Rosadi Jamani
Bayangkan seorang manusia kurus, paru-parunya rusak, tubuhnya rapuh, tetapi semangatnya keras kepala seperti batu karang yang menolak digeser ombak sejarah. Ia bukan superhero dari komik Jepang, bukan karakter film perang Hollywood yang penuh efek suara ledakan dan slow motion dramatis, tapi kenyataan berdaging dan bertulang dari tanah Purbalingga.
Ia adalah Jenderal Besar Raden Soedirman, satu-satunya jenderal yang bisa membuat sejarah bertekuk lutut sambil ditandu.
Soedirman tidak lahir dari keluarga militer. Ia bukan anak jenderal yang disiapkan sejak kecil untuk memegang senjata dan pidato. Ia adalah guru Muhammadiyah, ya, guru!
Bukan politisi, bukan pengusaha properti berseragam cadangan, dan jelas bukan bintang tamu langganan talkshow nasionalisme. Tapi ketika bangsa ini butuh pemimpin sejati, Tuhan langsung menunjuk guru kurus itu. Tidak peduli ia tidak punya pengawal pribadi atau akun media sosial dengan centang biru.
Tahun 1944, saat Jepang mendirikan PETA, Soedirman bergabung bukan untuk gagah-gagahan, tetapi karena hatinya mendengar gema penderitaan rakyat yang lama ditindas.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Soedirman tidak sibuk merayakan dengan parade bendera dan pesta merdeka. Ia malah sibuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat, yang kelak jadi TNI, karena ia tahu, kemerdekaan itu seperti bayi, baru lahir, masih lemah, dan gampang diculik.
Pada 12 November 1945, dalam usia yang baru lewat tiga dasawarsa, Soedirman diangkat sebagai Panglima Besar. Bukan karena ia punya gelar profesor doktor jenderal letnan senior bintang tujuh, tapi karena ia punya keberanian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia modern. Dalam Palagan Ambarawa, ia memimpin langsung pasukan, dan bukan dari bunker mewah atau tenda VVIP, tapi dari tengah medan perang, di mana peluru bersiul lebih keras dari mulut buzzer.
Lalu datang penyakit yang katanya mematikan, tuberkulosis. Di zaman sekarang, itu alasan sah untuk cuti panjang, pensiun dini, atau minimal bikin podcast "perjalanan spiritual melawan TBC". Tapi tidak bagi Soedirman. Ia ditandu ribuan kilometer sambil tetap memimpin perang gerilya melawan Belanda, dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung. Ia tidak minta ambulans.
Ia tidak menunggu hasil lab. Ia hanya tahu satu hal, bangsa ini belum aman. Maka ia pun tidak akan istirahat, bahkan saat tubuhnya sudah tinggal kulit dan semangat.
Kita bicara tentang jenderal yang tidur di atas tanah, makan seadanya, dan hidup seperti prajurit rendahan. Bukan jenderal yang dikelilingi ajudan dengan kacamata hitam, bukan pula jenderal yang ngetik caption panjang tentang patriotisme dari kamar hotel berbintang lima. Soedirman tidak main teater politik. Ia tidak punya panggung. Ia adalah panggung itu sendiri.
Ia wafat pada 29 Januari 1950, di Magelang. Usianya baru 34 tahun. Di usia itu, banyak orang sekarang baru selesai cicilan motor, atau baru memutuskan mau lanjut S2 atau resign. Tapi Soedirman, dengan tubuh yang hampir hancur, sudah memberi negara ini satu hal yang tak ternilai, kehormatan.
Gelar Jenderal Besar baru diberikan secara anumerta pada tahun 1997. Lama sekali. Terlalu lama. Tapi ia tak pernah butuh gelar itu untuk menjadi besar. Karena yang membuatnya besar bukan pangkat, bukan seragam, bukan juga penghargaan. Tapi tekad. Sebuah tekad yang ditulis dalam sejarah dengan tinta darah dan keringat rakyat.
Kini, kita hidup di zaman ketika nasionalisme dijual dalam kemasan digital, dan cinta tanah air diukur dari jumlah penonton video upacara. Tapi di atas semua kebisingan itu, bayangan Soedirman tetap berdiri gagah, ditandu oleh sejarah, dan digotong oleh kehormatan. Ia tidak pernah tampil di talkshow, tapi hidupnya sendiri sudah jadi tayangan paling epik yang pernah disiarkan semesta. Semoga kisah sang jenderal besar ini bisa diteladani oleh para jenderal sekarang.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Posting Komentar