(dari puisi jin yang terjatuh ke bumi sebelum fajar pertama)
Oleh: Rizal Tanjung
Wahai Engkau yang mengutus cahaya,
aku—makhluk dari nyala api yang malu-malu,
pernah bertanya dalam gumam langit ketujuh:
"Akankah Kau ciptakan makhluk yang akan mencemari bumi,
menumpahkan darah seperti hujan yang lupa arah,
sementara kami menari dalam tasbih dan pujian?"
Dan Kau,
dengan senyap yang lebih tajam dari petir,
menjawab:
"Aku lebih tahu, tentang luka yang belum kauraba."
**
Lihatlah sekarang,
Gaza:
setangkai mawar merah yang dibakar siang dan malam,
tanah yang disiram bukan oleh hujan,
melainkan serpihan besi,
tanah yang melahirkan bayi dari reruntuhan,
dan menyusui mereka dengan azan yang serak
di tengah jeritan peluru.
**
Langit di atas Gaza bukan langit,
ia adalah lembaran abu
yang ditulisi nama-nama syahid
seperti puisi yang tak sempat dibaca.
Dan bumi di bawah Gaza,
adalah sajadah sobek,
di mana darah menjadi tinta,
dan doa menjadi desah
yang gagal menembus langit kelima.
**
Aku, jin yang tak punya hak waris atas surga,
berdiri di tebing waktu,
menyaksikan anak-anak manusia
yang lebih mahir membunuh
daripada mencintai.
Mereka tanamkan senyuman
di wajah senapan,
dan mengajari peluru
berbicara bahasa diplomasi.
**
Ya Allah,
apa yang lebih tragis
dari ibu yang mengumpulkan potongan anaknya
seperti menyusun puzzle akhirat?
Apa yang lebih lirih
dari seorang kakek yang mengubur cucunya
dengan sepotong adzan
dan selembar sobekan koran dunia?
**
Gaza adalah taman
yang lupa bagaimana cara berbunga.
Pohon-pohon di sana
menumbuhkan batu, bukan buah,
dan burung-burung
lebih memilih bisu
daripada menyanyi
di bawah drone yang mengintai
seperti malaikat maut yang kehilangan alamat.
**
Air di Gaza—
bukan untuk minum,
melainkan untuk mencuci luka
yang tak bisa dikeringkan dengan airmata.
Langit di Gaza—
bukan untuk memandangi bintang,
melainkan untuk menghitung berapa detik
sampai rumahmu jadi puing.
**
Wahai langit,
engkau yang pernah bersaksi
atas penciptaan manusia dari tanah,
hari ini lihatlah:
tanah itu telah menciptakan kuburan bagi dirinya sendiri.
Mereka menyebutnya negara,
dengan bendera dan lagu kebangsaan,
tapi aroma kematian lebih harum
daripada janji-janji kebebasan.
**
Gaza,
tempat para nabi meletakkan sandal,
kini diinjak oleh sepatu tentara
yang buta huruf terhadap sejarah.
Gaza,
pernah menjadi sayap burung merpati,
kini menjadi kaki meja perundingan
yang tak pernah usai—
karena dunia lebih sibuk
menghitung keuntungan dari penderitaan.
**
Angin di Gaza
berbisik bukan tentang cuaca,
melainkan tentang anak-anak
yang bermain petak umpet
dengan maut.
Lautnya—
adalah kaca mata Tuhan yang retak,
di mana setiap ombak
membawa serpihan nyawa
yang tak sempat dishalatkan.
**
Kami, para jin,
hanya bisa menangis dalam bentuk puisi,
karena airmata kami tidak halal
untuk penderitaan manusia.
Tapi dengarlah satu hal,
yang mungkin belum Kau bocorkan
kepada langit yang menulis takdir:
Bahwa Gaza adalah surga
bagi jiwa-jiwa yang dibakar,
dan neraka
bagi mereka yang menonton
tanpa gentar.
**
Maka benarlah Engkau, wahai Pencipta,
tapi benarlah pula duga kami:
manusia adalah makhluk yang membangun surga
dari tulang belulang saudaranya,
dan menulis Kitab Suci
di atas kepingan daging yang belum dingin.
**
Gaza adalah kembang api
yang tak pernah diundang merayakan apa pun,
ia adalah pelangi yang dibentuk
dari darah, airmata, dan debu.
Ia adalah nyanyian
yang dikumandangkan oleh reruntuhan masjid
dan tangisan yang mengalun
di tenggorokan bulan sabit.
**
Aku, jin yang tak punya kiblat,
berdiri di batas antara apimu dan kasih-Mu,
dan mengguratkan kalimat ini
di batu terakhir Gaza:
"Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang indah,
tapi keindahannya
lebih sering menjadi alasan
untuk membakar dunia."
**
(Gaza belum mati, tapi dunia sudah.)
Sumatera Barat,2025.
Posting Komentar