.
Aku belum mengerti, maka kutanya kembali; “Maksudmu, kalian akan mengambilkannya untuk jamaah, begitu?” Fauzi hanya mengangguk sambil tersenyum.
Dinihari kami tiba di kawasan Arafah. Tenda-tenda telah didirikan dengan berbagai panji dan bendera travel dari Indonesia.
Cordova memiliki tenda yang dikhususkan untuk wukuf, sebuah mushola yang nyaman dengan penyejuk ruangannya.
Akhirnya banyak juga jamaah dari travel lain yang ikut bergabung, mengikuti program wukufnya Cordova, di bawah pimpinan Ustad Satori.
“Subhanallah, tendanya indah sekali yang paling depan itu, ya,” komentarku saat melihat tenda sebuah travel Indonesia yang tarifnya termahal.
Kutahu hal ini ketika bertemu dengan salah seorang jamaahnya, seorang ibu muda di Masjidil Haram. Ia mengaku berhaji bersama suami dan dua orang anaknya.
“Berapa?” tanyaku ingin tahu.
Jamaah travel yang terkenal sering membawa para artis, seleb, dan elit politik itu menjawab dengan ringannya; “Yah, hanya 110 juta saja kok, Bu.”
“Appaaa…. Berempat kan, totalnya jadi 440 juta ya?” seruku tertahan.
Ia mengangguk mantap.
Dengan naifnya aku malah bilang lagi, “Maaf, yah, Bu, kira-kira sebanyak apa tuh uang hampir setengah milyar begitu?”
“Kalau ditambah lain-lainnya buat persiapan walimatus safar dan oleh-oleh, yah, lebih dari setengah milyar, Bu!” tukasnya.
Mataku nicaya melotot hebat. Mulutku membentuk; “Oooo!” Panjang sekali. Kemudian kulanjutkan, “Begitu yah, lebih setengah milyar? Banyak amat, ya Bu? Bisa buat sekolah anak miskin atuh segitu mah, Bu….”
“Ah, ibu ini ada-ada saja!” sahutnya sambil tertawa renyah.
“Masing-masing kan sudah ditetapkan rezekinya oleh Sang Khalik…”
Nah, siapa bilang bangsa kita miskin? Itu sungguh tidak benar. Setidaknya bagi para jamaah ONH Plus, pssst, kecuali diriku ini tentunya.
Dan tentu saja uang sebanyak itu bukan berupa recehan yang harus berkarung-karung banyaknya. Palingan hanya berupa cek, selembar kertas, atau bisa ditransfer dari rekeningnya melalui ponsel.
Tenda untuk jamaah Cordova pun bagus dan nyaman di ariyal Arafah ini. Beberapa saat kami bisa rehat, melempangkan punggung. Tapi banyak juga yang langsung tepar alias bergelimpangan tidur di kasur busanya masing-masing. Baru saja kurebahkan tubuhku, tiba-tiba kusadari bahwa aku tak mampu bersuara lagi.
Iya, ini sungguh nyata, Saudara!
Saudaraku menghilang entah ke mana. Beberapa kali aku berusaha keras memperdengarkan suaraku, tidak bisa! Bahkan aku sampai sengaja berteriak-teriak, hingga keringat berleleran membasahi sekujur tubuhku.
Lenyap, benar-benar suaraku menghilang, ya Rabb?
Beberapa jenak aku pun hanya bisa bengong, tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan tatapan hampa kulayangkan mata ke deretan para jamaah.
Mereka sedang tertidur lelap. Aku merasa sangat sedih, sendirian di Arafah dan tanpa suara…. Ya Robb!
Seketika berbagai gambaran menakutkan bermunculan di benakku.
Dalam sepuluh tahun terakhir, selain menjadi penulis lepas aku pun sering diundang untuk workshop dan seminar kepenulisan. Tanpa suara aku takkan pernah bisa menjadi pembicara lagi, menularkan virus menulis ke seantero negeri.
Waduuuh, ini sungguh guawaaat!
Aku lalu bangkit dengan rasa pedih tak teperi, terhuyung kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Ya, aku harus segera mengadukan ikhwalku ini langsung kepada Sang Pemilik Suara, demikian pikirku.
Suasana di kamar mandi masih sepi, tak ada orang selain diriku yang akan mengambil air wudhu dengan sangat hidmat. Meleleh air mata penyesalan dan rasa bersalah atas dosa-dosa di masa silam, segala dosa melembayang di tampuk mataku. Masa-masa jahiliyah!
Aku kembali ke tenda, mendirikan sholat taubat, dilanjutkan dengan tahajud, berdzikir secara terus-menerus. Sehingga kurasai aliran hangat ke dalam dadaku, menyemburat terus ke leher.
Aku terus tertunduk dalam bisu yang suwung.
Ketika seorang jamaah di sebelah menanyakan jam, seketika mulutku terbuka untuk menyahut. Suaraku muncul meskipun sangat parau dan niscaya terdengar buruk sekali, tak mengapa, yang penting suaraku telah kembali Alhamdulillah, ya Rabb, sungguh Engkau Maha Pengasih!
Aku berlari kembali ke kamar mandi, kali ini untuk buang air kecil. Tak dinyana begitu keluar dari ariyal kamar mandi, ndilalah, (lagi!) aku nyasar!
Beberapa saat aku hanya mondar-mandir, bolak-balik mencari tenda Cordova. Otakku kembali ngeblank, tak tahu peta dan arah, ampyuuuun!
“Teteh, kulihat dari tadi bolak-balik di saja di situ, lagi ngapain sendirian?” Mas Ton, suami dinda Ennike, tiba-tiba menghampiriku.
“Iya nih, Mas Ton, pssst, jangan bilang-bilang yah, daku ini nyasar,” jawabku dengan suara yang masih timbul-tenggelam, perpaduan antara sakit tenggorokan dengan kecemasan tak bisa kembali ke rombongan.
“Ya Allah, si Teteh aya-aya wae atuh, nya! Ayo ta’ tunjukkan jalannya!” Mas Ton menahan tawanya, kutahu itu.
Ternyata jalan itu pula yang sejak tadi ada dua-tiga kalinya kutempuh, bolak-balik tak karuan. Kulihat panji-panji Cordova dan terutama bangunan musholanya yang indah itu.
“Jangan bilang-bilang, yah…, malu, ah!” pesanku kepada bapak dua orang anak itu dengan nada berseloroh.
Pada kenyataannya mulutku sendirilah yang menggelontorkan soal nyasar-menyasar ini kepada beberapa sahabat jamaah.
Saat Setan Menjadi Kerdil
Tulisan di bawah ini aku kutip dari pengajian sepanjang hari Arafah yang diselenggarakan oleh Cordova dengan DR H. Achmad Satori Ismail.
Wukuf artinya berdiri. Secara terminologi wukuf di Arafah adalah datang atau berada di salah satu tempat di padang Arafah pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah dengan niat melakukan ibadah haji.
Tidak diisyaratkan orang wukuf harus berdiri secara terus-menerus, boleh berada dalam keadaan baik duduk, berdiri, berbaring, maupun berjalan.
Ada dalilnya dari firman Allah SWT: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah…” (QS al-Baqarah: 199)
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Haji adalah wukuf di Arafah.”
Di hadapan para malaikat Rasulullah pun bersabda:
“Tidak ada hari di mana Allah memerdekakan hamba-hamba-Nya dari neraka selain hari Arafah. Allah sesungguhnya mendekati mereka dan membanggakan mereka kepada para malaikat seraya berkata; Apa saja yang mereka impikan akan Aku kabulkan.” (HR Tirmidzi)
“Apakah Allah akan tega menyiksa hamba-Nya yang telah dibanggakannya di hadapan para malaikat?”
“Sudah pasti tidak akan menyiksanya.”
“Keutamaan wukuf: Allah membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah. Pada hari Arafah setan kelihatan sangat kerdil dan hina. Doa pada hari Arafah adalah doa paling afdol.”
Rasulullah SAW berdoa: “Tidak ada hari di mana setan kelihatan lebih kecil, lebih kerdil, lebih hina, dan lebih murah daripada hari Arafah. Karena setan melihat banyaknya rahmat yang diturunkan dan karena Allah mengampuni dosa-dosa besar." Kitab Muwattho.
Sepanjang hari Arafah kami lebih banyak berada di mushola milik Cordova. Tidak beranjak kecuali untuk hal yang sangat mendesak, buang air kecil atau mengambil air wudhu. Kami memperbanyak doa, berdzikir, tilawah dan mendengarkan ceramah.
Tepat tengah hari, kami mendirikan sholat zuhur dan ashar dijamak-qashar berjamaah.
Ustad Satori kemudian memimpin doa, saat inilah, tiada satu pun dari jamaah yang tiada mencucurkan air mata. Semuanya menangis, menangis, menangis dan menangis, seraya menghadapkan wajah, menengadahkan kedua tangan, memohon maghfirah-Nya, ampunan dari Allah SWT.
Di tengah-tengah acara ini, komisaris Cordova Pak Faisal yang memang menderita sakit parah itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dokter segera memberi pertolongan, sementara para jamaah hanya bisa menangkupkan kedua tangan; melayangkan doa agar beliau disembuhkan, dan dikuatkan.
“Alhamdulillah, beliau sadar kembali….”
“Beliau menolak dibawa ke rumah sakit, ingin tetap bersama jamaah di sini.”
Titik air mataku melihat ketegaran hatinya, terharu sekali menampak pemandangan; istrinya begitu setia mendampingi di samping sang suami yang terbaring tak berdaya di sudut tenda.
Ya Allah, perkenankan doaku untuk
kesembuhannya dimakbulkan oleh-Mu, ya Rabb, jeritku mengawang langit Arafah.
Tanpa terasa jam menunjukkan pukul dua, Ustad Satori mengakhiri ritual dengan permintaan untuk saling memaafkan antar jamaah.
Prosesi itu bagiku sungguh mengharukan. Di situ terasa sekali keakraban, persaudaraan, senasib sepenanggungan.
Tiada beda yang berpangkat ataupun yang tiada punya bekal, semuanya sama. Kulihat sang komisaris pun sudah bisa bangkit, bahkan mendatangi para pengurus dan kru Cordova.
Kami menikmati santap siang terlambat, hanya dengan hidangan yang masih tersisa. Jamaah dari travel lain telah lebih dahulu menyerbu makanan yang tersedia.
Namun tetaplah terasa nikmat, ini sungguh nikmat-Nya yang tak teperi!
Shalat maghrib dan isya dijamak takdim dan diqashar. Kami pun melakukan doa wada Arafah, menjelang maghrib di luar tenda.
Sekitar pukul tujuh kami bergerak menuju Muzdalifah. Perjalanan dilanjutkan menuju Masjidil Haram, Mekah Al Mukaramah.
Di Masjidil Haram kami melakukan tawaf ifadhah, sa’i, dan tahalul. Dapat Anda bayangkan bagaimana padatnya, menjalani prosesi ibadah haji secara terus-menerus, tiada boleh terputus, sebab sudah dijadwal dan dibatasi waktunya.
Bukan hal aneh jika banyak jamaah, baik yang masih muda maupun yang sudah sepuh, berjatuhan gering. Ada juga yang sempat syok, terkaget-kaget dengan “medan” yang harus ditempuh. Di sini, keikhlasan dan kesabaran, ketawakalan dan berserah diri kepada Sang Maha Pencipta sungguh berperan.
Tak bisa dibayangkan andaikan para jamaah tiada memiliki perangkat bernama; keihlasan, kesabaran, ketawakalan dan kepasrahan itu.
@@@
Posting Komentar