Catatan Cinta Lansia: Benteng Cahayaku


Pipiet Senja 

Minggu ke 32 kehamilan anak kedua, 1990

Aku ditempatkan di UGD, sebuah kamar, di antara para pasien yang sejak petang terus berdatangan.

Mereka korban keracunan biskuit. Bagai air bah mengalir dari pelosok Ibukota. Bahkan dari Serang, Banten, Bekasi, Krawang dan sekitarnya. Inilah musibah anak manusia yang tidak pernah aku saksikan sebelumnya.

Ada satu keluarga terdiri dari kakek, nenek, tiga menantu, tiga anak dan dua cucu, tewas seketika. Semuanya keracunan biskuit. 

Aku ikut menangis bersama seorang ibu yang kehilangan tiga orang anaknya. Aku ikut sesenggukan bersama seorang bocah yang kehilangan ibu-bapak dan kakak-kakaknya. 

Ya Allahu Akbar, petaka apalagi yang tengah Engkau ujikan kepada umat-Mu ini? 

Menjelang tengah malam saat yang menengok belum juga muncul, aku menyelimuti seluruh tubuh dengan mukena. Tak tahan juga dengan nyamuk dan lalat  yang mulai banyak beterbangan. Bau amis muntah, darah dan aroma obat campur aduk.

Duh, kalau saja ada keluarga yang mau mengurusku malam ini. Supaya dipindahkan ke ruang perawatan. Kalau saja ada Mak, adik-adik yang mau menyemangati. Kalau saja… Ah, semuanya cuma angan-angan! 

Aku pun pasrah kepada kehendak-Nya. Lantas memperbanyak zikir hingga mulai bisa tenang, bahkan kemudian terlelap untuk beberapa saat. Terbangun ketika mendengar suara-suara, dengan brankarnya yang… 

He, kenapa brankarnya bergerak-gerak? Kenapa mereka membawaku? Mau dibawa ke mana ini?

Tanganku menyibak penutup muka, tapi mendadak kedua perawat laki dan perempuan itu memekik keras sekali.

“He, dia hidup lagiii?!”

“Apaa  iyyaa, hii-duup laa-gii?”

“Iyaa, dia hidup lagii!”

“Laa-riii!”

“Suster, hei, Mas, Diik? Kok kalian lari sih?” teriakku sambil terduduk di atas brankar. 

Sementara kedua perawat itu lari terbirit-birit menghindariku.

Dengan rasa heran dan penasaran aku mengitarkan mata ke sekeliling. Belum jauh dari ruang UGD. 

Astaghfirullahal adzim, apa mereka mengira aku adalah salah mayat yang harus segera diantarkan ke kamar jenazah?

Beberapa saat lamanya aku menunggu mereka kembali.

“Maaf, ya Bu, maaf… Kami sangka Ibu sudah meninggal.”

“Mohon jangan diperpanjang, ya Bu…”

Aku mengangguk. Kasihan juga melihat para abdi medis yang masih muda belia itu. Mereka belum berpengalaman, mungkin masih dalam masa percobaan. Bagaimana mungkin aku tega mempersulit pekerjaan mereka? Cuma karena kelewat capek, mengantuk barangkali.

Satu bulan dirawat gabung seperti saat kehamilan pertama. Direncanakan untuk di-caesar  pada minggu pertama bulan Maret. Mak dan Bapak yang sudah sepuh sengaja datang dari Cimahi.

Padahal, Bapak belum lama keluar dari rumah sakit juga. Dioperasi ambein dan gangguan pneumonia.

“Minumlah air doa ini, Bapak minta langsung dari Kyai Baihaqi di Banten,” kata Bapak saat menyodorkan sebotol air putih melalui celah jendela isolasi ICU.

Ya, aku sudah tiga hari tiga malam dirawat di ruang ICU. Malam-malam dipindahkan dari ruang perawatan ke ruangan khusus persalinan. Karena ashma kambuh dan jantungku dinyatakan kurang aman.

Aku menerima botol doa itu sambil memandangi wajah Mak dan Bapak. Wajah-wajah yang selalu mencintai dengan tulus dan sarat doa. Ada yang meruyak dalam kalbu. Sudah setua begini masih saja merepotkan orang tua. Air mata menitik membasahi pipi.

Mak pun ikut menangis. Bapak tampak berusaha tegar. Digenggamnya erat kedua tanganku. Seolah ingin menyalurkan seluruh kekuatan yang dimilikinya buat si sulung.

“Pasrahkan dirimu kepada Gusti Allah,” kata Bapak.

“Doakan dan ampuni Teteh, ya Mak, Bapak,” bisikku nyaris tak terdengar. Seribu kata tersekat di tenggorokan. Namun aku tahu,  tanpa kata pun kami bisa berdialog melalui tatapan mata.

Dua pasang mata itu menyalurkan seribu doa dan berkah untukku. Hati seketika nyaman dan tenteram.

“Selamat berjuang.…” Seolah-olah begitu yang ingin diucapkan Bapak sebelum kami berpisah.

Mereka berjanji akan menunggu di ruang tunggu ICU.

Ini kehamilan minggu ke-34. Ketika akan mengambil wudhu untuk shalat maghrib, seketika aku melihat ada darah. Aku urung shalat dan kembali membaringkan tubuh di ranjang.

Aku merasa saatnya sudah tiba untuk melahirkan. Tidak langsung melaporkannya kepada dokter, tetapi mengambil posisi tidur miring, seperti yang diajarkan oleh Bu Bidan. Maka, aku pun mulai menghitung menit-menit kontraksi sambil berzikir. Ya, aku berjuang untuk tidak di-caesar seperti yang pernah aku lakukan dulu!

Lamat-lamat dari kejauhan ada yang bersenandung.

“Malam Minggu kelabu….”

Lima belas menit, sepuluh menit, lima menit…. Allahu Akbar!

“Kenapa, Bu, kok gelisah?” seorang dokter muda menyapa dan memeriksaku.

“Sudah kontraksi, dokter,” akhirnya aku merasa sudah tiba  saatnya untuk menyerahkan diri kepada mereka.

Kesibukan segera terjadi di ruangan itu. Beberapa alat berat terdengar didorong dari ruangan lain ke ruanganku. 

Selang infus, selang oksigen dan macam-macam kabel dalam sekejap telah mengerubuti tubuh aku. Dokter Abdullah memimpin persalinan.

Sementara para koas mengerumuni di sekitar ranjang aku.

Ugh, jadi objek penelitian pula rupanya? Sebelumnya beberapa kali mereka menjadikanku dan bayi sebagai bahan seminar, konferensi.

Lahaola walaquwwatta ilabillahi aliyyul adzim.

Alhamdulillah. Pukul 21.45 malam Minggu 10 Pebruari 1990, akhirnya berkat kemurahan-Nya, aku  selamat melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat. Seperti anak pertama, aku sudah menyiapkan sebuah nama. Adzimattinur Karibun Nuraini Siregar, nama awalnya diambil dari judul novel Islami pertama.

Adzimattinur artinya benteng cahaya. Ya, semoga dia menjadi benteng iman dan menerangi kalbu ibunya senantiasa.

“Bapak sampai lama bersujud syukur di sudut ruang tunggu sana,” kata Mak saat diperbolehkan masuk melihatku dan cucunya.

“Tenanglah, anakmu sudah diazankan sama Bapak,” katanya pula. Mungkin Ma menangkap kegelisahan di mataku.

“Nuhun, Mak, nuhun,” air mata trenyuh merebak membasahi pipi.

Membayangkan sepasang kakek-nenek setia menunggui kelahiran cucu, hati serasa teriris-iris. Apalagi kalau teringat Bapak baru saja sembuh, harus begadang sepanjang malam, mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya. Ya Allah, kasih sayang mana lagi yang mampu menandinginya?

Tempatkanlah kedua orang tua kami ini di Surga, ya Robbana.

Al Fatihah

Repost RSUI, 22 Mei 2025

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama